Joe Biden Unggul Sementara, Trump Curiga Dicurangi

KalbarOnline.com – Penghitungan suara hasil pemilihan umum presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) berlangsung hingga kemarin (4/11). Namun, Donald Trump-Mike Pence sudah mendeklarasikan kemenangannya.

Dia bahkan meminta penghitungan suara di beberapa negara bagian dihentikan saja. Padahal, hasil electoral votes hingga pukul 22.00 justru menunjukkan Joe Biden-Kamala Haris unggul.

’’Frankly, we did win the election.’’ Begitulah kata Donald Trump saat mendeklarasikan kemenangannya. Dia bahkan menyebutkan bahwa ada sebagian pendukungnya yang bakal merayakan kemenangan secara besar-besaran. Deklarasi kemenangan itu disampaikan Trump kemarin pukul 02.00 waktu setempat dari Gedung Putih. ”Kita sudah bersiap menggelar perayaan besar. Faktanya, kita sudah memenangi pemilu ini,” ujar pria 74 tahun tersebut sebagaimana ditulis Associated Press.

Jika dilihat sekilas, saat itu Trump memang menang. Dia unggul sementara di banyak swing state alias negara bagian yang belum menentukan pemenang. Mulai Pennsylvania, Wisconsin, Georgia, North Carolina, hingga Michigan. Karena itu, dia ingin tabulasi di sana dihentikan. Alasannya, suaranya sudah tidak mungkin dikejar Biden. Dia juga curiga ada orang-orang yang mempermainkan suara untuk memenangkan Biden.

”Kita sudah unggul (di beberapa negara bagian, Red). Namun, beberapa orang ingin mencurangi negara ini,” ungkap Trump.

Trump memang memimpin pada malam pemilu. Namun, hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk merayakan kemenangan. Buktinya, kemarin pukul 22.00, perolehan suara elektoral Biden justru unggul. Biden mengantongi 238 suara. Trump hanya meraih 213 suara. Namun, hasil itu masih bisa berubah. Sebab, Biden maupun Trump belum mencapai jumlah suara minimal untuk memenangi pilpres, yakni 270 suara.

Kondisi yang berbalik itu membuat Trump geram. Dia curiga ada kecurangan. ’’Tadi malam saya masih memimpin perolehan suara di banyak negara bagian. Namun, secara ajaib suara itu hilang saat sisa balot dihitung,’’ tulis Trump dalam Twitter-nya.

Sementara itu, kubu Biden menanggapi sinis deklarasi kemenangan Trump dan tuntutan meminta penghitungan suara dihentikan. ”Pernyataan tentang menghentikan penghitungan jutaan suara yang sah itu benar-benar menjijikkan. Dia terang-terangan ingin menghilangkan demokrasi di negara ini,” tegas Jen O’Malley Dillon, kepala tim kampanye Biden, kepada CNN.

Hingga tadi malam, setidaknya ada lima negara bagian yang hasil pemilunya belum jelas. Salah satunya, Wisconsin. Setelah hari berganti, Biden yang semula tertinggal mampu mengungguli Trump dengan selisih tipis. Hanya 20 ribu suara.

Baca Juga :  Indonesia Angkat Isu Ini saat Menlu Tiongkok Kunjungi Tanah Air

”Jalur kemenangan Trump masih sama persis dengan 2016. Dia harus mengalahkan Biden di negara yang biasa memilih kandidat Demokrat, tetapi berpaling empat tahun lalu,” tutur Alex Conant, pakar strategi Republik, kepada New York Times.

(Sumber: US Network/AFP)

Dampak ke Indonesia

Sementara itu, mengenai dampak terhadap ekonomi Indonesia, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, jika Biden menang, hal itu akan memberikan angin segar bagi arus modal asing di pasar keuangan. ’’Investor AS yang selama ini bermain aman dengan beli emas, dolar, dan yen Jepang atau safe haven mulai berani masuk ke emerging market,” ujarnya.

Salah satu yang akan diincar penanam modal, lanjut Bhima, adalah obligasi pemerintah Indonesia karena menawarkan bunga yang tinggi kepada investor. Dari segi investasi asing langsung, AS diprediksi semakin masuk ke Indonesia. Itu jika normalisasi hubungan dagang berhasil.

Namun, jika Trump terpilih kembali, hal itu berpotensi menciptakan banyak ketidakpastian ekonomi global. Menurut Bhima, dengan terpilihnya Trump, pemulihan ekonomi global diproyeksi berjalan lambat dan kebijakan proteksionisme bisa berlanjut.

Dia melanjutkan, kebijakan proteksionisme yang dilakukan Trump telah banyak merugikan kepentingan Indonesia. ’’Buktinya, kinerja ekspor sebelum pandemi sudah lesu karena rendahnya permintaan bahan baku ke China dan ekspor langsung ke AS,” ucapnya.

Dari perspektif pelaku usaha, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan bahwa Indonesia bukan mitra dagang utama bagi AS. Indonesia hanya menempati urutan ke-50 dari daftar mitra dagang AS. Karena itu, siapa pun presiden AS yang terpilih, Kadin memprediksi hal tersebut tidak akan mengubah kebijakan yang signifikan terkait perdagangan Indonesia.

”Siapa pun presiden AS, pasti punya kebijakan yang akan disesuaikan dengan agenda besar perdagangan dari presidennya,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani kemarin (4/11).

Menurut Shinta, jika Biden terpilih, kebijakan yang dibuat tidak akan jauh berbeda dengan petahana Donald Trump. Kadin melihat Biden sebagai sosok multilateral. Pemerintahan Biden juga tidak pro-free trade sepenuhnya, tetapi akan lebih mengupayakan balance antara proteksi pasar AS dari impor, khususnya dari Tiongkok dan negara-negara yang dianggap melakukan persaingan dagang tidak sehat.

Baca Juga :  Intel AS Tuding Tiongkok Ingin Donald Trump Kalah dalam Pemilu

Shinta meyakini, Biden sangat mungkin tidak serta-merta menghentikan trade war, review, maupun penyelidikan-penyelidikan dagang terkait aktivitas perdagangan AS dengan negara-negara lain. Khususnya isu soal persaingan dagang yang tidak sehat. Baik meliputi isu dumping dan subsidi perdagangan hingga persaingan usaha yang tidak sehat karena peran BUMN di negara pesaing utama, yaitu Tiongkok. ’’Bahkan, dalam presentasi economic plan-nya, Biden mengatakan bahwa dirinya tak sungkan mengenakan tarif atau trade barrier bagi rekan dagang yang dianggap merugikan AS,” tegas Shinta.

Kadin menilai, pada prinsipnya, kebijakan Biden akan relatif sama dengan Trump. Hanya, konsep yang diusung Biden lebih terstruktur ketimbang Trump. ”Biden juga akan lebih terbuka untuk menciptakan kompromi dagang yang mengarah pada konsep fair-trade dengan negara-negara yang sedang sangat ditekan oleh kebijakan-kebijakan perdagangan Trump,” imbuhnya.

Baca juga:

  • Trump Merasa Dicurangi dan Ancam ke MA, Pilpres AS Berujung Sengketa?
  • Soal Pilpres AS, Presiden Iran: Bukan Presidennya, tapi Kebijakannya

Pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja menyatakan, pada dasarnya AS adalah AS. ’’Mereka punya keinginan untuk selalu menjadi yang terbesar dan terkuat, siapa pun presidennya,’’ katanya tadi malam. Dia menjelaskan, perbedaan Biden dengan Trump terletak pada pola komunikasi dan gaya kepemimpinan. Dinna mengatakan, jika Biden menang, pertama-tama dia akan sibuk dengan urusan dalam negeri. Dinna memperkirakan, dalam dua tahun pertama, presiden AS akan berfokus pada urusan dalam negeri. Misalnya, masalah lilitan pandemi Covid-19. Kemudian, persoalan polarisasi yang serius di publik AS.

Menurut Dinna, polarisasi di AS saat ini sangat serius. Sebab, bisa mengarah pada kekerasan antarkelompok jika tidak segera ditangani. Dinna menambahkan, jika Biden menang, dia akan memperbaiki komunikasi dan relasi dengan negara-negara sekutu. ’’Saya prediksi kalau dia menang, dia pasti akan mengunjungi Indonesia,’’ tuturnya.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment