Hanya 10 Persen Perusahaan Pemegang Konsesi HTI di Kalbar yang Lakukan Reboisasi

KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji mengungkapkan, di masa depan, negara-negara yang bisa mempertahankan keberadaan hutan, serta sumber air bersih, maka negara tersebut akan bisa menguasai dunia. Karena menurutnya tidak akan ada teknologi yang bisa menggantikan peran hutan sebagai sumber oksigen, serta air, untuk kehidupan manusia.

“Jadi tidak ada (pilihan) selain harus mempertahankan itu (hutan),” ungkapnya saat membuka kegiatan sosialisasi perdagangan karbon sektor kehutanan lingkup Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Hotel Mercure, Kamis (13/07/2023).

Untuk itu, dalam hal perdagangan karbon sektor kehutanan, ke depan ia berharap, hanya pihak yang benar-benar serius lah yang akan diberi rekomendasi. Karena ia menilai, akan ada perusahaan-perusahaan yang tidak serius atau hanya sekedar ikut-ikutan.

“Jangan sampai seperti (perusahaan pemegang konsesi) HTI (Hutan Tanaman Industri) itu berapa banyak HTI diberikan kepada pengusaha-pengusaha dari luar Kalbar, mereka tebang kayunya kemudian ditinggal. Dari sekian puluh yang diberi (izin) HTI, berapa yang ditanam? Tidak sampai 10 persen,” katanya.

Midji–sapaan karibnya mencontohkan, cara efektif menjaga sumber karbon bisa dengan meminta perusahaan-perusahaan untuk menjaga air terjun (riam) dengan debit yang besar, bersama hutan di sekitarnya. Kuncinya adalah menjaga mata air di air terjun, agar tetap mengalir sepanjang tahun. Dari sana, perdagangan karbon bisa dilakukan.

“Karena sudah beberapa (gagal), seperti misalnya di Singkawang ada Gunung Poteng itu dulu sumber air bersih Singkawang, sekarang tidak ada airnya. Hotel di atas itupun sudah hancur, padahal hotel yang pertama, karena hutan di sekitarnya habis,” ujarnya.

Selain itu, dalam rangka perdagangan karbon, ia juga berharap tidak hanya sekedar menjaga hutan. Tapi hutan-hutan yang ada juga bisa ditanami dengan pohon-pohon potensial secara ekonomi atau yang bisa menghasilkan produk-produk hutan non kayu, salah satunya seperti kopi liberika, yang sudah dikenal subur ditanam di Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Sambas.

Baca Juga :  Wali Kota Usulkan Pesona Kulminasi Matahari Masuk Kalender Pariwisata Nasional

“Sekarang itu yang pasaran paling besar itu kopi liberika, punya pasar di dunia yang hampir tidak terbatas. Karena kopi robusta dan arabika itu kafeinnya dua sampai empat, sedangkan liberika Kayong Utara itu 0,068, kalau liberika Kartiasa (Sambas) 0,087, jadi rendah kafein,” paparnya.

Belum lagi ada ekosistem tanaman tertentu yang harus terus dijaga kelestariannya. Orang nomor satu di Kalbar itu meminta KLHK bisa menyelesaikan masalahnya. Seperti di Kabupaten Kapuas Hulu yang separuh dari dataran rendahnya bisa tergenang air selama enam bulan. Kemudian di wilayah tersebut hanya bisa tumbuh pohon-pohon kratom. Karena pohon lain akan mati jika hidup dengan kondisi terendam air hingga waktu enam bulan.

Sementara di sisi lain, ada wacana pelarangan tanaman kratom. Jika benar-benar dilarang, tentu pohon-pohon kratom yang selama ini menjaga ekosistem di Kabupaten Kapuas Hulu harus ditebang.

“Pasar dunianya (kratom) ada, dalam rangka kita menjaga lingkungan (harusnya tidak dilarang). Jadi itu juga harus diselesaikan,” ucapnya.

Untuk itu Midji meminta, nantinya semua yang terlibat dalam perdagangan karbon sektor kehutanan benar-benar serius. Karena hal tersebut merupakan salah satu upaya dunia untuk menjaga kelestarian hutan.

“Harusnya (pemerintah pusat) memberi insentif untuk daerah-daerah itu (yang menjaga karbon). Saya kasihan itu Kapuas Hulu, (luas) kabupatennya Jawa Barat ditambah Banten masih luas Kapuas Hulu, tapi 51 persen wilayahnya kawasan lindung, dan (konservasi) lainnya, tapi tidak ada insentif. APBD tidak terlalu besar, tapi disuruh menjaga (hutan) seperti itu, tambah lagi kalau kratom dilarang,” pungkasnya.

Di tempat yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen), Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK, Agus Justianto mengatakan, perdagangan karbon dilakukan dalam rangka mendukung pengendalian perubahan iklim, melalui nilai ekonomi karbon. Secara umum bentuk perdagangan karbon dijelaskan dia, ada dua mekanisme. Yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.

Baca Juga :  Kemenag Lakukan Pemetaan Awal untuk Dorong Kemandirian Pesantren

“Dalam mekanisme perdagangan emisi setiap pelaku usaha baik perusahaan, institusi, organisasi harus mengurasi emisi gas rumah kaca dengan ditetapkannya batas atas emisi,” jelasnya.

Setiap pelaku usaha, sebagai contoh di sektor pembangkit listrik, lanjut dia, diberikan alokasi sejumlah emisi gas rumah kaca sesuai batas atas yang dapat dilepaskan atau dikeluarkan. Semisal sampai sekian ton CO2. Kemudian pada akhir periode, pelaku usaha tersebut harus melaporkan jumlah emisi rumah kaca yang nyata, yang benar-benar telah dilepaskan.

“Pelaku usaha yang melepaskan emisi lebih dari batas atas yang telah ditentukan baginya harus membeli surplus emisi rumah kaca dari pelaku usaha lain. Kalau ini tidak dilakukan maka akan dikenakan sanksi berupa denda atau pungutan atas karbon,” terangnya.

Karena itu, dalam perdagangan karbon menurutnya ada mekanisme offset emisi atau offset karbon yang diperjualbelikan. Yakni berupa hasil penurunan emisi atau peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon. Dengan kata lain, penurunan emisi gas rumah kaca diperoleh melalui kegiatan aksi mitigasi perubahan iklim.

“Oleh karena itu biasanya saat awal aksi mitigasi harus dibuktikan bagaimana praktik atau teknologi yang digunakan. Meliputi praktik teknologi sebelum ada aksi mitigasi untuk mengetahui emisi, kemudian pada akhir periode akan diukur dan diverifikasi pencapaian hasil aksi mitigasi melalui pengukuran, dan pemantauan,” paparnya.

“Penurunan emisi karbon digunakan oleh pelaku usaha untuk dijual surplus penurunan atau offset emisinya kepada pelaku usaha lain. Sehingga pembeli bisa mengklaim telah mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca, tanpa melakukan aksi mitigasi sendiri,” tambahnya. (Jau)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment