“Self Revolution” Gaungkan Isu Autentisitas Lewat Seni Lukis dan Fotografi

KalbarOnline, Pontianak – Sebagai bentuk apresiasi terhadap para seniman muda di Kalimantan Barat, Artsential Space dan Fase menyelenggarakan “Self Revolution”: Pameran Seni Lukisan dan Fotografi dari 6 (enam) seniman muda Kalimantan Barat.

Pameran tersebut digelar pada 29 September 2023 sampai dengan 8 Oktober 2023 di Coffeeshop Fase, Jalan Nusa Indah 2, Pontianak.

“Self Revolution” mencoba untuk mengangkat dan menggaungkan isu-isu seputar plagiarisme dan autentisitas (keaslian), baik itu di dalam ranah karya maupun karakter sang seniman.

Sub-tema dari “Self Revolution” adalah “Jungian Shadow, Hiperrealitas Baudrillard, Feminitas, dan Depresi”.

Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)
Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)

Terdapat 10 (sepuluh) karya seni berupa lukisan dan fotografi yang dibuat oleh para seniman independen maupun kolektif (Emehdeyeh): Jeremy Angus Fadjarai, Wahyu Baguz Riskiawan, Muhammad Fadhli Fitriyanda, Muhammad Iyas Alparisi, Katerin Febryanti Manurung (Emehdeyeh) dan Alef Dasilelo (Emehdeyeh), yang menjawab persoalan penyembuhan trauma melalui penerimaan Jungian Shadow.

Sang kurator, Bernard Batubara mencoba mendeskripsikan sub-tema dari masing-masing karya seni seniman.

PART 1: “Carl Jung’s Shadow dan Jean Baudrillard’s Hyperreality”

“Shadow” atau “bayang diri” adalah ide dari psikiater dan psikoanalis Swiss dari Universitas Wina, Carl Gustav Jung yang berarti sisi-sisi terdepresif dari pengalaman pribadi dan profesional kita sebagai manusia yang hidup di Indonesia pascakolonialitas.

“Untuk mencapai bayang diri, kita perlu melepaskan diri kita dari Simulasi Simulakra (Jean Baudrillard). Simulakra adalah sistem tanda yang membentuk sistem kepercayaan kita. Bentuk-bentuk dan atau pola-pola kehidupan sosial yang kita alami dan hidupi adalah apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulasi. Secara sederhana, semua hal ini disebut hiperrealitas atau realitas semu,” kata Bernard.

Oleh karena kesemuan ini, kita tidak dapat mencapai bahkan menerima bayang-diri kita. Kita terjebak di dalam simulasi hiperrealitas yang terdiri atas sangat banyak jumlah bentuk-bentuk dan atau pola-pola simulakra, yang tentu saja tidak mampu kita sadari semuanya, sebab semuanya berada di dalam ranah ketidaksadaran kolektif Jungian.

Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)
Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)

“Ketidaksadaran kolektif ini telah dimulai sejak Kapitalisme berdiri tegak menyarukan pandangan kita pada fenomena otak yang dinamai skizofrenia. Dari titik inilah saya mulai memahami karya-karya para seniman kita. Dalam buku “Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia”, filsuf Gilles Deleuze dan psikiater cum psikoanalis Felix Guattari melakukan konter-narasi atas psikoanalisa Freud yang dinilai ilogikal,” ujarnya.

“Dalam pandangan Deleuze dan Guattari, psikoanalisa tidak dapat digunakan untuk memahami keadaan pasien karena ia menafikan aspek-aspek sosial dan ekonomi yang melingkupi kehidupan pasien. Aspek-aspek sosial dan ekonomi ini tentu saja kapitalisme,” terang Bernard menambahkan.

Baca Juga :  Polda Kalbar Amankan 43 Paket Sabu Siap Edar dari Kampung Beting

PART 2: “Feminitas, Depresi, dan Media”

Keenam seniman pada pameran “Self Revolution Artsential” kali ini mendemonstrasikan peragaan cinta diri (self-love) yang berujung pada “revolusi diri” (self-revolution) yang menyadari peran-peran kapitalisme di dalam menyebabkan munculnya pasien-pasien skizofrenia yang tidak mampu dipahami apalagi dijelaskan ke masyarakat umum dan atau masyarakat awam oleh dr. Sigmund Freud.

Pada karya fotografi “Ssssttt…”, Fadhli menawarkan tesis tentang feminitas melalui bunga-bunga. Sedangkan “Lead to You” menunjukkan topologi geospasial-temporal yang membahasakan Narcissistic Personality Disorder (NPD).

Pada karya fotografi “Highest Mountains”, Jeremy Angus Fadjarai memperlihatkan peristiwa budaya yang dibakar oleh pola-pola yang menyerupai api, menunjukkan Lacanian “Drive and Lure” Jeremy yang jiwanya bergerak maju dan mundur di antara momen-momen kebudayaan, mencari tanpa menemukan dan “jouissance” terdapatlah di dalamnya. “Drive” Jeremy adalah untuk merevolusi diri melalui momen-momen kebudayaan (“Lure”).

Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)
Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)

“Scaled” menunjukkan pose obsessional-neurosis tentu akibat bertarung sama norma-norma sosial. “Through the Fields” melambangkan kebisuan (audio) melalui potret lanskap “nature” petak sawah yang menyerupai grafik Cartesian gelombang bunyi melalui permainan light dan shadow.

