NU Tegaskan Tempuh Jalur Hukum Gugat UU Cipta Kerja ke MK

KalbarOnline.com – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyesalkan proses legislasi Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. Menurutnya, Undang-Undang sapu jagat tersebut mengatur sangat luas, yang mencakup 76 Undang-Undang, sehingga dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kepentingan.

“Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk,” kata KH Said Aqil dalam keterangannya, Jumat (9/10).

  • Baca juga: Amnesty Kecam Tindakan Represif Kepolisian Hadapi Pendemo Omnibus Law

Nahdlatul Ulama, sambung Said Aqil, memahami UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan menyalurkan bonus demografi. Namun, niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh dicederai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang dapat terbuka bagi perizinan berusaha.

“Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara,” cetus KH Said Aqil.

Nahdlatul Ulama juga menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Cipta Kerja, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. Hal ini dipandang akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan.

Baca Juga :  Jokowi: Progres Vaksin Merah Putih Sudah 40 Persen

“Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya,” sesalnya.

KH Said Aqil menegaskan, upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Dia menyebut, pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel yang diwujudkan dengan perluasan sistem PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja yang masih didominasi oleh pekerja dengan skil terbatas.

Menurutnya, Nahdlatul Ulama bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terlebih, penghapusan jangka waktu paling lama tiga tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) juga berpotensi meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri.

“Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja,” cetus KH Said Aqil.

  • Baca juga: MK Bakal Tangani Judicial Review UU Cipta Kerja Sesuai Prosedur
Baca Juga :  KPK Berharap Perpres Supervisi dapat Bersinergi Memberantas Korupsi

KH Said Aqil menegaskan, upaya menarik investasi juga tidak boleh mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Dia lantas menyebut, Pasal 64 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa pasal dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan berpotensi menjadikan impor sebagai soko goro penyediaan pangan nasional.

“Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan,” bebernya.

Oleh karena itu, KH Said Aqil memastikan Nahdlatul Ulama bersama masyarakat yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, menempuh jalur hukum adalah langkah terbaik.

“Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa,” tegasnya.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment