BKSDA Sebut Ada 411 Titik Rawan Kemunculan Buaya di Kalbar

KalbarOnline, Pontianak – Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, RM Wiwied Widodo mengungkapkan, ada 411 titik rawan kemunculan buaya di Kalbar. Untuk itu masyarakat diimbau untuk selalu waspada saat beraktivitas di wilayah rawan kemunculan buaya tersebut.

Adapun wilayah paling banyak yaitu daerah Kendawangan di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Landak, Kota Singkawang, Paloh di Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Mempawah.

“Kita sudah memetakan ada 411 titik rawan kemunculan buaya. Yang paling banyak di daerah Kendawangan Ketapang, Landak, Singkawang, Paloh Sambas dan Mempawah. Tapi titik rawan ini bukan habitat asli mereka, pasti ada gangguan di habitat aslinya,” ungkap Wiwied.

Ia menjelaskan, dengan dipetakannya titik rawan ini, pihaknya akan membuat papan informasi besar, yang berisi himbauan untuk masyarakat apabila ada kemunculan buaya untuk mengurangi aktivitas di area tersebut.

Baca Juga :  44 Tahun di Birokrasi, Awang Ishak Siap Maju Sebagai Wakil Gubernur Kalbar di Pilgub 2018

“Dari 411 titik ini akan kita adakan sosialisasi, mulai dari pakannya hingga waktu berburu mangsanya,” kata Wiwied.

Banyaknya kasus konflik satwa seperti buaya yang memangsa manusia, menurut Wiwied lantaran habitat dari satwa tersebut diganggu.

“Ada beberapa jenis satwa liar buas yang memiliki perilaku dia tidak akan melakukan gangguan atau memangsa manusia kalau tidak ada gangguan terhadap satwa tersebut. Sehingga kalau dinyatakan ada munculnya buaya, ini perlu dikaji. Karena memang disana habitat buaya. Kalau habitat buaya terjadi gangguan, maka dia akan berinteraksi negatif terhadap semua penyebab gangguan termasuk manusia,” jelasnya.

Baca Juga :  BKSDA Kalbar Kembali Lepas Liarkan Satu Individu Orang Utan

Diakui Wiwied, saat ini edukasi terhadap konflik satwa dan manusia memang belum menyasar hingga sampai tingkat bawah. Oleh karena itu, BKSDA Kalbar berkomitmen akan terus menggencarkan edukasi baik tentang perlindungan satwa liar maupun imbauan untuk tidak beraktivitas di daerah rawan satwa liar dan buas.

“Konflik satwa adalah interaksi negatif antara manusia dengan satwa liar. Apabila terdapat kerugian khususnya potensi keselamatan manusia, otomatis keselamatan manusia menjadi utama,” katanya.

“Kami menyadari frekuensi untuk melakukan edukasi itu belum sampai tingkat bawah. Untuk itu kami juga minta teman-teman media bisa membantu dalam proses edukasi ini kepada masyarakat,” tukas Wiwied. (Indri)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment