Dikunjungi Belasan Anggota Komisi X DPR RI, Sutarmidji Curhat Soal Masalah Pendidikan di Kalbar

KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji menerima kunjungan kerja (kunker) spesifik bidang pendidikan dari Komisi X DPR RI yang membahas tentang asesmen nasional dan pendidikan non formal di Aula Garuda, Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (06/07/2023).

Total ada 19 anggota DPR RI yang diketuai Wakil Ketua Komisi X, Hetifah Sjaifudian hadir dalam rombongan tersebut.

Pada kesempatan itu, Gubernur Sutarmidji yang turut didampingi Sekretaris Daerah (Sekda) Kalbar, Harisson menyampaikan berbagai persoalan yang menjadi aspirasi daerah di bidang pendidikan. Bukan hanya tentang asesmen nasional dan pendidikan non formal, tapi juga masalah-masalah yang lain.

“Saya sudah menyampaikan semuanya, kebijakan di bidang pendidikan itu jangan digeneralisir, (tapi) pikirkan permasalahan atau kesulitan-kesulitan (lain) daerah. Kan itu. Kalau memang mau digeneralisir, tak mungkin,” ungkap Sutarmidji saat diwawancarai usai pertemuan.

Dalam implementasi asesmen nasional misalnya, Sutarmidji menilai kondisi geografis daerah turut mempengaruhi. Contoh luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu saja, disebutkan dia, yang lebih besar dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat plus Banten. Selain jarak, ditambah pula masalah transportasi dan telekomunikasi yang belum memadai.

“Tidak mungkin nilai asesmen dari (segi) apapun (Kalbar) itu sama dengan di daerah Jawa. Sehingga parameter ukurnya harus berbeda, tingkat kesulitan daerah harus diperhatikan. Kalau tidak diperhatikan sampai kapan pun kita (daerah) tidak akan bisa bersaing dalam hal penilaian-penilaian yang di daerah Jawa,” paparnya.

Padahal lanjut dia, jika dihitung dari prestasi yang lain, Kalbar belum tentu kalah dengan provinsi di Pulau Jawa. Tapi kebanyakan penilaian secara nasional, parameternya selalu sama antara daerah di Pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara dalam hal daya dukung, menurutnya pasti berbeda.

“Sekarang di daerah Jawa itu kan kabupatennya kecil dan mudah diakses, kita kan susah, jadi masalah. Misalnya menghitung angka putus sekolah, kan beda DKI (Jakarta) dengan kita (Kalbar),” katanya.

“Bayangkan saja anak SMP mau melanjutkan ke SMA harus menempuh jarak 42 kilometer. Kalau ada kendaraan mungkin bisa, kalau tidak ada kendaraan? Kan putus sekolah,” tambahnya.

Baca Juga :  Cirus: Karolin-Gidot Ungguli Midji – Norsan

Untuk itu, pilihan Pemerintah Provinsi (Pemprov), lanjut Sutarmidji adalah mendekatkan sekolah ke masyarakat, dengan cara membangun sekolah baru. Di awal menjabat sebagai gubernur, orang nomor satu di Kalbar itu sudah menargetkan akan membangun sekitar 100 SMA/SMK baru se-Kalbar. Namun ternyata dalam lima tahun masa jabatannya, hanya terealisasi sebanyak 54 sekolah baru. Karena seiring dengan pembangunan sekolah baru, juga muncul masalah baru terkait ketersediaan pengelola, dan tenaga pengajar.

“Karena itu target saya waktu itu membangun 100 SMA/SMK selama lima tahun, ternyata hanya bisa 54 sekolah, karena pengelola dan gurunya yang tidak ada,” ucapnya.

Belum lagi mengenai syarat guru sertifikasi yang wajib memenuhi 24 jam mengajar per minggu. Midji–sapaan karibnya menilai kalau syarat tersebut seharusnya tidak saklek (kaku). Kekurangan waktu mengajar guru seharusnya bisa diisi dengan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan non formal.

“Harusnya guru-guru yang tidak bisa memenuhi jam mengajar 24 jam, dia boleh mengajar di sekolah non formal, tapi dihitung sebagai jam mengajar. Nah inikan tidak, tidak bisa dihitung. Kita kan kekurangan tenaga pengajar untuk sekolah informal, kursus dan sebagainya,” terangnya.

Gubernur Kalbar, Sutarmidji (batik biru) memaparkan sejumlah persoalan di hadapan tim kunjungan kerja (kunker) spesifik bidang pendidikan dari Komisi X DPR RI di Aula Garuda, Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (06/07/2023). (Foto: Jauhari)
Gubernur Kalbar, Sutarmidji (batik biru) memaparkan sejumlah persoalan di hadapan tim kunjungan kerja (kunker) spesifik bidang pendidikan dari Komisi X DPR RI di Aula Garuda, Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (06/07/2023). (Foto: Jauhari)

Kemudian hal lainnya yang juga disebutkan dia, soal kriteria sekolah penggerak, kurikulum 13, kurikulum merdeka dan lainnya. Implementasinya, lagi-lagi menurut dia, tidak bisa disamakan antara satu daerah dengan daerah lain.

“Jadi tidak sama satu daerah dengan daerah lainnya,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Tim Kunker Spesifik Komisi X, Hetifah Sjaifudian merasa mendapatkan banyak sekali informasi dari Kalbar atas kunjungan tersebut. Dirinya juga mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Pemprov Kalbar dalam memajukan pendidikan di daerah.

Dengan banyaknya informasi serta aspirasi yang diserap dari Kalbar, ia yakin akan dapat memberikan kontribusi, dan mempengaruhi kebijakan yang disusun Komisi X DPR RI agar lebih baik lagi kedepannya.

“Oleh sebab itu, kami mencoba menggali apa-apa, hal-hal yang sudah dilakukan, khususnya untuk pendidikan di tingkat SMA/SMK. Kami juga menggali bagaimana kebijakan-kebijakan yang sedang berjalan seperti asesmen nasional, dan pendidikan non formal, itu realita di lapangannya seperti apa,” ungkapnya.

Baca Juga :  Sekda Kalbar Pimpin Rapat Ekspose Buku Pedoman KKN

Anggota DPR RI dari dapil Kalimantan Timur (Kaltim) itu menyatakan, sependapat dengan yang disampaikan gubernur soal letak geografis Kalbar yang sangat luas. Itu menurutnya salah satu kunci bahwa ketika pemerintah membuat satu kebijakan pendidikan, hendaknya melihat kondisi Indonesia yang majemuk.

“Kondisi geografis juga sangat mempengaruhi. Bahkan di dalam satu daerah pun bisa saja terjadi kesenjangan akses maupun juga hal-hal lain yang terkait dengan standar dan mutu pendidikan,” camnya.

Kondisi itu, lanjut dia, harus menjadi pembelajaran ke depan, bahwa daerah-daerah, khususnya di Pulau Kalimantan, dengan geografis yang begitu luas, seharusnya mendapat perhatian yang spesial dan khusus.

“Ini jadi catatan, tidak bisa semua kebijakan itu sama di semua daerah di Indonesia,” ucapnya.

Terkait gap antara pendidikan formal dan non formal menurutnya juga menjadi perhatian. Politisi dari Partai Golongan Karya itu menyebutkan, dari data yang dikemukakan direktur kemendikbudristek hal itu masih terjadi. Karena itu masyarakat yang putus sekolah memang tetap harus mendapat perhatian lewat pendidikan non formal.

“Siapa pun, sampai usia berapa pun, masih harus diberi kesempatan untuk menuntut ilmu. Sekarang, tidak bisa semua itu dipenuhi dengan pendidikan formal, pendidikan non formal pun selayaknya mendapatkan perhatian yang cukup,” ujarnya.

Namun saat ini ia menjelaskan, dari pemerintah pusat sendiri anggaran untuk mendukung pengembangan pendidikan non formal cenderung semakin berkurang. Ditambah lagi dari sisi kelembagaannya juga masih ada ketidakpastian, terutama untuk beberapa hal, yang membuat pendidikan non formal menjadi sulit untuk mendapatkan dukungan anggaran, termasuk dari APBD.

“Khususnya di kabupaten/kota, karena tidak ada institusi yang mengampu pendidikan non formal ini secara tegas. Jadi hal-hal seperti itu, sebagian saja dari masukan yang kami dapat (di Kalbar), masih banyak hal lain sebagai Pekerjaan Rumah (PR) kami, sepulangnya kami dari Kalbar,” tutupnya. (Jau)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment