Salah Paham Sahal: Hak Asasi Manusia Memang Bertujuan “Melemahkan” Negara

Dulu di masa Orba, ketika Timor Leste masih di bawah kekuasaan Orba, saya pernah ditanya “apa kamu mendukung kemerdekaan Timor Leste?” Saya jawab: “Saya mendukung hak bangsa Maubere untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination). Si penanya masih kurang paham, ia mengulang pertanyaan yang sama. Saya jawab: “Bangsa Timor Lorosae mau merdeka atau tidak, mau lepas dari Indonesia atau tidak, itu urusan mereka bukan urusan saya. Saya hanya mendukung hak mereka untuk menentukan pendapat itu lewat sebuah proses referendum yang bebas dan fair yang mesti di bawah pengawasan PBB. Kalau nanti dari referendum itu bangsa Timor mayoritas tetap memilih menjadi bagian dari Indonesia, ya harus dihormati. Tidak boleh dicegah atau dihalangi. Sebaliknya juga begitu!”

Si penanya beranggapan pernyataan atau sikap saya itu menguntungkan bangsa Timor. Lah Hak Asasi Manusia itu memang bertujuan menjunjung kebaikan hidup manusia kok. Kehidupan manusia harus mendapat manfaat sebesar-besarnya dari kesepakatan Deklarasi Universal HAM (Duham) yang sudah disepakati oleh bangsa-bangsa di dunia. Kalau nggak ngasih manfaat buang aja itu Duham ke bak sampah kompos. Buat apa?

Belum lama ini intelektual Akhmad Sahal berbicara di kanal Cokro TV, pas jelang pergantian tahun, terkait penembakan 6 anggota FPI belum lama ini. Saya menyaring tiga point penting dari pernyataan Sahal tersebut.

Pertama, Sahal menganggap bahwa para aktivis HAM, human rights defender (HRD), terlalu tergopoh-gopoh dalam memberikan penilaian (Sahal juga pakai istilah “memvonis”) telah terjadi judicial killing. Sahal nampaknya juga mengritik pernyataan representasi Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang mengatakan “penembakan terhadap enam pendukung FPI berpotensi menjadi unlawful killing (pembunuhan di luar hukum).”

Kedua, sambil tetap menganggap pentingnya penegakan HAM di Indonesia, karena pernyataan para HRD seperti yang dinyatakan Usman Hamid itulah, menurut Sahal, FPI kemudian seperti mendapat manfaat. “Vonis buru-buru (para HRD) tersebut jadi senada dengan framing FPI (telah terjadi judicial killing),” kata Sahal di sebuah perdebatan.

Ketiga, Sahal juga menuding bahwa para HRD masih saja menggunakan mind set kuno dalam memperjuangkan HAM ketika melihat setiap gesekan yang terjadi antara negara dan masyarakat. Mind set mana, menurutnya, berkembang di masa Orde Baru: Negara pasti salah! Negara pasti jahat! Itu yang dianggap Sahal sebagai salah kaprah para HRD. Dan hupla, Sahal lompat pada pernyataan bahwa hal itu akan memperlemah sikap tegas negara.

Baca Juga :  Israel Ngamuk Langsung Membalas Serangan Roket yang Ditembakkan dari Gaza

Betul-betul pukulan bertubi-tubi dari Sahal ke para HRD. Mari kita lihat satu persatu. Tapi harap dicatat dulu bahwa semua HRD itu juga manusia, tempat salah, alpa dan dhaif.

Pertama, tepatkah menuding HRD, apalagi Amnesty International, terlalu tergopoh-gopoh dalam memvonis tentang telah terjadinya judicial killing atau unlawful killing? Di atas saya kutip pernyataan Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia bahwa “penembakan terhadap enam pendukung FPI berpotensi menjadi unlawful killing.” Penggunaan kata “berpotensi” mengesankan sikap hati-hati Usman yang tak mau mendahului otoritas yang sedang melakukan investigasi atas kasus tersebut.

