Dapatkah Kearifan Lokal Membendung Hoax?

oleh: Eel Eliyanto

KalbarOnline, Opini – Di era teknologi yang semakin maju, untuk mendapatkan berbagai informasi sangatlah mudah. Dengan satu sentuhan jari saja segala informasi yang diperlukan terpapar jelas di depan mata melalui perangkat telepon pintar maupun komputer kita. Informasi yang didapatkan ada yang valid namun ada juga yang diragukan kebenarannya. Oleh karena itu, sangatlah penting ketika mendapatkan informasi hendaknya kita mengeceknya terlebih dahulu apakah benar atau tidak informasi tersebut sebelum menyebarkannya kepada orang lain.

Meskipun demikian, tampaknya tidak semua orang seperti itu, karena ada sebagian orang ketika mendapatkan informasi, mereka menerimanya begitu saja tanpa menelaah kebenarannya terlebih dahulu. Hal tersebut tidak berhenti disitu saja. Informasi yang masih abu-abu kebenarannya bahkan informasi bohong yang diterimanya dan menurutnya sangat penting untuk diketahui oleh orang banyak justru membuatnya untuk segera menyebarkan informasi maupun berita tersebut kepada orang lain.

Hal itu akan terus berlanjut dari satu orang ke orang lainnya. Jika dianalogikan, informasi yang disampaikan tersebut seperti kita sedang melakukan olahraga lari estapet. Ketika sampai di satu tangan, maka  akan disambut dan diberikan lagi ke tangan lainnya. Begitu juga dengan informasi yang disampaikan ke satu orang, kemudian orang tersebut menyebarkannya lagi ke orang lain dan seterusnya. Sehingga informasi bohong tersebut sangat sulit untuk diputus. Oleh karena itu, diperlukan suatu sikap hati-hati dan maawas diri dalam menyikapi suatu informasi sebelum menyebarkannya ke khalayak ramai.

Informasi bohong atau dikenal luas dengan kata ‘’Hoax’’ memang menjadi masalah serius di era globaliasi saat ini. Terlebih lagi di musim kontestasi para tokoh politik. Kita dapat  menyaksikan bagaimana hoax berkembang secara luas pada pilpres lalu. Hoax terus terjadi hingga saat ini bahkan diantaranya telah menyebabkan kerusuhan dan perpecahan antar kaum. Oleh karena itu, perlu digalakan lagi edukasi kepada masyarakat untuk dapat menangkal hoax baik itu melalui seminar, penyuluhan, sosialisasi di media massa, media sosial dan lainnya atau dengan memanfaatkan kearifan lokal di setiap daerah.

Beberapa langkah untuk menangkal hoax memang telah dilakukan oleh berbagai pihak baik itu dari pemerintah, aktivitis, penggiat media sosial, hingga masyarakat umum. Meskipun demikian tampaknya upaya menangkal hoax melalui seminar, penyuluhan dan sosialisasi di media massa dan sosial masih belum mampu membendung arus hoax yang terus beredar di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya di media sosial, hoax saat ini juga banyak beredar di kehidupan nyata melalui mulut ke mulut. Jika sudah demikian, untuk menjangkau masyarakat awam terutama di daerah agar dapat menangkal hoax maka kita dapat memanfaatkan kearifan lokal setempat sebagai bahan edukasi kepada masyarakat.

Lalu pertanyaannya, apakah kerifan lokal dapat membendung hoax?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus memahami dulu arti kata hoax dan kearifan lokal itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hoax  didefinisikan sebagai ‘’berita bohong’’. Hoax bertujuan untuk menggiring opini, membentuk persepsi masyarakat pengguna internet dan sosial media. Meskipun demikian, hoax juga dijadikan sebagai cara untuk menguji kecerdasan dan ketelitan pengguna internet dan media sosial.

Hoax memiliki ciri khas tersendiri yaitu didistribusikan melalui media sosial, berisi pesan yang membuat pembacanya menjadi takut dan panik, identitas orang yang pertama kali membuat hoax ini tidak diketahui, dan selalu diakhiri dengan himbauan serta ancaman kepada pembacanya agar segera menyebarkan informasi tersebut ke khalayak ramai. Hoax tidak hanya dalam bentuk tulisan. Saat ini hoax juga dalam bentuk gambar yang telah diubah dari bentuk aslinya. Sebagai pelangkap, hoax berupa gambar tersebut akan diisi dengan caption yang menggiring opini serta memicu rasa cemas bagi pembacanya.

