Menanti Kebijakan Kesehatan dan HAM 2019

KalbarOnline, Opini – Isu wajib kerja dokter spesialis (WKDS) seakan menghipnotis masyarakat dan media. Tak terkecuali para kelompok akademisi dan praktisi khususnya kesehatan.

Bahkan yang menarik perhatian, ada diskusi kelompok akademisi dari perguruan tinggi ternama mengajak semua disiplin ilmu untuk fokus memikirkan bagaimana solusinya ketika putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan kebijakan WKDS. Salah satu alasanya adalah jika pemerintah tidak menyediakan spesialis akan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).

Setidaknya sudah ada empat pilihan opsi yang ada tetapi sayangnya semua opsi itu hanya fokus pada salah satu solusi dan sudut pandang dari satu profesi tertentu dengan alasan diantaranya adalah untuk menekan dan mencegah angka kematian Ibu (AKI).

Pertanyaan besarnya adalah, apakah kecukupan spesialis atau tenaga medis bisa menjamin derajat kesehatan masyarakat dan AKI menurun? Secara teori selain tenaga kesehatan medis masih ada belasan tenaga kesehatan dan faktor lainya yang punya daya ungkit terhadap kesehatan secara jangka panjang.

Jika melihat data dan fakta yang sudah terjadi selain berbagai kajian ilmiah yang menyatakan bahwa derajat kesmas tidak semata ditentukan oleh satu sudut pandang dan satu profesi kesehatan. Bisa diingat dan dibuka lagi bahwa Kota Semarang yang merupakan basisnya Provinsi Jawa Tengah pernah memiliki AKI yang tinggi. Apakah Kota Semarang kekurangan dokter spesialis? Tidak juga.

Tapi faktanya Kota Semarang lebih memilih menekan AKI dengan pendekatan kebijakan paradigma sehat yaitu memilih menempatkan tenaga surveilans. Kebijakan itu dianggap lebih berdampak secara jangka panjang dan sampai ke akar masalah karena pendekatanya secara lintas profesi dan lintas sektor.

Baca Juga :  Menuju Akhir Tahun 2021: Evaluasi Capaian Perekonomian dan Kemiskinan di Kalimantan Barat

Penempatan tenaga surveilans AKI untuk mencari dan mendampingi ibu-ibu hamil yang berisiko tinggi. Selain juga menempatkan tenaga surveilans TB, HIV dan DBD di setiap kelurahan. Hasilnya bukan hanya AKI yang menurun beberapa kasus seperti DBD juga berhasil diminimalisir.

Salah satu tenaga yang ditugaskan itu adalah Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) selain profesi non spesialis. Tidak hanya di Kota Semarang, tahun 2018 Kabupaten Bandung merekrut 80 lebih SKM untuk tenaga promosi kesehatan dan epidemiologi sebagai wujud upaya realisasi revitalisasi Puskesmas sesuai rencana strategis (renstra) kesehatan 2015-2019. Demikian juga pemerintah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Malang, Kalimantan Timur dan Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan.

Coba kita telisik jauh lebih dalam renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019. Kebijakan WKDS lahir dengan output Perpres no 4 tahun 2017. Artinya kebijakan WKDS lahir dua tahun setelah Surat Keputusan Menteri Kesehatan tentang Renstra Kesehatan 2015-2019. Meskipun WKDS tidak masuk ke dalam renstra tersebut, tetapi WKDS punya kebijakan khusus dalam bentuk Perpres yang kini dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Lalu bagaimana dengan kebijakan revitalisasi Puskesmas dengan prioritas lima tenaga kesehatan, Apakah juga mendapat perhatian seperti WKDS dikalangan akademisi dan politisi? Hingga waktu yang tinggal hanya satu tahun lagi, belum ada indikasi dan publikasi bagaimana capaian target revitalisasi puskesmas dalam renstra tersebut. Jangan sampai 2019, ikutan ramai dengan tagar ganti isu kesehatan dan HAM.

Jika masih ingin lanjut fokus kepada kebijakan WKDS dan menganggap pemerintah melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun spesialisnya. Lalu apakah masyarakat akdedemisi, pemerintah pusat maupun daerah tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika tidak mencapai target renstra dan revitalisasi puskesmas.

Baca Juga :  Wacana Ketatanegaraan Dalam Konteks Negara Hukum Indonesia

Secara UU Pemerintah daerah urusan kesehatan adalah salah satu urusan wajib yang harus terpenuhi. Masalah kesehatan dan HAM sudah sewajarnya menjadi bagian wajib yang harus di prioritaskan oleh kalangan wakil rakyat baik eksekutif maupun legislatif di tahun politik 2019 mendatang.

Tapi hingga akhir 2018 kebijakan upaya revitalisasi Puskesmas dengan prioritas lima tenaga kesehatan (tenaga kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga kefarmasian dan analis kesehatan) belum ada kebijakan nasional yang mengakomodir seperti WKDS.

Apalagi dengan defisitnya JKN yang semakin membengkak, jika pengetahuan dan perilaku masyarakat mengenai kesehatan terabaikan, bukan sesuatu yang tidak mungkin angka rujukan, angka kesakitan dan kematian yang bisa dicegah akan kembali membebani pemerintah yang juga akan berdampak kepada masyarakat.

Program Nusantara Sehat sendiri ternyata tidak dikhususkan bagi kelima tenaga kesehatan yang diprioritaskan dalam revitalisasi puskesmas. Selain programnya hanya bersifat sementara atau solusi jangka pendek karena hanya ditugaskan 1-2 tahun saja. Sehingga prioritasnya kebijakan revitalisasi puskesmas seakan tergeser oleh kepentingan akademisi, praktisi maupun politisi.

Oleh sebab itu WKDS memang diperlukan, tetapi kta juga punya kewajiban merealisasikan renstra kesehatan. Diperlukan inovasi, kreatifitas dan nyali yang besar. Karena seolah-olah revitalisasi puskesmas adalah hal yang tabu untuk jadi isu yang dikampanyekan dan didiskusikan baik oleh akademisi, praktisi maupun politisi. Tahun 2019 menjadi momentum yang tepat untuk menguji calon wakil rakyat, kesehatan mana yang prioritas, wajib, efektif dan strategis agar masalah kesehatan tidak melanggar HAM baik kepada masyarakat maupun tenaga kesehatan.

Opini: Agus Samsudrajat S., SKM.,MKM

*Pengurus Pusat PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia)

*Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Se Indonesia (ICMI) Daerah Sintang

*Dosen luar biasa Universitas Muhammadiyah Pontianak Kelas Sintang

*Penggagas Program Satu Desa/Kelurahan Satu SKM untuk Indonesia Sehat

*Aktifis Kesehatan Masyarakat

Comment