Selain itu, bagi seorang HRD profesional, apalagi representasi Amnesty International seperti Usman Hamid, barang tentu tidak bisa seenak udelnya bikin pernyataan pada sebuah kasus yang bisa bermagnitudo besar. Semua HRD profesional pasti mengerti standard pelaporan sebuah peristiwa pelanggaran HAM, yang rigid, detail, dan tidak sembarangan. Sahal bisa belajar salah satu rujukan kredibel dari HURIDOCS (human rights information and documentation system) tentang bagaimana melakukan pelaporan pelanggaran HAM. Kredibilitas Usman Hamid pasti dipertaruhkan kalau dia membuat laporan, opini, analisa yang salah. Posisi dia sebagai representasi Amnesty pasti rawan dicopot.

Kedua, sama seperti anggota Ahmadiyah, Syiah atau lainnya, anggota FPI juga manusia dan warga negara yang hak-hak asasinya wajib dilindungi negara. Bila pernyataan HRD dianggap menguntungkan FPI, di mana salahnya? Saya sudah contohkan di atas bahwa HAM memang untuk kemanfaatan semua manusia di muka bumi. Bagus sekali kalau korban bisa memanfaatkan sebuah advokasi penegakan HAM, karena memang itu tujuannya. Lagi pula logika mana atau siapa yang mau menghalalkan sebuah tindakan kekerasan (pembunuhan) atas seseorang yang melakukan tindakan sama sebelumnya? Sebagai orang yang pernah malang melintang dan study di dunia internasional, Sahal pasti sangat mengenal kalimat ini: “two mistakes do not make a right.” Tak akan ada sebuah kebenaran dari dua hal yang salah. Anggota FPI atau siapapun yang melakukan kejahatan kemanusiaan (human rights abuse) ya diusut tuntas, dihukum! Jangan dibiarkan!

Baca Juga :  Ngabuburit di Tepian Sungai Kapuas, Windy Masak dan Santap Kuliner Khas bersama 100 Anak Kampung Caping

Ketiga, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) memang sudah dideklarasikan sejak puluhan tahun silam. Tepatnya pada 1948. Bangsa-bangsa yang diwakili negaranya masing-masing telah menyepakatinya. Bahkan Indonesia tergolong negara pertama yang mengadopsi semua pasal DUHAM dalam Undang-Undang Dasar 50 (UUDS 50). Walaupun kemudian dianulir kembali lewat Dekret 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan membunuh UUDS 50 dan kembali ke UUD 45. Inilah sejarah kelam pertama pembunuhan demokrasi dan HAM secara politik di Indonesia.

Berarti menjadikan DUHAM sebagai dasar prinsip tindakan dan kerangka kerja, karena sudah puluhan tahun, silahkan saja disebut kuno. Tapi karena masih relevan dan hingga saat ini badan-badan dunia tentang HAM dan pertemuan-pertemuan regularnya dalam mengevaluasi negara-negara anggota penandatangan deklarasi masih terus diselenggarakan, masa iya kemudian dianggap kuno? Sudah berapa tahun usia masing-masing kitab suci di dunia ini dan masih dijadikan rujukan utama para penganutnya, masa akan dikatakan kuno juga?

Tugas HRD mengawasi negara itu memang keniscayaan. Sebagai watch dog, itu memang tugasnya. Masa lalu dituding akan “melemahkan” ketegasan negara? Tapi kalau cakrawala pemikiran Sahal memang luas, dia mestinya mengerti bahwa implementasi HAM dengan 3 kewajiban utamanya to respect, to protect, dan to fulfil dalam penyelenggaraan negara, ya, memang HAM bertujuan membatasi negara. Membatasi dalam hal apa? Dari kesewenang-wenangan, dari tindak semena-mena dalam memberangus hak-hak dasar warganya. Sehingga dengan kata lain, bukan “melemahkan,” tapi mendesak negara agar tidak berlaku jahat, dengan memperkuat negara agar menjalani kewajiban melindungi warganya dari semua bentuk ancaman (internal dan eksternal) lewat pelayanan-pelayanan pemenuhan hak asasinya.

Kalau perspektifnya seperti di atas, maka ya, HAM memang bertujuan “memperlemah” negara dengan tidak membiarkannya melakukan tindakan koersif dan represif, dan fokus sebagai civil servant, pelayan publik.

Apa itu negatif? Kuno? Melemahkan dan bukan memperkuat, Hal?  []

Comment