Memanifestasikan Semangat Anti Korupsi Melalui PP Nomor 43 Tahun 2018

Oleh : Nehru Asyikin

Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta

KalbarOnline, Opini – Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tentu menjadi berita baik bagi masyarakat.

Sebab, dalam isi PP tersebut, Pasal 17 ditegaskan bahwa dalam hal hasil penilaian disepakati untuk memberikan penghargaan berupa premi, besaran premi diberikan sebesar 2%o (dua permil) dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara.

Besaran premi yang diberikan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi berupa suap, besaran premi diberikan sebesar 2%o (dua permil) dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil lelang barang rampasan. Besaran premi yang diberikan paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Akan tetapi, pada Peraturan Pemerintah terbaru ini ada beberapa subjek hukum yang dihilangkan di beberapa pasalnya, hal ini bisa dilihat pada PP No 43 tahun 2018 Pasal 1 ayat (2), dijelaskan bahwa masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang.

Bandingkan dengan PP No 71 Tahun 2000, subjek hukum yang tertulis dalam pasal 1 ayat (1) adalah, “peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi”. Pada PP yang lama, pasalnya mencantumkan Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), namun pada Peraturan Pemerintah (PP) terbaru ini peran keduanya dihapuskan.

Tentu saja PP ini menimbulkan pertanyaan, mengapa subjek hukum seperti Organisasi Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak dicantumkan pada Peraturan Pemerintah yang baru saja diterbitkan itu. Sehingga timbul asumsi, apakah masyarakat dan kelompok orang yang tertulis pada Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2018 akan mampu mengatasi praktik korupsi di tanah air, melihat bahwa korupsi bukan hanya musuh KPK, tetapi musuh seluruh rakyat Indonesia, baik itu orang perseorangan, kelompok orang, dan organisasi masyarakat beserta Lembaga Swadaya Masyarakat.

Dengan demikian, perlu kiranya di analisis kelebihan dan kelemahan dari PP No. 43 Tahun 2018 di atas.

Baca Juga :  Kronologi OTT Gubernur Sulses Nurdin Abdullah

Kelebihan dari PP No 43 Tahun 2018

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia 1945, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Sebagaimana telah diterbitkannya PP Nomor 43 Tahun 2018 berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang ini.

Meskipun kehadiran KPK dianggap sudah efektif menangkap para pelaku korupsi setelah lembaga ini dibentuk, namun tidak pula dipungkiri bahwa kejahatan korupsi pun semakin banyak dan masif, hal ini dapat dilihat dari berita yang sempat gempar pada bulan September satu bulan lalu, yaitu sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD kota Malang yang ditangkap oleh KPK.

Dengan hadirnya PP ini, paling tidak aturan ini dapat menjadi motivasi masyarakat untuk ikut serta dalam membantu pemberantasan korupsi dilingkungan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang selama ini telah meradang di Indonesia.

Maka dari itu, penulis mencoba menganalisis kelebihannya. Pertama, PP No. 43 Tahun 2018 memberikan penghargaan kepada masyarakat berupa piagam dan premi, apabila ada orang atau kelompok yang melaporkan dugaan korupsi kepada aparat penegak hukum, meskipun sudah sejak lama pemerintah mengajak keterlibatan masyarakat agar dapat memaksimalkan kinerja KPK, dimulai dari PP No.71 Tahun 2000.

Namun, penghargaan berupa besaran/nominal premi baru di tuliskan pada PP No 43 Tahun 2018, hal ini akan menjadi dorongan masyarakat untuk aktif dan berani dalam pemberantasan korupsi mengingat premi yang diberikan cukup besar, tetapi bukan hal yang mahal untuk memberantas korupsi.

Kedua, membuka ruang bagi orang perseorangan atau kelompok untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dilingkungannya, baik di pemerintahan daerah maupun pusat, yang selama ini segala upaya telah dilakukan agar negara ini lepas dari praktik-praktik kejahatan korupsi yang merugikan keuangan negara.

Ketiga, Membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan fungsinya sebagai suatu lembaga yang melakukan pemberantasan korupsi serta memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Lihat Pasal 6 UU KPK), sebab sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga KPK berkedudukan berada di ibu kota yang jauh dari jangkauan daerah-daerah, sehingga pengawasannya cukup terbatas maka diperlukan peran serta masyarakat yang ikut mengawasai jalannya pemerintahan terutama di daerah-daerah.

Baca Juga :  Dua Menteri Ditangkap KPK, Din Syamsuddin: Nestapa bagi Rakyat

Kelemahan dari PP No 43 Tahun 2018

Di dalam PP No 43 Tahun 2018 tidak dituliskan secara tegas mengenai organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai subjek hukum yang dapat melaporkan suatu tindak pidana korupsi, yang sebelumnya pada PP No 17 Tahun 2000 terdapat frasa “organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat” dituliskan pada pasal-pasalnya.

Secara definisi dari keduanya, kelompok orang dan Organisasi masyarakat itu berbeda, sebab Organisasi Masyarakat dan LSM memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan terdaftar pada Kementrian Hukum dan HAM, sedangkan Kelompok orang adalah sekumpulan orang yang memiliki identitas sama, baik itu adat istiadat, aliran kepercayaan, maupun profesi. Kelompok orang juga tidak memiliki AD/ART seperti Ormas dan LSM, kecuali yang dimaksud kelompok orang termasuk di dalamnya adalah Ormas dan LSM.

Sebenarnya peran Ormas dan LSM (civil society) atau biasa disebut sebagai masyarakat madani, tetap harus dicantumkan pada PP No 43 Tahun 2018, dan juga perannya harus pula dilibatkan.

Sebab, kemandirian yang dimilikinya itu bebas dari kontrol pemerintah. Sebagai organisasi, civil society membuka ruang publik untuk membuka selebar-lebarnya aspirasi masyarakat untuk mengkritik pejabat publik yang korup. Sebagai penyeimbang pemerintah, muncul harapan untuk menata dan menciptakan civil society yang mandiri dan otonom serta kritis dalam mengawal sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh penguasa.

Tawaran Saran

Di Indonesia terdapat berbagai organisasi civil society yang tersebar di wilayah-wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bermacam-macam program yang telah dilakukan oleh mereka. Kebanyakan visi dan misinya ialah agar dapat menyebarkan kebaikan bersama. Atau yang biasa kita lihat, seperti membuka sekolah gratis.

Kegiatan semacam ini dapat pula sebagai pendidikan usia dini mengenai pengajaran dan pemahaman mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga sedikit demi sedikit prilaku korupsi dapat dihindari sedini mungkin melalui pendidikan di sekolah-sekolah.

Maka dari itu, cita-cita bangsa harus pula sejalan dengan perkembangan zaman dan terus menyesuaikan agar negara lebih luwes, setiap aturan yang di buat pemerintah tidak hanya untuk mengatur masyarakat tetapi juga mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Penguatan arah demokratisasi terhadap infrasturkur politik (outside) seperti NGO (Non Goverment Organization) LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok-kelompok ideologis) tidak bertentangan dengan Pancasila, Masyarakat Eknomi, Interest Politik bahkan Partai Politik, dalam hal ini satu visi dan misi dengan pemerintah untuk membangun Indonesia, sehingga campur tangan civil soicety (Masyarakat Madani) sejalan dengan apa yang dicita-citakan.

Maka negara harus memberikan pengakuan terhadap Kelompok-kelompok Masyarakat Madani agar seluruh masyarakat Indonesia menjadi Masyarakat Madani yang bersinergi dengan ideologi pancasila demi kebaikan bersama dan membebaskan bangsa ini dari prilaku korupsi. (*)

Comment