Menelisik Sejarah Jamu yang Tengah Naik Daun Akibat Corona

KalbarOnline.com – Pamor Jamu belakangan naik daun usai Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif virus corona di Indonesia. Kewaspadaan pada virus corona membuat masyarakat mulai mencari berbagai pengobatan alternatif guna menangkal penyebaran virus tersebut, termasuk dengan mengonsumsi obat hingga jamu tradisional.

Hingga kini, memang belum ditemukan obat tertentu yang bisa menangkal atau bahkan menyembuhkan penderita dari virus tersebut, termasuk jamu.

“Kalau ada rumor obat tradisional, jamu, dan sebagainya, hingga sekarang, setahu saya belum ada gold standard (patokan resmi) untuk membunuh virus ini. Belum ada standarnya,” kata Dokter Clarin Hayes dikutip dari laman Galamedianews.com Selasa (10/3/2020).

Lebih lanjut, dokter muda yang juga aktif sebagai pembuat konten kesehatan di YouTube itu menegaskan bahwa COVID-19 dapat disembuhkan, karena sifat virus yang merupakan penyakit yang dapat disembuhkan sendiri (self-limiting disease).

“Mungkin di orang A minum jamu bisa ampuh (jadi lebih sehat), tapi kita enggak bisa sama ratakan karena memang belum ada standarnya,” ujarnya menambahkan.

Penyembuhan dari tubuh sendiri dipengaruhi dari sistem imun tiap individu. Imunitas individual pun dapat dibentuk melalui makanan dan minuman bergizi yang dikonsumsi.

Menengok ke belakang tentang sejarah obat tradisional atau jamu, dilansir dari laman historia.id. Penelitian tentang tanaman obat lokal sudah dilakukan para ahli bedah dan apoteker militer sejak VOC masih berjaya. Salah satunya oleh Jacobus Bontius, dokter yang merawat JP Coen. VOC sangat mendukung kegiatan penelitian lantaran bisa memangkas biaya pengiriman obat. Lewat Dewan XVII, VOC membiayai The Batavian Society of Arts and Sciences pada 1778 untuk mengurus kebun herbal dan mengadakan seminar tanaman obat (jamu).

Baca Juga :  Ternyata…Wilayah Kabupaten Tangerang Belum Sepenuhnya Diterangi Listrik

Semangat menemukan bahan obat di negeri jajahan terus berjalan ketika pemerintah Hindia Belanda menggantikan VOC. Pada 1817, pemerintah mendirikan Kebun Raya Bogor untuk tempat penelitian menemukan tanaman paling menguntungkan ekonomi Belanda sekaligus meneliti khasiat tanaman obat.

Sejarawan Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menjelaskan, studi tentang obat-obatan lokal menguntungkan Belanda baik secara praktis maupun keilmuan. Perintah kepada petugas kesehatan untuk meneliti terapi tradisional dan kemampuan para dukun pun dikeluarkan lewat pasal 52 Staatsblad Nomor 68 tahun 1827. Setiap unit daerah ditugaskan untuk melakukan obsevasi dan membuat laporan tentang praktik kesehatan penduduk pribumi.

Salah satu dokter yang mempelopori penelitian jejamuan di era itu ialah Friedrich August Carl Waitz. Penelitian Waitz tentang khasiat jamu membuktikan daun sirih mengandung agen narkotika dan bermanfaat mengobati batuk menahun. Ia juga menguji keampuhan air rebusan kulit sintok untuk mengobati masalah pencernaan, khususnya usus.

Temuan-teman macam itu menjawab keluhan Direktur Dinas Layanan Kesehatan Koloni Geerlof Wassink, yang mengatakan minimnya persediaan obat di negeri jajahan karena sepertiga bahan farmasi yang dikirim dari Belanda tidak berfungsi. Wassink yang juga editor Medical Journal of the Dutch East Indies, jurnal medis tertua di Hindia-Belanda, meneliti tanaman obat Nusantara yang ia terbitkan dalam tiga jilid. Dia rajin mengompori dokter dan ahli botani Belanda untuk meneliti tanaman obat di negeri jajahan.

Ketika Wasink meninggal pada 1867, semangat meneliti tanaman obat lokal diteruskan penggantinya, CL Van der Burg. Dalam editorialnya, Van der Burg mengajak para sarjana untuk melakukan pengamatan teliti tentang kemanjuran tanaman obat tropis. Ia juga mengeluarkan karya tulis medis pada 1885, “Materia Indica”, yang jadi seri ketiga buku De Geneesheer in Nederlandsch-Indie (Ahli Kesehatan di Hindia-Belanda).

Baca Juga :  Warga Pondok Aren Tangsel Dihebohkan Penemuan Mayat Wanita Dalam Kardus

Selain jamu, yang diteliti para sarjana Eropa ialah obat-obatan Tiongkok. Mereka sebetulnya agak kesulitan membedakan tanaman obat Nusantara dengan Tiongkok karena banyak kemiripan. Namun pada 1890, dokter AG Vorderman meneliti metode pengobatan difteri oleh seorang tabib Tiongkok. Tabib itu meniupkan bubuk merah ke tenggorokan pasien. Hasil yang sangat efektif mendorong beberapa dokter Eropa mengadopsi metode penyembuhan itu.

Profesor Hans Pols dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation” menyebut, sarjana lain yang aktif meneliti pada akhir abad ke-19 ialah Willem Gerbrand Boorsma. Ketika Boorsma menjadi Direktur Laboratorium Farmakologi di Kebun Raya Bogor pada 1892, penelitian pada jamu giat dilakukan. Boorsma melakukan analisis kimia dan farmakologis untuk menemukan sifat obat yang efektif dari tanaman.

Di laboratoriumnya, Boorsma bereksperimen dengan merebus daun, akar, dan rempah lalu mencampurnya dengan asam dan larutan kimia untuk mengidentifikasi kandungan aktif. Terkadang, Boorsma menjajal efek percobaannya pada kelinci atau anjing kecil.

Untuk menghimpun informasi tentang penggunaan jamu di Hindia-Belanda, Boorsma membuka korespondensi dengan para pejabat, dokter, dan pemilik perkebunan. Suatu ketika, respondennya mengirim surat terbuka di koran bahwa jamu berkhasiat sedang dikirim ke laboratorium Boorsma untuk dianalisis. Orang-orang Belanda yang membaca koran itu langsung membanjiri Boorsma dengan surat berisi permintaan ramuan sejenis. Padahal, Boorsma belum menerima jamu itu apalagi menelitinya. Hal itu menjadi bukti tingginya animo orang-orang Eropa pada ramuan obat Nusantara. [rif]

Comment