Gangguan Kejiwaan di Tengah Pandemi Covid-19

Pada 1998 terbit buku Sayyid Hossein Nasr bertajuk “Islam dan Nestapa Manusia Modern” dalam versi bahasa Indonesia. Buku tersebut mendeskripsikan nestapa manusia modern (barat) sebagai akibat terlalu memuja antroposentrisme dan pandangan dunia sain (scientific worldview) dengan mencampakkan agama dan hal-hal yang berbau metafisika dan teologis. Kini nestapa manusia modern tersebut bertambah nelangsa sebagai akibat merebaknya virus super kecil yang bernama corona virus desease (Covid-19).

Berbeda dengan krisis sebagai dampak modernitas yang pada umumnya banyak dialami negara barat/maju dan hanya sebagian saja dialami negara-negara timur. Pada krisis akibat pandemi Covid-19 hampir dialami semua negara. Tidak lagi memilah-memilih ras, ewarna kulit, agama, kemajuan ekonomi, peradaban, strata sosial, dan sebagainya. Dampak Covid-19 sangat multi dimensional, termasuk gangguan kejiwaan  (psychiatric disorders) dalam berbagai variannya.

Dampak kejiwaan antara lain gangguan kecemasan terdiri dari kecemasan sosial, fobia, dan panik. Kemudian gangguan psikotik yakni: gangguan jiwa parah yang menyebabkan munculnya pemikiran dan persepsi yang tidak normal. Misalnya penyakit skizofrenia. Seperti mengalami halusinasi, mempercayai hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi, dan bahkan mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata.

Fenomena Global

Dampak pandemi Covid-19 di sektor kejiwaan diungkapkan dengan nada keprihatinan oleh sejumlah pakar kesehatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam siaran pers Rabu (13/5/2020). PBB menyatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan krisis kesehatan mental, stres, anxiety (kecemasan), curiga berlebihan dan sebagainya. Banyak  orang menurut PBB merasa tertekan oleh isolasi fisik yang disebabkan oleh jarak sosial, ketakutan akan infeksi, ketakutan akan meninggal atau kehilangan orang yang dicintai.

Direktur Departemen Kesehatan Mental Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Devora Kestel menyebut, sebagai dampak dari isolasi yang berkepanjangan membuat manusia mengalami kesepian atau perasaan terisolasi. Serta dapat menyebabkan kecemasan, depresi dan demensia pada orang dewasa. Sementara Gubernur New York, Andrew Cuomo, menyebut isolasi di rumah dan menerapkan jarak dari sesamanya akan membuat tekanan psikologis. Apalagi, bagi mereka yang memiliki trauma.

Riset tim ilmuwan pada sebuah penelitian di Swiss yang diterbitkan di jurnal medRxiv menghasilkan kesimpulan, Lockdown dan pembatasan sosial akibat pandemi virus Corona, berdampak psikologis bisa mengurangi umur manusia. Judul risetnya adalah: Years of life lost due to the psychosocial consequences of COVID19 mitigation strategies based on Swiss data. Ada 4 ilmuwan dipimpin Dominik Moser dari Institute of Psychology Bern, Swiss dan ada 6 universitas yang terlibat dari Swiss, Kanada dan Amerika.

Di Amerika Serikat, beberapa tenaga medis mengalami kombinasi gangguan panik, kecemasan, insomnia, hingga mimpi buruk. Alasannya karena mereka harus terus berhadapan dengan pasien yang terus bertambah hingga akhirnya sebagian meninggal dunia. Sementara National Institute if Health menyebutkan, sekitar 30 persen dari populasi umum mengeluhkan gangguan tidur, sekitar 10 persen dari populasi umum mengeluhkan gangguan tidur, sekitar 10 persen mengalami gejala yang konsisten dengan diagnosis insomnia.

Sedangkan di Korea Selatan, sembilan dari sepuluh pasien yang sembuh dari Covid-19 dilaporkan mengalami berbagai efek samping, seperti kelelahan, dampak psikologis dan kehilangan indera penciuman dan perasa. Riset itu dilakukan saat kematian global akibat Covid-19 menembus angka satu juta pada Selasa (29/9/2020), yang menjadi tonggak sejarah kelam terkait pandemi, yang telah melumpuhkan ekonomi global, membuat sistem kesehatan kewalahan,dan mengubah cara hidup masyarakat.

Baca Juga :  Ridwan Kamil Usulkan Potongan Pajak Bagi Pengusaha Sektor Pariwisata

Kasus Indonesia

Di Indonesia, Kepala Staf Presiden Moldoko menyebut, selama periode 16-20 Maret 2020 saja ada 59 kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan pornografi yang dicatat oleh Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK). Sementara survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) selama April-Mei 2020 terhadap lebih 20.000 keluarga di Indonesia menunjukkan, 95 persen keluarga mengalami stres akibat pandemi dan pembatasan sosial yang dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei mengenai kesehatan mental melalui swaperiksa yang dilakukan secara daring. Pemeriksaan dilakukan terhadap 1.552 responden berkenaan dengan tiga masalah psikologis yaitu cemas, depresi, dan trauma.  Responden paling banyak adalah perempuan (76,1%) dengan usia minimal 14 tahun dan maksimal 71 tahun. Responden paling banyak berasal dari Jawa Barat 23,4%, DKI Jakarta 16,9%, Jawa Tengah 15,5%, dan Jawa Timur 12,8% (pdskji.org/home, 23 April 2020).

Hasil survei menunjukkan, sebanyak 63% responden mengalami cemas dan 66% responden mengalami depresi akibat pandemi Covid-19. Gejala cemas utama adalah merasa khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebihan, mudah marah, dan sulit rileks. Sementara gejala depresi utama yang muncul adalah gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah, tidak bertenaga, dan kehilangan minat.

Lebih lanjut, sebanyak 80% responden memiliki gejala stres pasca trauma psikologis karena mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait Covid-19. Gejala stres pascatrauma psikologis berat dialami 46% responden, gejala stres pascatrauma psikologis sedang dialami 33% responden, gejala stres pascatrauma psikologis ringan dialami 2% responden, sementara 19% tidak ada gejala. Adapun gejala stres pascatrauma yang menonjol yaitu merasa berjarak dan terpisah dari orang lain serta merasa terus waspada, berhati-hati, dan berjaga-jaga.

Sementara pemeriksaan lanjutan dilakukan terhadap 2.364 responden di 34 provinsi menghasilkan data  yang tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan sebelumnya. Sebanyak 69% responden mengalami masalah psikologis, 68% mengalami cemas, 67% mengalami depresi, dan 77% mengalami trauma psikologis. Dan sebanyak 49% responden yang mengalami depresi bahkan berpikir tentang kematian (http://pdskji.org/hom, 14 Mei 2020). Data tersebut menggambarkan permasalahan kesehatan mental, seperti cemas, depresi, trauma akibat pandemi Covid-19 dirasakan secara nyata oleh masyarakat Indonesia pada saat ini.

Dalam pada itu, data Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK-Indonesia) menyebutkan, setidaknya ada empat masalah yang paling banyak ditemui ketika wabah yang disebabkan Sars-CoV-2 melanda. Data ini didapatkan dari 14.619 individu yang mendapatkan penanganan IPK-Indonesia. Empat masalah yang paling banyak ditemui adalah kesulitan belajar, kecemasan, stress, dan gangguan mood antara lain depresi.

Sedangkan survei Puslitbangkes Kemenkes 2020 menghasilkan, 6,8 persen masyarakat Indonesia mengalami gangguan cemas, 85,3 persennya sebelumnya tidak memiliki riwayat gangguan psikiatri. Dari presentasi itu hampir 8 persen berasal dari Jakarta, Jawa Barat, Banten. Atas hasil survei ini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Emil) mengatakan, hal tersebut  relevan dengan peningkatan jumlah pasien yang mengalami gangguan cemas ke rumah sakit jiwa Jawa Barat.

Peran Institusi Keagamaan

Gangguan kejiwaan manusia di era pandemi Covid-19 yang dialami oleh bangsa Indonesia dan khususnya lagi umat Islam, menjadi tantangan pemuka agama, institusi agama dan keagamaan seperti: Majelis Ulama Indonesia,  Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kalangan perguruan tinggi, dan sebagainya. Pemuka dan institusi agama serta perguruan tinggi tidak bisa tinggal diam, melainkan harus secara proaktif, kreatif, inovatif  dan cerdas memberikan solusi atau jawaban atas problem krusial ini.

Baca Juga :  Jokowi Instruksikan Kementerian Tidak Terbelah Jalankan Program di Tengah Pandemi

MUI misalnya, merespon pandemi Covid-19 dengan menerbitkan fatwa terkait dengan pelaksanaan shalat. Melalui fatwa Nomor 14  Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 memfatwakan, dalam wilayah yang masuk zona normal/aman, umat melakukan ibadah dengan cara memastikan kondisi kesehatan dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, menjaga kebersihan tempat ibadah, dan ikhtiar untuk membawa sajadah sendiri.

Namun, ketika berada di kawasan yang berpotensi penularan rendah tetapi kondisi fisik sedang turun atau sakit, umat disarankan beribadah di tempat yang bersifat pribadi atau di rumah masing-masing.  Sementara, ketika berada di dalam suatu kawasan di mana wabah virus Covid-19 tak terkendali, maka pelaksanaan shalat Jumat dan ibadah berjamaah bisa dihentikan sementara waktu sampai kondisi normal. Sedangkan, di suatu kawasan yang penularannya terkendali, maka pelaksanaan ibadah sebagaimana biasa kewajibannya sembari secara bersamaan menjaga kesehatan.

Sementara merujuk surat maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah bernomor 02/MLM/I.0/H/2020 tentang Wabah Covid-19 dan Nomor 03/I.0/B/2020 tentang Penyelenggaraan Sholat Jumat dan Fardu Berjamaah di saat Covid-19 melanda, disebutkan perawatan jenazah pasien Covid-19 sejak meninggal dunia sampai dikuburkan, dilakukan sesuai dengan standar protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.

Hal senada diorkestrasikan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) yang menyatakan, kewajiban pemandian jenazah pasien Covid-19 tidak perlu dipaksakan jika dalam situasi darurat. Tentunya, keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan untuk memandikan meski hanya disiram dan menayamumkan jenazah pasien Covid-19 sebagai dispensasinya.

Rethinking dan Refokusisasi

Sayangnya, Fatwa MUI, NU atau Muhammadiyah, lebih banyak terfokus menjawab problem ritualitas keagamaan. Namun kurang menyentuh untuk mengatasi problem gangguan kejiwaan umat. Padahal aspek ini, termasuk yang paling terdampak pandemi Covid-19.  Oleh karena itu, diperlukan rethinking dan refokusisasi fungsi tokoh agama dan institusi keagamaan untuk menjawab dan mengobati  problem kejiwaan umat.

Caranya dengan mengintegrasikan fatwa atau nasihat (tausiyah) keagamaan yang selama ini cenderung ritualistik dengan nilai-nilai agama yang sifatnya psikologis dan spiritualistik. Dalam bahasa lain, tokoh dan institusi keagamaan tidak cukup hanya fokus pada pembenahan aspek eksoteris melainkan juga pada aspek isoteris umat. Dengan cara demikian, maka tokoh agama dan institusi keagamaan akan berperan lebih sentral dan substansial guna mengobati problem gangguan kejiwaan manusia, khususnya umat Islam.

Hal ini harus dilakukan, sebab gangguan kejiwaan sebagai dampak dari mereka yang sudah terpapar Covid-19 dan atau tidak/belum  maupun dampak ekonominya berupa resesi, kemiskinan dan kemelaratan sangat besar, dan kompleks. Bahkan dari problem kejiwaan tersebut berpotensi mengakibatkan seseorang kehilangan kepercayaan diri, frustasi, kehilangan harapan hidup hingga bunuh diri. Untuk pelaksanaanya tentu saja membutuhkan dukungan fasilitas kesehatan, teknologi kedokteran dan tenaga medis yang mumpuni dan memadai. [rif]

Achmad Fachrudin

Ketua Prodi KPI Fakultas Dakwah Institut PTIQ Jakarta

Comment