Aktivis Lingkungan Tolak Tuntutan Ringan JPU Kasus Perdagangan 337,8 Kg Sisik Trenggiling di PN Sintang

KalbarOnline, Pontianak – Sejumlah penggiat lingkungan dan jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia menyampaikan pernyataan sikap kepada Pengadilan Negeri Sintang. Koalisi menolak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dua terdakwa perkara perdagangan 337, 88 Kg sisik Trenggiling (manis javanicus), Budiyanto anak dari Bun Bun Kang dan Adrianus Nyabang anak dari Yohanes Ladin, yang saat ini bergulir di Pengadilan Negeri Sintang, Kalimantan Barat.

Pada proses sidang tuntutan yang digelar pada Senin, 25 Maret 2024, JPU menjatuhkan tuntutan pidana penjara selama 1 tahun 10 bulan kepada Budiyanto. Sementara tuntutan untuk terdakwa Adianus Nyabang lebih ringan, yakni 10 bulan pidana penjara dan denda sebesar Rp 20 juta untuk masing-masing terdakwa.

JPU berdalih bahwa tuntutan diberikan lantaran terdakwa Adrianus Nyabang merupakan purnawirawan TNI dan hanya berperan sebagai perantara. Sedangkan terdakwa Budiyanto, JPU tidak membeberkan dan memberikan penjelasan lebih lanjut.

Ketua Animal Don’t Speak Human, Fiolita Berandhini menilai, alasan peringanan hukuman tersebut merupakan hal yang tidak etis diupayakan oleh JPU untuk menilai bahwa seseorang layak mendapatkan keringanan hukuman.

Ia menjelaskan, seharusnya pensiunan TNI yang melakukan tindak kejahatan diberikan hukuman berat karena sudah seharusnya mantan aparatur negara yang bertugas mengayomi masyarakat.

“Sudah seharusnya sebagai mantan aparatur negara yang sudah purna tugas selalu memberikan contoh positif kepada masyarakat dengan tidak terlibat segala bentuk tindak pidana,” ujar Fiolita di Badung, Bali, dalam keterangan pers yang diterima, Sabtu (30/03/2024).

Lebih lanjut ia menilai, bahwa sikap yang dilakukan JPU juga dianggap sebagai sikap perlawanan terhadap upaya menghapus rantai imunitas yang sering didapatkan secara eksklusif kepada anggota/mantan anggota TNI.

“Kami menilai, bahwa terdakwa seharusnya dapat dijatuhi hukuman maksimal oleh hakim dikarenakan kerugian lingkungan akibat perburuan dan perdagangan trenggiling sangat besar,” katanya.

Dirinya memaparkan, trenggiling mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam. Kejahatan perdagangan ilegal sisik trenggiling itu ditaksir merugikan negara puluhan miliar rupiah.

“Ini merupakan kejahatan yang serius dan terorganisir, seharusnya JPU menuntut Budiyanto dan Adrianus dengan hukuman maksimal yakni 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah,” ujarnya.

Fiolita Berandhini menjelaskan, perlindungan terhadap satwa liar tidak akan pernah tegak jika kondisinya terus begini. Pelaku tidak akan pernah jera atas tindak pidana yang dilakukan jika terus dijatuhi hukuman ringan.

Di sisi lain, Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Joni Aswira Putra menekankan bahwa kejahatan terhadap satwa dan satwa dilindungi harus mendapat perhatian serius.

Keberadaan satwa liar di habitat aslinya sebenarnya menjadi parameter bagi keberlanjutan ekosistem. Sebuah kawasan disebut baik, bila kelangsungan biodiversitasnya terlindungi.

Baca Juga :  Polemik Pengeras Suara Masjid, Edi Kamtono: Adzan Harus Keras Supaya Terdengar

Keragaman flora dan fauna menjadi bagian dari rantai ekosistem kawasan. Kasus perburuan dan perdagangan satwa, merupakan tindak kejahatan serius.

“Perburuan membuka jalan untuk hancurnya habitat. Selain itu memungkinkan terjadinya potensi zoonosis, yaitu wabah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Pada kejahatan yang lain, telah banyak lembaga merilis nilai kerugian negara, serta kerugian ekonomi negara dari perdagangan ilegal satwa liar,” kata Joni di Jakarta.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai Rp 13 triliun per tahunnya.

Dalam catatan Financial Action Task Force (FATF), keuntungan akibat perdagangan ilegal satwa liar secara global mencapai miliaran dolar tiap tahunnya. Di Indonesia, kondisi tersebut diperparah dengan perdagangan ilegal satwa liar sebagai modus pencucian uang.

“Tidak hanya terkait TPPU, data PPATK juga menemukan Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) terkait dengan pendanaan terorisme, narkoba, dan kejahatan transnasional lainnya,” katanya.

