Desain Gedung Taman Budaya Rampung

Satu Komplek dengan Rumah Adat

KalbarOnline, Pontianak – Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat berencana memindahkan Taman Budaya dan seisinya ke komplek Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng dengan konsep dan wajah baru kekinian. Rencana ini berdasarkan bangunan taman budaya yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani Pontianak itu sudah usang, ditambah gedung hotel yang menjulang tinggi persis berada di sebelahnya, membuat Taman Budaya semakin tak representatif sebagai pusat pentas pertunjukan seni dan budaya.

Desain gedung Taman Budaya hasil sayembara yang dilakukan oleh Pemprov Kalbar sudah rampung bahkan sudah disetujui oleh Pemprov Kalbar tak terkecuali Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji yang langsung ia rilis di akun sosial medianya. Berdasarkan dari gambar desain itu, gedung utama Taman Budaya nantinya akan berbentuk oval melingkar dengan tema ‘Nyongsokng Tembawang’, berada persis di tengah-tengah antara Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng.

Saat dikonfirmasi, Sutarmidji mengakui bahwa dirinya memang ingin menyatukan taman budaya menjadi satu kawasan dengan Rumah Melayu dan Rumah Radakng.

“Di tengah-tengah antara dua bangunan itu (Rumah Melayu dan Rumah Radakng) ada Taman Budaya, nantinya ada arena pementasan seni dan budaya baik indoor maupun outdoor,” ujarnya.

Sesuai yang direncanakan, Taman Budaya itu nantinya juga akan dilengkapi fasilitas panggung pentas seni khusus outdor. Untuk menyokong kegiatan-kegiatan outdoor seperti gawai dan sebagainya. Tangga belakang rumah radakng bakal menjadi satu fasilitas penting bagi pentas seni outdoor itu sebagai tempat duduk bagi masyarakat yang datang menonton pagelaran pentas seni.

Baca Juga :  Sutarmidji Dukung Adanya Akademi Pariwisata dan Perhotelan di Kalbar

“Itu akan kita benahi, nanti ada panggungnya. Tempat orang duduk, bisa di tangga naik ke Rumah Radakng, itu bisa. Kemudian kita akan tambah trap baru di gedung yang sekarang ini,” tuturnya.

Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura itu menilai, desain induk bangunan gedung utama taman budaya ‘Nyongsokng Tembawang’ itu sudah tepat, lantaran tak menenggelamkan dan mempengaruhi ciri kedua bangunan ikonik Kalbar.

“Dari lima finalis itu, semua desainnya bagus. Tapi yang juara satu itu yang bentukanya oval. Kita lihat desainnya rata-rata bagus. Tapi pilihan juri ‘Nyongsokng Tembawang’ dan sesuai juga, karena dia tidak mempengaruhi bentuk bangunan yang kiri dan kanan. Kalau yang lain, buat desain menyatukan kiri dan kanan, itu tidak pas. Ada juga yang bentuk paruh gading, tapi terlalu tinggi 52 meter. Kita tidak mampu merawatnya. Jadi yang itu, Insya Allah kita coba matangkan di tahun 2020 tahun 2021 mungkin akan kita mulai pembangunannya,” bebernya.

Sementara mengenai bangunan Taman Budaya yang lama, dikatakan Midji, rencananya akan dipinjamkan untuk Kantor pusat Bank Pembangunan Daerah (Bank Kalbar).

Baca Juga :  Gubernur Kalbar Minta Akademi Pelayaran Prioritaskan Lulusan dari SMK Pelayaran

“Kalau saya, rencanaya bank Kalbar. Kita nilai berapa, jadi penyertaan modal. Tanah mereka, yang ada, dibeli kemaren itu, dilelang aja, untuk membangun itu. Jadi kan cashflow-nya tidak terganggu,” tandasnya.

Adapun gedung ini nantinya akan dilengkapi dengan gedung parkir yang dipusatkan di area belakang dengan dibangun gedung parkir baru. Pagar batas dihilangkan dan dibuat boulevard dengan akses langsung agar pejalan kaki dan difabel dapat langsung menuju ketiga bangunan. Cara ‘Nyongsokng’ atau menyambut tamu pejalan kaki dengan memaksimalkan lansekap untuk penghijauan, amphitheater hijau sebagai water reservoir, dan miniatur Hutan Tembawang agar tercipta kantong-kantong budaya yang dapat dimanfaatkan publik, sekaligus kantong-kantong ekologi sebagai pesan kepada generasi berikutnya agar selalu bersahabat dengan alam.

Adapun tema besar yang diangkat dalam konsep bangunan bertema ‘Nyongsokng Tembawang’ ini adalah keberlanjutan persaudaraan antar suku dan kelestarian alam. Di mana, ratusan tahun lalu, Hutan Tembawang menjadi saksi persaudaraan suku Dayak dan Melayu. Hutan Tembawang bukan sekedar agroforesti, tetapi memiliki fungsi sosial.

Hutan juga bukan hanya untuk memastikan kebutuhan suku Daya tetapi juga untuk dapat membantu kebutuhan suku Melayu. Kebiasaan tukar menukar bantuan pun berlanjut dengan suku Melayu yang kembali membantu anak-anak suku Dayak yang hendak menuntut ilmu dengan menyediakan rumah mereka dengan pintu terbuka sehingga sebuah kisah indah ini hendak dilestarikan sebagai semangat untuk terus diwariskan. (Fai)

Comment