Baca Juga :  Disperpusip Tingkatkan Kapasitas Tenaga Perpustakaan Pontianak

Lalu bagaimana cara mencegah, menanggulangi maupun menangkal hoax?

Sebenarnya masyarakat dapat memanfaatkan kearifan lokal di daerahnya masing-masing untuk menangkal, membendung, mencegah dan menanggulangi hoax. Karena pada dasarnya kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal juga berlaku khusus di kalangan masyarakat itu sendiri. Lebih jelasnya, kearifan lokal dapat diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan tradisional suku-suku bangsa.

Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu dan permainan rakyat. Kita harus berbangga bahwa setiap masyarakat Indonesia memiliki keistimewaannya masing-masing untuk mewariskan budayanya. Salah satunya adalah dengan mewariskan kearifan lokal secara turun menurun, dari satu generasi ke generasi lainnya melalui cerita dari mulut ke mulut.

Sebagai contoh, bagi masyarakat kabupaten Sambas, cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah satu diantara cerita rakyat yang hingga saat ini masih melegenda dari generasi ke generasi lainnya. Cerita rakyat tersebut memiliki pesan tersirat yaitu agar kita tidak mudah termakan isu yang belum jelas kebenarannya serta lebih hati-hati terhadap berita palsu. Apalagi di dalam cerita tersebut, hoax telah menyebabkan hilangnya dua nyawa manusia yang tidak berdosa.

Menurut cerita rakyat, Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah saudara kandung yang merupakan anak dari Raja Tan Unggal yang berkuasa jauh sebelum masa kesultanan Sambas. Keduanya selalu bersama dari kecil hingga dewasa. Pada suatu ketika sedang asik bermain di taman istana, Bujang Nadi memuji kecantikan adiknya itu.  Begitu pula sang adik yang memuji ketampanan saudaranya dan berharap suaminya kelak memiliki ketampanan seperti saudaranya itu.

Keduanya  tidak akan menikah apabila pasangan mereka tidak serupa cantik dan tampannya seperti yang mereka inginkan. Nahasnya percakapan kedua saudara itu, sempat didengar oleh pengawal istana. Sang pengawal pun mengabarkan apa yang dia dengar kepada orang lain. Namun kabar yang disampaikan menjadi tidak jelas. Akhirnya kabar tersebut sampai juga ke ruang istana dan disampaikan ke Raja Tan Unggal. Mendengar berita tersebut Tan Unggal menjadi murka dan segera memerintahkan prajurit kerajaan untuk menangkap Bujang Nadi dan Dare Nandung.

Tanpa mendengar penjelasan kedua anaknya dan tanpa mengusut kebenaran laporan yang diterimanya, sang raja menjatuhkan hukuman mengubur hidup-hidup kedua anaknya tersebut. Permohanan ampun dan isak tangis kedua anaknya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya tidak diperdulikan sang raja.  Akhirnya Bujang Nadi dan Dare Nandung dikubur hidup-hidup di bukit Sebedang, kecamatan Sebawi kabupaten Sambas Kalimantan Barat.

Dari cerita rakyat di atas, kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa berita hoax sangat berbahaya bahkan dapat merenggut nyawa manusia yang tak bersalah. Selain itu, ada beberapa Pesan yang tersirat yang dapat juga kita petik dari cerita rakyat tersebut di antaranya:

Baca Juga :  Polresta Pontianak Amankan Pelaku Penyebar Hoax Penculikan Anak

Yang pertama adalah sifat terburu-buru dalam menyampaikan informasi yang belum jelas kebenarannya. Informasi yang didengar oleh sang pengawal hanya sepotong. Kemudian dia sebarkan kepada orang lain dan berkembang menjadi informasi yang jauh menyimpang dari aslinya. Hal ini senada dengan apa yang terjadi saat ini. Banyak di antara pengguna internet yang tidak melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap berita yang ia terima sebelum menyebarkannya di media sosial. Akibatnya opini publik semakin berkembang, hujatan sana sini, perdebatan, konflik bahkan perpecahan dan kerusuhan seperti yang sempat terjadi di  beberapa daerah waktu lalu.