Karya digital art Wahyu, “Poison”, adalah penegasan akan nilai-nilai moral yang sangat hitam dan putih. Benda menyerupai meja menandakan tempat diletakkannya nilai-nilai moral tersebut. Meja dapat mengingatkan kita pada tempat-tempat seperti rumah atau kantor. Dua tipe lingkungan bersosialisasi yang sangat dinamis di dalam perbenturan-perbenturan nilai-nilai moralnya.

Lukisan-lukisan akrilik di atas kanvas oleh M. Iyas A. memperlihatkan dengan jelas kondisi mental dan atau jiwa yang sedang mengalami depresi. Persoalan depresi ini perlu dilihat tidak hanya sebagai vonis klinis, tetapi juga gejala sosial teranyar dan atau terkiwari dan atau terkini dan atau terbaru yaitu di saat Indonesia sibuk dengan polusi udara di Jakarta, bukan di Pontianak. Pemberitaan yang didominasi sekali lagi oleh ke-Jakarta sentris-an membuat seorang pelukis Pontianak secara sadar maupun tidak berempati pada hal tersebut dan menuangkannya ke dalam dua jumlah karya lukis yang menggambarkan kondisi dan atau keadaan depresi.

Punggung pada “Aku tidak tau kamu tidak tau mereka tidak tau dan kita sama sama tidak tau.” dan puntiran tubuh pada “dalam kegelapan” dapat dilihat sebagai sepasang karya yang saling melengkapi. Punggung jelas menunjukkan pose kecemasan dan puntiran tubuh merupakan senam depresi yang dapat meredakan kecemasan atau pose relaksasi yang pula dapat berdimensi spiritual.

Baca Juga :  Lestarikan Budaya Melalui Festival Meriam Karbit Tingkat SMA
Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)
Beberapa karya seni dalam pameran “Self Revolution”. (Foto: Istimewa)

Lukisan Katerin Manurung, “Tengkuluk”, dapat memunculkan multitafsir namun tidak lepas dari apa yang kita kenal sebagai teori-teori “Gaze” (Pandangan Mesum/Wujud Freudian Perversy).

“Gaze” ini dapat dilakukan oleh siapa saja: laki-laki, perempuan, profesi apapun, namun yang perlu kita ingat terdapat relasi kuasa yang timpang dan harus terus-menerus kita usahakan agar imbang, antara “The Gazer” (Yang Memandang) dan “The Gazed” (Yang Dipandang).

Lukisan Alif Dasilelo, “Iskariot”, sependek yang saya ketahui tentang Kristologi, “Iskariot” adalah nama belakang dari Yudas ataupun Judas, sosok sahabat Jesus dari Nazareth, yang dibingkai oleh media-media Barat sebagai pengkhianat Jesus dari Nazareth. Benar dan ataupun tidaknya, “Iskariot” memperlihatkan dengan jelas simbol-simbol yang dapat kita maknai: mimik dan atau airmuka yang “Androgyneous” berarti justru sebaliknya.

Gender Iskariot atau malah Yesus itu yang bergender cisheteroseksual. Pola dan atau motif batik yang berarti justru sebaliknya yaitu “seorang cisheteroseksual yang sedang melakukan de-javasentralisasi. Background berwarna merah menyala dan atau merah darah yang berarti justru sebaliknya yaitu biru pekat yang seringkali kita asosiasikan sebagai “warna-warna dingin” yang melambangkan ketenangan.

Para seniman sedang berbincang dalam sesi artist talk. (Foto: Istimewa)
Para seniman sedang berbincang dalam sesi artist talk. (Foto: Istimewa)

PART 3 : “CHE VUOI?” atau “Maumu Apa?”

“Che vuoi?” adalah frasa retorik di dalam bahasa Italia yang berarti “Maumu apa?” Ditulis oleh filsuf dan periset psikoanalisis Slovenia, Slavoj Zizek, di dalam bukunya “The Sublime Object of an Ideology” (1989) yang menjelaskan tentang kekeliruan psikiater dan psikoanalis Prancis jebolan Universitas Paris – Sorbonne, Jacques Lacan, di dalam melakukan homolog di antara psikoanalisa Sigmund Freud dengan teori-teori Marxisme dari filsuf Ekonomi Jerman, Karl Marx, dan menghasilkan istilah yang konyol yang kita kenal dengan nama “synthome”.

“Synthome” berarti truisme. Sebuah kebenaran sejati akan teori-teori psikoanalisa Sigmund Freud.

“Tentu, melalui karya-karya keenam seniman muda kita ini, kita telah paham dan bahkan mungkin khatam di dalam mengenal kebenaran yang bersifat terfragmen dan atau fragmentatif dan atau parsial,” ujarnya.

“Mau kita apa? Kebenaran sejati akan jati diri kita pribadi secara individu atau kah kolektif? Sebab, seringkali kita menemukan diri sendiri di dalam diri orang lain dan begitu pula sebaliknya. Orang-orang lain menemukan dirinya sendiri ketika mereka mengamati kita,” tutup Bernard. (Indri)

Cek Berita dan Artikel lainna di Google News

Comment