Penting untuk diketahui bahwa perlindungan terhadap satwa liar telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada bab ketentuan pidana pasal 40 ayat (2) bahwa barang siapa yang tanpa hak memperdagangkan satwa liar dilindungi maka dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Direktur Eksekutif Yayasan Titian, Martin Gilang mengatakan, perlu segera dilakukan revisi atau perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang sudah tidak lagi mampu mengakomodasi modus, pola dan ketentuan pidana kejahatan perdagangan satwa liar. Rendahnya upaya penegakan hukum dan vonis terhadap pelaku kejahatan beserta jaringannya juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

“Salah satu faktornya yaitu masih minimnya kesadaran dan wawasan masyarakat terhadap regulasi dan sanksi hukum terhadap kegiatan ilegal perdagangan satwa liar. Oleh karena itu penyadartahuan kepada masyarakat sipil secara sistematis dan reguler masih sangat dibutuhkan,” sebutnya di Pontianak.

Selain itu, kata Martin, belum adanya upaya menggunakan undang-undang tindak pidana pencucian uang sebagai salah instrumen untuk memberikan vonis pada terdakwa, menjadi tantangan tersendiri. Padahal, menurut dia, jelas telah terjadi kerugian negara.

“Tentunya masih banyak kendala dan dibutuhkan sinergitas para pihak untuk saling memberikan dukungan dalam upaya menekan tindak kejahatan satwa liar di Indonesia dan Kalimantan Barat khususnya. Hal ini agar setimpal menjadi efek jera bagi pelaku,” bebernya.

Sementara itu, akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Hari Prayogo menilai, maraknya kasus perburuan dan perdagangan sisik Trenggiling di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap status konservasi trenggiling masih sangat minim.

Baca Juga :  Pengurus Wilayah DMI Kalbar 2018-2023 Resmi Dilantik

Menurutnya, trenggiling banyak diburu terutama karena sisik dan dagingnya. Sisiknya digunakan untuk bahan obat-obatan tradisional yang dapat meningkatkan kesehatan tubuh  dan dagingnya dikonsumsi sebagai hidangan mewah atau sumber protein lokal.

Saat ini, trenggiling merupakan satwa yang terancam punah. Pemerintah telah melakukan perlindungan penuh, yakni memasukkan satwa ini ke dalam perlindungan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018.

Bahkan, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga sudah melindungi dengan kategori Critically Endangered setelah sebelumnya memiliki status endangered dan CITES telah memasukkannya ke dalam kriteria Appendix I. Artinya suatu satwa yang boleh diperjualbelikan pada saat keadaan luar biasa  dan memerlukan perizinan ekspor dan impor yang sangat ketat.

Namun parahnya, kasus kejahatan satwa liar terdahulu yang tertangkap kemudian diadili umumnya divonis cukup ringan, tidak memberi efek jera. Padahal, perburuan masif terhadap satwa pemakan semut dan rayap ini akan menghilangkan sumber plasma nutfah, mengganggu keseimbangan ekosistem hutan hujan dataran rendah, dan mengganggu kestabilan rantai ekologis di wilayah hutan.

“Untuk mencegah hal tersebut berulang kembali sebaiknya pihak berwenang dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah memfokuskan perhatian yang lebih besar untuk proses perlindungan populasi satwa ini, melakukan sosialisasi yang tepat terhadap masyarakat, dan pihak pengadilan memberikan hukuman serta sanksi yang setimpal terhadap pelaku kejahatan agar bisa memberi efek jera bagi pelaku,” papar Hari Prayogo di Pontianak.

Merespon situasi terkini, Koalisi Masyarakat Sipil telah mengeluarkan menyatakan sikap, diantaranya:

  1. Menolak tuntutan hukuman yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada para terdakwa dalam perkara Nomor 8/Pid.B/LH/2024/PN Stg dan Nomor 9/Pid.B/LH/2024/PN Stg. Tuntutan hukuman kepada para terdakwa jelas telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan lingkungan dan tidak berpihak pada kaidah keberlanjutan ekologis.
  1. Mendesak Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat untuk meninjau ulang dan memberikan tuntutan hukuman yang maksimal kepada para terdakwa dalam perkara Nomor 8/Pid.B/LH/2024/PN Stg dan Nomor 9/Pid.B/LH/2024/PN Stg. Mendorong agar proses penegakan hukum dilakukan secara serius serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika lingkungan dan keadilan ekologis.
  1. Kejahatan terhadap satwa liar (wildlife crime) merupakan delik serious crime, maka sanksi yang diberikan harus bisa lebih berat dari kejahatan pada umumnya. Memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa untuk dapat menghukum berat para pelaku sehingga dapat memberikan efek jera bagi para terdakwa dan menjadi contoh bagi masyarakat. (Jau)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment