Disahkan Buru-Buru, Ini Poin-Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Kontroversi

KalbarOnline.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada hari ini, Senin (5/10/2020) menjadi undang-undang (UU).

Kendati mendapatkan perlawanan dan kritik tajam dari publik selama pembahasan dan pembentukkannya, nyatanya DPR RI dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan beleid itu dan mengesahkannya pada Senin (5/10/2020).

“Berdasarkan fraksi, 6 menerima, 1 menerima dengan catatan, dan 2 menolak. Mengacu pada Pasal 164, maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!” ujar Wakil Ketua DPR RI Azis  Syamsuddin dalam Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).

Pengesahan tersebut diwarnai interupsi dari Fraksi Demokrat dan PKS. Bahkan di pertengahan rapat, Partai Demokrat memutuskan untuk keluar dari ruang rapat alias walk out.

Berdasarkan rencana awal, pengesahan Omnibus Law menjadi UU dilakukan pada Kamis (8/10/2020). Akan tetapi DPR dan pemerintah mempercepat, baik proses pembahasan hingga legalitasnya. Wakil rakyat tersebut menggunakan alasan pandemi, agar penutupan masa sidang dipercepat.

Berikut poin-poin keputusan yang dianggap kontroversi terkait dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja:

Penghapusan Upah Minimum

Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP).

Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.

Baca Juga :  Imam Masjid di Depok Diancam dan Ditodong Pisau Orang Tak Dikenal

Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.

Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.

Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.

Jam Lembur Lebih Lama

Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.

Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.

Kontrak Seumur Hidup hingga Rentan PHK

Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.

Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.

Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan.

Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha diniali bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.

Baca Juga :  Update Pasien Positif Corona Tambah 82 Jadi 309 Orang, 25 Tutup Usia

Pemotongan Waktu Istirahat

Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Selain itu, dalam ayat 5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.

Mempermudah Perekrutan TKA

Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja.

Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja. [rif]

Comment