Potensi dan Kendala Pengembangan Pariwisata Indonesia

Oleh: Alex Afdhal

KalbarOnline, Serbaneka – Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia saat ini tengah aktif mengembangkan diri dalam segala bidang. Pengembangan kegiatan-kegiatan di setiap sector tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Berdasarkan pada penelitian pustaka yang dalam hal ini difokuskan pada bagaimana mengembangkan sebuah potensi wisata suatu negara.

Dalam Strategy Nations Compared Method, Indonesia menempati kategory mahal dibandingkan dengan negara pesaing yang mengandalkan potensi alam sebagai destinasi wisata.

Jermal Merupakan Bagian dari Objek Wisata yang Ada di Kalimantan Barat (Foto: Borneo Access Adventurer)
Jermal Merupakan Bagian dari Objek Wisata yang Ada di Kalimantan Barat (Foto: Borneo Access Adventurer)

Berikut sejumlah refrerensi tiket masuk taman nasional di berbagai tempat di Indonesia dan Malaysia:

  1. Harga tiket masuk di Taman National Betung Kerihun (TNBK) Kapuas Hulu, Indonesia Rp150.000 per hari untuk wisata mancanegara pada hari biasa, Rp225.000, exclude biaya lain seperti parking speedboat Rp100.000 per hari kapasitas (40hp).

Sebagai pembanding adalah Taman Negara Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia.

  1. Taman Negara Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia. Biaya Masuk RM15 orang dewasa, RM10 untuk anak-anak (untuk orang Malaysia: RM3, RM1) tambahan biaya RM120 untuk mendaki Gunung Kinabalu per masuk (setiap kali masuk, untuk mendaki 3 hari hingga 5 hari per trip).

Pada poin 1 dan 2 dipaparkan perbandingan harga yang menyolok dari dua tempat berbeda dengan potensi objek yang hampir sama (wisata alam).

Salah Satu Fauna Endemik yang Ada di Taman Nasional Gunung Palung (Foto: Borneo Access Adventurer)
Salah Satu Fauna Endemik yang Ada di Taman Nasional Gunung Palung (Foto: Borneo Access Adventurer)

Hal tersebut merupakan potensi dan sekaligus kendala. Secara garis besar setiap daerah harus mengembangkan sektor pariwisata dengan memanfaatkan sumber daya seoptimal mungkin. Salah satu sektor yang masih belum dioptimalkan pengembangannya adalah sektor pariwisata alam, meskipun dalam penyusunan kebijakannya, strategi untuk sektor ini telah sering dirumuskan, namun ternyata pelaksanaannya masih mengalami kendala seperti yang juga dialami oleh Pemerintah.

Danau Belibis di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, Kapuas Hulu (Foto: Borneo Access Adventurer)
Danau Belibis di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, Kapuas Hulu (Foto: Borneo Access Adventurer)

Contoh, Kabupaten Kapuas Hulu dengan potensi wisata alam, Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) namun kedua potensi ini tidak bisa maksimal disebabkan manajemen pemerintah sebagai regulator yang tidak professional.

 

Fakta di lapangan harga tidak kompetitif, karena operator local tidak bisa menekan biaya yang besar yang merupakan kebijakan pemerintah.

Akibatnya, kunjungan wisatawan tidak maksimal. Bila dibandingkan tempat ke tempat Taman Nasional Danau Sentarum, tiket terjual kepada wisatawan asing kurang dari 10.000 pertahun, dilain tempat, Taman Nasional Gunung Kinabalu lebih dari 1.000.000 pertahun.

POTENSI pengembangan pariwisata sangat terkait dengan lingkungan hidup dan sumberdaya. Fandeli (1995:48-49), berpendapat bahwa sumberdaya pariwisata adalah unsur fisik lingkungan yang statik seperti: hutan, air, lahan, margasatwa, tempat-tempat untuk bermain, berenang dan lain-lain.

Karena itu pariwisata sangat terkait dengan keadaan lingkungan dan sumberdaya. Ditambahkan pula bahwa Indonesia yang memiliki keragaman sumberdaya yang tersebar tersebar mulai dari Sabang hingga Meraoke dari Sanger Talaut hingga Pulau Rote ribuan pulau besar dan kecil dengan potensi alamnya yang eksotik seperti, Taman Nasional Danau Sentarum dengan, di Kalimantan Barat yang luasnya mencapai 133 ribu hektar; Bunaken di hujung utara Pulau Sulawesi dengan potensi wisata Bahari, demikian pula Kepulaun Raja Ampat di Papua Barat yang menyimpan potensi luar biasa namun belum tergarap secara optimal.

Baca Juga :  Di Hadapan Presiden dan Pemimpin Asean, Dirut PLN Paparkan Green Enabling Supergrid Hingga Rampungnya PLTS Terapung Cirata

Selain lautannya yang luas memiliki potensi yang baik untuk kegiatan pariwisata di daratan Indonesia juga memiliki daya tarik yang tidak ada duanya di dunia, seperti Komodo, di Taman Nasional Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Orangutan di Taman Nasional Tanjungputing Kalimantan Tengateh dan Kanguru di Taman Nasional di Papua Barat.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS (1999) menunjukan bahwa luas lautan Indonesia 7,9 juta km² atau 81% dari luas keseluruhan, dan luas daratannya 1,9 juta km². Daratan memiliki ratusan gunung dan sungai, hutannya seluas 99,5 juta ha yang terdiri dari 29,7 juta ha hutan lindung dan 29,6 juta ha hutan produksi, serta ratusan bahkan ribuan jenis flora dan faunanya. Unsur-unsur ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan bagi kegiatan pariwisata.

Dari berbagai sumber informasi dan surat kabar, diberitakan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi di daerah-daerah yang belum dikembangkan atau dijadikan daerah tujuan wisata (DTW). Sekitar 212 obyek wisata, berupa peninggalan bersejarah, gunung, air tejun, danau, hutan, dan lain-lain yang ada di Sumatera Selatan yang belum dikelola (Suara Pembaruan, 11-12-1999:12).

Daerah Lampung yang kaya dengan peninggalan-peninggalan bersejarah, gunung-gunung, pantai-pantai dan berbagai keindahan alam yang terukir pada beberapa lokasi, belum dijadikan obyek wisata secara optimal (Suara Pembaruan, 22-12-1999:10).

NTT yang kaya akan obyek wisata laut juga belum dikembangkan (Suara Pembaruan, 27 Juli 1999:10), dan masih banyak obyek wisata lainnya yang belum dimanfaatkan sebagai DTW guna mendatangkan keuntungan secara sosial ekonomi.

Sumberdaya alam hayati, seperti Taman Nasional Tanjung Puting (Kaltim), Taman Nasional Ujung Kulon (Jabar), Taman Nasional Komodo (NTT) dan berbagai sumberdaya alam hayati lainnya, merupakan potensi bagi sasaran kunjungan pariwisata (Suara Pembaruan, 17 Sept. 1999:8).

Selain itu, Indonesia dengan keragaman suku, agama dan ras (SARA) yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, berupa tari-tarian dan upacara-upacara adat juga merupakan hal yang sangat potensial bagi pengembangan pariwisata.

Memang diakui bahwa dengan keragaman SARA tersebut juga mengandung potensi konflik yang seringkali dapat menimbulkan kerusuhan sosial. Karena itu dalam rangka pengembangan pariwisata, selain terdapat sejumlah potensi yang dapat diandalkan, juga terdapat sejumlah hal yang dapat menjadi kendala.

Adapun kendala-kendala yang akan dihadapi dalam pengembangan pariwisata, antara lain adalah: kendala alam dan kendala sosial antara lain: pertama, regulasi dan peraturan, kerusuhan sosial serta politik, serta teror yang beberapa kali dan beberapa negara mengeluarkan Travel Warnings agar rakyatnya tidak berkunjung ke Indonesia.

Bahkan ada negara yang mengeluarkan Travel Bend, melarang rakyatnya berkunjung ke Indonesia. Akibatnya banyak orang asing yang mahu datang untuk berwisata tapi terhalang. Baik oleh peraturan maupun keadaan, seperti kurang terjaminnya keamanan bagi para wisatawan.

Menurut Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, Marzuki Usman bahwa akibat berbagai kerusuhan yang sering terjadi selama tahun 1998, terjadi penurunan jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia sekitar 16,35% dibanding tahun 1997, yaitu pada tahun 1997 wisatawan asing yang datang sejumlah 5,1 juta orang, pada tahun 1998 hanya 4,3 juta orang (Kompas, 28 April 1999:3).

Disebutkan pula bahwa banyak biro perjalanan yang membatalkan perjalanan wisatanya ke Indoesia karena alasan keamanan. Melihat akan adanya penurunan tersebut, dapat dibayangkan berapa besar kerugian yang dialami, apalagi bila dikaitkan dengan biaya-biaya promosi yang telah dikeluarkan.

Baca Juga :  Disindir Tinggalkan Gelanggang, Febri: Terima Kasih Pak Ghufron

Kedua, mutu pelayanan dari para penyelenggara usaha pariwisata, persaingan yang tidak sehat di antara para penyelenggara pariwisata serta kurangnya pemahaman terhadap pentingnya pelindungan konsumen yang sangat ditekankan di negara negara maju seperti negara negara Eropa, Amerika dan Australia, merupakan kendala yang sangat menghambat pariwisata di Indonesia (Suara Pembaruan, 17 Sept. 1999:8).

Ketiga, kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengembangan pariwisata merupakan kendala sosial yang masih banyak dijumpai di masyarakat yang bergerak di sektor tersebut. Contoh, disebuah objek wisata tidak sedikit masyarakat amam beranggapan bahwa turis itu adalah orang kaya yang datang untuk berderma, sehingga ada hal hal anih keluar dan kedengaran sumbang; “om suruh lah turisnya taruh uang di kotak sumbangan itu.”

Oleh sebab itu banyak rencana pengembangan yang gagal karena kurang mendapat dukungan dari masyarakat akibat rendahnya kesadaran tersebut.

Seharusnya, regulator mengimbangi penyiapan masyarakat dengan ketersediaan objek wisata serta perangkat aturan yang berpihak pada pengembangan industri pariwisata, sebaga industri, “gabungan produk yang nyata dan tidak berwujud”.

Contoh lain dapat dilihat pada contoh kasus pengembangan pariwisata di Sungai Barito, Banjarmasin dengan Program Pasar Apung (PPA). Dalam pelaksanaan PPA masyarakat diberi dana untuk pengecetan sampan-sampan miliknya, tetapi dana tersebut tidak digunakan untuk mengecet sampannya tetapi untuk hal yang lain (Kompas, 23 Januari 1999).

Keempat, kurangnya modal dan rendahya sumberdaya manusia, terutama tenaga yang terampil dan profesional dalam hal manajerial di bidang pariwisata merupakan kendala yang seringkali muncul terutama pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Suara Pembaruan, 5 Peb. 1999:10).

Sumber daya manusia merupakan komponen utama dan penentu, terutama dalam menjalan pekerjaan pada jajaran frontlinters, yakni mereka yang bertugas memberikan pelayanan langsung kapada para wisatawan (Suara Karya, 25 Pebruari 1998:8).

Kelima, sistem transportasi yang belum memadai seringkali menjadi kendala dalam pariwisata yang perlu ditinjau kembali, untuk meningkatkan pelayannya dari segi kualitas maupun kuantitasnya (Suara Pembaruan, 17 Sept. 1999:8).

Keenam, pengelolaan pariwisata yang bersifat top-down merupakan salah satu kendala yang banyak menghambat pariwisata, terutama pada masa Orde Baru yang terlalu otoriter dan sentralistis (Kompas, 23 Januari 1999:2).

Selama ini, banyak DTW yang tidak dikembangkan karena berbagai keterbatasan dari pemerintah pusat, sementara itu pihak swasta dan pemerintah daerah harus menunggu petunjuk dari pemerintah pusat.

Comment