Independensi KPK Dalam Pemberantasan Korupsi

Oleh : Hikmah Hasan, S.H.

KalbarOnline, Opini – Disadari ataupun tidak, kejahatan korupsi telah menimbulkan bencana perekonomian nasional sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara turut terganggu. Tidak berlebihan jika korupsi diposisikan sebagai kejahatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Terkait dengan upaya pemberantasan Korupsi yang sejak dulu sepertinya hal yang mustahil diberantas karena sudah menjadi ‘budaya’, kini sepertinya bisa sedikit banyak menunjukkan bukti, bahwa koruptor bisa diberantas. Namun tidak banyak yang tahu, khususnya saya sendiri dan mungkin juga bagi para pembaca. bagaimanakah kondisi KPK dalam tugasnya sebagai lembaga yang memiliki fungsi Independen tersebut.

Mengenal lembaga KPK sebagai suatu institusi independen adalah merupakan suatu keniscayaan bagi kita. Lembaga yang dirikan sebagai legal institution yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi ini, secara yuridisdi atur oleh UU No 30 Tahun 2002. Lembaga KPK adalah state auxialary agenciesatau komisi-komisi negara yang bukan bagian dari lembaga eksekutif, yudikatif ataupun legislatif. KPK juga disebut-sebut sebagai lembaga ‘superbody’.

Diskursus mengenai lembaga superbody ini, mantan Presiden SBY, mengatakan bahwa lembaga KPK, adalah “power must not go uncontrol”.

Maksudnya ada kekuatiran dan kerisauan bahwa apabila ada suatu lembaga, yang pertanggungjawabannya hanya kepada Tuhan yang maha kuasa, dan tidak kepada institusi yang lain.

Sebenarnya itu akan kebablasan, sebab bagaimanapun semua pengembang amanah adalah manusia biasa yang memiliki kelemahan, kekeliruan dan dapat tergoda atau tergelincir kepada penyalahgunaan kekuasaan. Lalu Lembaga manakah yang pantas memanggil KPK jika terjadi penyalagunaan kekuasaan tersebut.

Permasalahan antara lembaga KPK dan DPR terkait, dengan hak angket yang dimiliki oleh DPR. Bukanlah cerita usang dihadapan para pembaca hari ini. Pada tanggal 8 Februari 2018 MK mengeluarakan keputusan yang bernomor 36-37-40/PUU-XV/2017.

Atas uji materi yang diajukan oleh Harun Al Rasyid, Hotman Tambunan, Yadyn, dan Lakso Anindito yang mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 79 Ayat (3) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) bertentangan dengan UUD 1945. (Suara Merdeka, 9 Februari 2018).

Baca Juga :  Dapatkah Kearifan Lokal Membendung Hoax?

Dalam Uji materi tersebut Hakim MK menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah objek hak angket DPR, karena KPK adalah bagian dari unsur pemerintah dan dibuat berdasarkan undang-undang yang sebelumnya Mahkamah Konstitusi pernah megeluarkan putusan, bahwa KPK bukan bagian dari objek angketnya DPR.

Putusan-putusan itu pertama, putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 dikeluarkan pada 19 Desember 2006. Kedua, Putusan MK No 19/PUU-V/2007 dikeluarkan pada 13 November 2007. Ketiga, Putusan MK No 37-39/PUU-VII/2010 dikelurakan pada 15 Oktober 2010. Keempat, Putusan MK No 5/PUU-IX/2011 dikeluarkan pada 20 Juni 2011.

Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Kalau merujuk kepada lima asas di atas maka yang ingin saya sampaikan disini. Jika pertanggungjawaban KPK bukan kepada DPR lalu lembaga manakah yang pantas untuk memintai pertanggungjawaban kepada KPK?.

Sedangkan dalam negara hukum tiada satupun yang dapat diistimewakan oleh hukum apalagi itu masih dalam kaitan alat negara dan menggunakan fasilitas serta dianggarkan oleh negara untuk kepentingan operasional dan lainnya.

Kemudian yang berkaitan dengan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu Undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persoalan Integritas dan sikap independenya KPK dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga anti-rasua sekarang ini.

Menurut saya, tentu tidak bisa terlepas dari banyaknya kendala-kendala internal yang dihadapi KPK dalam menjalankan tugasnya, tidak ada jaminan soal itu. Seperti beredanya kabar bahwa, di dalam internal KPK terjadi pembusukan atau clique-clique tertentu.

Contoh Misalnya terhadap persoalan kasus penyiraman Novel Baswedan (Penyidik senior KPK), yang kemudian berujung dilaporkanya Novel oleh Brigadir Jendral Polisi Aris Budiman (Direktur Penyidik KPK) di Mabes Polri.

Baca Juga :  Membaca Gejala Otoritarianisme Pada Pasal Penghinaan Presiden

Dikarenakan ia merasa dirinya dituduh ikut terlibat dalam kasus Novel pada tahun lalu dan banyak kasus-kasus lain yang menunjukan, bahwa integritas KPK sudah menjadi buah bibir banyak masyarakat Indonesia saat ini.

Seperti penyelesaian kasus BLBI, sumber waras dan kasus-kasus lainya yang berkaitan dengan kasus korupsi. Begitu pula dalam pelaksanaan hukumnya yang masih saja terlihat ada masalah, seperti soal penyidikan dan penyelidikan serta pengunaan sarana lainya, seperti proses penyadapan yang dikatakan tidak saja pertentangan dengan asas Jure proses of lawnamunerat kaitanya dengan tidak adanya penghargaan moral terhadap pelaku korupsi. (Romly Atmasasmita Negara hukum.com 26 September 2017).

Kalau kita kembali pada konsep hukum pidana itu sendiri, bahwa hukum pidana diposisikan sebagai Obat terakhir (ultimun remidium). Setelah penggunaan sarana hukum lainya sepeti upaya penyelesain kasus diluar proses hukum (Restorative justice).

Namun pada kenyataannya, hukum yang mengalami perubahan secara (hukum modern) saat ini. Masih saja berlaku seperti hukum pidana klasik, yang melihat orang sebagai objek bukan sebagai subjek hukum atau dalam bahasa sederhanya, menjadikan orang sebagai target untuk ditetapkan sebagai tersangka dan lain-lain.

Terkait dengan indenpenden lembaga KPK dalam tugasnya memberantas tidak pidana korupsi bahwa DPR tidak memiliki hak angket untuk melakukan proses penyidikan dan penyelidikan atas kesealahan yang terjadi. Lalu lembaga manakah yang lebih pantas untuk memeriksa KPK ketika melakukan kesalahan. Jika alasannya sekedar usaha itu adalah usaha melamahkan tubuh KPK dan bolehkah KPK mempertanggungjawabkan kesalahannya dalam menangani kasus korupsi pada Tuhan Yang Maha Esa?.

Mestinya, inilah yang menjadikan dasar negara, untuk menindaklanjuti dari permasalahan yang terjadi saat ini soal kewenangan Lembaga KPK.

Penulis : Hikmah Hasan, S.H., Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Konsentrasi Pembaharuan Hukum Pidana (PHP).

Comment