Pesan kedua yang dapat kita ambil dari cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah ketidakcermatan dan ketidakcerdasan sang raja dalam menyikapi laporan yang ia terima. Akibatnya sang raja menghukum dan menghilangkan nyawa anak kandungnya sendiri. Hal serupa juga terjadi saat ini. Banyak dari kita yang mendapatkan berita lalu beropini seliar mungkin dan menghakimi tanpa mengusut kebenaran berita yang kita dapatkan.

Sebagai contoh nyata, hal serupa telah terjadi saat aksi mahasiswa yang melakukan demonstrasi penolakan RKHUP dan Revisi UU KPK beberapa waktu lalu. Salah satu yang menjadi korban hoax adalah ambulan yang diberitakan membawa batu untuk aksi mahasiswa. Berita hoax tersebut menjadi semakin viral saat akun media sosal milik aparatur negara ikut menyebarkannya.

Akibatnya, pengguna media sosial berbondong-bondong beropini, menghujat dan menghakimi petugas ambulan. Hal itu terjadi karena ketidakcerdasan dan ketidakcermatan pengguna internet dan media sosial dalam menyikapi laporan yang mereka terima seperti yang terjadi pada sang raja Tan Unggal di dalam cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung.

Pesan ketiga dari cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung yang bisa kita petik adalah sang raja mengabaikan dan tidak memberi waktu untuk mendengarkan penjelasan sang anak. Hal serupa juga masih terjadi saat ini. Pengguna internet merasa enggan untuk mencari tahu terlebih dahulu kebenaran berita yang ia dapatkan.  Tidak ada upaya untuk membandingkan berita yang dia terima dengan berita lainnya yang memiliki keterkaitan isi baik itu; waktu, narasi, gambar maupun sumber berita tersebut berasal. Sifat mengabaikan inilah yang pada akhirnya semakin membuat hoax terus beredar.

Membaca cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung yang memiliki kaitan terhadap hoax saat ini, maka Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah contoh nyata korban dari hoax di masa lalu. Meski penyebaran hoax pada masa itu hanya dilakukan dari mulut ke mulut, namun dampaknya telah mengambil nyawa dua saudara yang tak bersalah. Lalu bagaimana dengan saat ini yang justru penyebarannya sudah semakin luas melalui internet dan media sosial?. Tidak dapat kita bayangkan betapa mengerikannya dampak tersebut. Contoh nyata betapa hoax merusak bangsa ini adalah saat terjadinya kerusuhan di Wawena beberapa lalu akibat hoax yang berbau rasisme.

Oleh karena itu, melihat dampak hoax yang terjadi di masa lalu seperti pada cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung dan dampak hoax yang terjadi saat ini, maka seyogyanya cerita rakyat yang merupakan kearifan lokal dapat dijadikan bahan edukasi kepada masyarakat Tidak hanya masyarakat yang tinggal di perkotaan, melainkan juga  masyarakat di pedesaan yang masih jauh dari akses teknologi namun tak menutup kemungkinan terpapar hoax melalui mulut ke mulut.

Agar tidak mudah mempercayai berita bohong. Kemudian, cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung juga bisa dijadikan bahan edukasi kepada generasi muda terutama di tingkat sekolah melalui penceritaan berulang-ulang cerita rakyat tersebut untuk mengingatkan bahwa sangat besar sekali dampak dari berita hoax seperti yang telah dialami oleh Bujang Nadi dan Dare Nandung.

Selain itu, pesan yang tersirat di dalam cerita rakyat tersebut juga perlu disampaikan terus menerus kepada generasi muda sebagai pengingat sekaligus menjadi pelajaran bahwa diperlukan sikap cermat dan teliti dalam menyikapi suatu berita, informasi, atau laporan yang diterima sebelum menyampaikannya kepada orang lain. Sehingga, dengan dilakukan upaya tersebut diharapkan kedepannya generasi muda semakin mawas diri dan dapat menangkal hoax, membendung bahkan memutus siklus hoax. (*)

Comment