Catatan Virus Mematikan Sejak 541 Masehi: Cacar, Pes, Colera, Smallpox, dan Kini Corona

KalbarOnline.com – Pandemi global saat ini, Virus Corona atau Covid-19, yang telah melumpuhkan jutaan orang di seluruh dunia akan mengubah jalur sejarah baru dan bahkan akan tercatat dalam sejarah di abad-21 ini.

Virus ini telah merenggut puluhan ribu nyawa di seluruh dunia dalam waktu singkat, menyebabkan kerusakan ekonomi tak terhitung di banyak negara dan membekukan globalisasi untuk sementara waktu. Ketika bisnis dan sekolah di berbagai daerah tutup satu demi satu, sistem perawatan kesehatan di seluruh dunia semakin merosot oleh penyakit ini

Virus ini mengubah cara manusia melakukan aktivitas setiap hari. Penyakit apapun itu berkembang bersama-sama dengan peradaban, dan contoh-contoh ideologi drastis dan perubahan gaya hidup yang menyebar di dunia dari dalam peradaban ini lazim.

Cacar

Meski tak menakutkan lagi, penyakit cacar dulu amat menakutkan. Banyak suku menganggapnya sebagai ulah makhluk halus dan mesti meninggalkan desa untuk menghindarinya. Di masa kini, cacar bukanlah penyakit menakutkan. Orang bisa dengan tenang menghadapinya lantaran akses layanan kesehatan sudah terjangkau dan makin mutakhir. Paling banter, orang akan merisaukan bekas lepuhan yang berubah jadi koreng lantaran sulit hilang. Kerisauan akan penyakit ini cenderung rendah sekarang.

Hal itu berbeda jauh dari zaman dulu. Mereka amat menakutinya. Sebelum masyarakat mengetahui cacar, mereka menganggap kemunculan cacar akibat ulah makhluk halus yang datang dari laut. Penduduk Pulau Buru bahkan sampai punya kepercayaan untuk menghindari pantai dan laut. Untuk mencegah cacar masuk ke desa, mereka melakukan ritual dengan membangun rakit kecil untuk melarung penyakit ke tempat asalnya.

Baca Juga :  Mantap! Bareskrim Polri Musnahkan 5 Hektare Ladang Ganja di Sumut

Melansir historia.id, Cacar sendiri, menurut catatan paling awal, muncul pertamakali tahun 1558 di Ternate dan Ambon. Dalam periode tersebut, cacar sudah jadi penyakit endemik di beberapa wilayah Asia Tenggara. Para pelaut Portugis mencatat, cacar mewabah di Fillipina pada 1574 dan 1591. Antara 10-20 persen penduduk terbunuh oleh cacar pada abad ke-16.

Di Kubu, Sumatera dan orang Dayak di Borneo percaya untuk menghindari cacar mereka dilarang pergi ke dataran rendah dan berada di sekitar orang asing. Bila harus melakukan transaksi, mereka akan melakukan barter bisu, melakukannya dari jarak jauh, dan menghindari dataran rendah. Kebiasaan itu berhasil menghindarkan orang Kubu dari epidemi cacar. Dalam seabad, tercatat hanya tiga kali Kubu terserang wabah cacar, jauh lebih sedikit dibanding daerah lain.

Di Aceh, Bali, Batak, dan Sulawesi, orang memilih meninggalkan desa selama bertahun-tahun untuk menghindari cacar. Begitu tahu ada salah seorang penduduk desa yang terkena cacar, mereka langsung cepat-cepat kabur dan mencari tempat tinggal baru. Usaha itu dilakukan karena mereka belum tahu cacar penyakit menular, melainkan kutukan roh halus.

Di Bali, Borneo, dan Sulawesi Tengah, orang-orang yang mati karena cacar dianggap sebagai kematian yang buruk. Mereka tidak akan diterima di surga atau alam kematian dan dikeluarkan dari lingkungan leluhur. Di Halmahera, pemakaman korban cacar akan dilakukan tanpa ritual, sedangkan di Batak, makamnya tidak boleh kelihatan.

Hal berbeda terjadi di Jawa. Ketika wabah cacar menyerang, orang tetap tinggal karena sudah terbiasa menghadapi penyakit menular. “Beberapa etnis yang paham bahwa cacar adalah penyakit menular tidak berusaha meninggalkan desa ketika epidemi terjadi,” tulis Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica”. Ia menduga, keputusan penduduk untuk tinggal karena mereka sudah terbiasa dengan penyakit mematikan dan pindah desa adalah hal sia-sia.

Baca Juga :  Kompak, Masyarakat Desa Tugu Mulyo Satu Suara Dukung Enos-Yudha di Pilkada OKU Timur
Sebelum penanganan cacar dilakukan secara medis modern, orang mengira penyakit ini sebagai ulah makhluk halus. Sumber: “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica”.

Keganasan cacar tentu tak hanya menyerang pribumi. Pada 1658 di Banda, beberapa orang kulit putih terkena cacar. Namun, penderitaan mereka tak separah kaum terjajah. Orang-orang Eropa relatif lebih resisten terhadap cacar lantaran kualitas lingkungan hidup yang bersih dan makanan yang bergizi. Pun akses kesehatan bagi mereka terbuka lebar, berbanding terbalik dengan pribumi. Orang Belanda menyebut cacar sebagai cacar anak atau penyakit anak-anak (kinderziekte) lantaran kebanyakan menyerang anak di bawah 12 tahun. Ada anggapan bahwa orang Eropa lebih kebal pada cacar lantaran sudah mengenal penyakit ini lebih dulu sehingga imun tubuhnya pelan-pelan terbentuk untuk resisten pada cacar.

Petugas kesehatan di Batavia juga berpikir bahwa etnisitas berpengaruh pada daya tahan penyakit tiap orang. Budak-budak dari Bugis dan Bali punya daya tahan tubuh lebih kuat menghadapi cacar dibanding budak dari Nias. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk dan kemungkinan terpapar cacar di tempat asal para budak. Bugis dan Bali berpenduduk padat, sementara Nias lebih jarang. “Nias terpapar cacar lebih jarang dibanding Bali dan Bugis sehingga punya daya imun lebih rendah,” tulis Boomgard.

Comment