Kasus Siswi Nonmuslim Wajib Berjilbab: Intoleran, Pemaksaan, Tak Pancasilais, Langgar HAM  

KalbarOnline.com – Beredarnya informasi tentang dugaan kewajiban siswi nonmuslim mengenakanjilbab di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat (Sumbar), memicu keprihatinan banyak kalangan. Kewajiban tersebut dinilai terlalu berlebihan dan mengancam kebhinekaan.

“Kami sangat prihatin dengan fenomena maraknya sikap intoleran di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah. Banyak tenaga pendidik yang tidak tepat dalam mengajarkan semangat keberagamaan di kalangan siswa,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, kemarin.

Huda mengatakan, fenomena di Sumbar bukanlah kejadian pertama yang menunjukkan menguatnya sikap intoleransi di sekolah-sekolah negeri. Sebelumnya, juga ada kejadian seorang guru di Jakarta yang meminta siswa-siswanya memilih calon ketua OSIS dengan alasan SARA. Kejadian serupa juga sempat terjadi di Depok, Jawa Barat.

“Kejadian-kejadian tersebut cukup memprihatinkan karena diduga dilakukan oleh tenaga kependidikan di sekolah negeri yang harusnya mengarusutamakan nilai-nilai Pancasila dengan inti penghormatan terhadap nilai kebhinekaan,” katanya.

Respon Kemendikbud

Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto sangat menyesalkan tindakan yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Sebab, Permendikbud tersebut tidak mewajibkan simbol kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.

“Ketentuan mengenai pakaian siswa atau siswi di satuan pendidikan telah diatur dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Wikan dalam keterangannya, Sabtu (23/1/2021).

Selain itu, Wikan mengatakan sekolah tidak boleh membuat peraturan bagi peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian wajib di sekolah. Ia meminta dinas pendidikan daerah memastikan setiap sekolah mematuhi Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014.

“Dinas Pendidikan harus memastikan kepala sekolah, guru, pendidik, dan tenaga pendidikan untuk mematuhi Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014,” ujar Wikan.

Pemaksaan

Sementara itu, Komnas HAM menilai ada indikasi pemaksaan dalam aspek kebebasan beragama dalam kejadian itu. “Ada indikasi pemaksaan dalam ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara kepada wartawan, Sabtu (23/1/2021).

Beka menilai seharusnya lembaga pendidikan negeri menghormati keberagaman dan hak asasi manusia (HAM) seperti amanat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 Ayat 1. Namun Beka belum dapat memastikan ada unsur pelanggaran HAM karena pihak sekolah memberikan respons cepat atas kejadian itu.

Baca Juga :  Siapkan ‘Tangsel Unggul’, Benyamin-Pilar Wujudkan Tangerang Selatan Semakin Maju

“Belum bisa disimpulkan (ada pelanggaran HAM) karena ada respons cepat dari kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Sumatera Barat bahwa pihaknya salah dan siswi yang bersangkutan bisa sekolah lagi,” ujarnya.

“Hari Senin Komnas HAM kantor perwakilan Sumatera Barat akan rapat bareng Ombudsman Sumatera Barat dan Dinas Pendidikan Provinsi membahas masalah ini sekaligus juga memberi saran-saran perubahan kebijakan dan mekanisme perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di dalam sistem pendidikan,” ungkapnya.

Komentar BPIP dan KPAI 

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengatakan, aturan Kepala SMKN 2 Padang tidak Pancasilais. “Yang jelas, aturan kepala sekolah di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan harus segera dicabut,” kata Wakil Ketua BPIP, Hariyono, melansir detikcom.

Hariyono menjelaskan tugas pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa agar anak memiliki kesadaran sebagai warga negara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila harus tertanam sejak dini lewat pendidikan. Pancasila menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan masyarakat yang inklusif (terbuka, tidak eksklusif untuk golongan tertentu).

“Setiap lembaga pendidikan (terutama sekolah dan perguruan tinggi) mempunyai tanggung jawab mengenalkan, merawat, dan mengamankan nilai-nilai Pancasila,” kata Hariyono.

Disisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut pemaksaan pihak SMKN 2 Padang terhadap siswi nonmuslim untuk mengenakan jilbab merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). KPAI menilai sekolah negeri seharusnya menyemai keberagaman dan menghargai perbedaan.

“KPAI prihatin dengan berbagai kasus di beberapa sekolah negeri yang terkait dengan intoleransi dan kecenderungan tidak menghargai keberagaman, sehingga berpotensi kuat melanggar hak-hak anak, seperti kasus mewajibkan semua siswi bahkan yang beragama non-Islam untuk mengenakan jilbab di sekolah, atau kasus beberapa waktu lalu dimana ada pendidik di SMAN di Depok dan DKI Jakarta yang menyerukan untuk memilih Ketua OSIS yang beragama Islam,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam keterangannya, Sabtu (23/1/2021).

Retno menyebut sekolah negeri merupakan sekolah pemerintah yang memiliki siswa beragam dan majemuk. Karena itu sudah seharusnya sekolah negeri menerima perbedaan.

“Sekolah negeri adalah sekolah pemerintah, yang siswanya beragam atau majemuk. Oleh karena itu, sekolah negeri harusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM,” ucapnya.

Baca Juga :  Tanam Jahe di Lahan Sempit, Walikota Airin Apresiasi Totalitas Kelompok Tani Lengkong Karya

Lebih jauh, Retno menyayangkan peraturan sekolah SMKN 2 Padang yang mewajibkan seluruh siswinya mengenakan hijab. Menurutnya langkah pemaksaan itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) bagi siswi yang nonmuslim.

Retno mendesak agar SMKN 2 Padang diberikan sanksi sesuai Permendikbud no 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Tak hanya itu, pihak sekolah juga diduga kuat melanggar UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 39/1999 tentang HAM.

Kepsek Minta Maaf

Kepala SMK Negeri 2 Padang Rusmadi meminta maaf atas keteledoran dan kesalahan jajarannya di Bidang Kesiswaan dan Bimbingan Konseling. “Selaku Kepala SMK Negeri 2 Padang, saya menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dari jajaran staf Bidang Kesiswaan dan Bimbingan Konseling dalam penerapan aturan dan tata cara berpakaian bagi siswi,” kata Rusmadi dalam pertemuan dengan wartawan, Jumat (22/1/2021) malam.

Ia menyatakan yang terlibat dalam adu argumen di video viral itu adalah Zakri Zaini, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan. Sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, Zakri memang salah satunya menangani urusan pakaian seragam siswa-siswi SMK Negeri 2 Padang.

“Prinsipnya itu adalah proses menjelaskan aturan berpakaian. Kami tidak mewajibkan siswi nonmuslim untuk menggunakan kerudung seperti informasi yang viral di media sosial. Tidak ada paksaan,” katanya.

Menurut Rusmadi, pihak sekolah tidak melakukan pemaksaan, melainkan hanya mengimbau siswa agar menggunakan kerudung atau jilbab. Rusmadi menjelaskan ketentuan penggunaan seragam sekolah telah diatur untuk pakaian apa yang akan digunakan sejak Senin sampai Jumat.

“Kalau Ananda kita Jeni Cahyani Hia tidak mau menggunakan jilbab, yang bersangkutan tetap bisa sekolah seperti biasa. Sekolah memfasilitasi keinginan ananda kita itu untuk berseragam sekolah seperti yang disebutkan dalam surat pernyataannya,” kata dia.

Pihak SMK Negeri 2 Padang pun menjamin Jeni Hia tetap bisa sekolah seperti biasa tanpa adanya intimidasi, diskriminasi, atau paksaan menggunakan seragam seperti yang lain. “Saya bisa memberi garansi, menjamin, bahwa Ananda Jeni tetap bisa sekolah seperti biasa,” kata Rusmadi. [ind]

Comment