Mujahidin Digoyang, Waspada Umat Berang

KalbarOnline, Pontianak – Masjid Raya Mujahidin yang berdiri kokoh di tengah jantung Kota Khatulistiwa saat ini tengah digoyang dengan isu uang haram korupsi pemberian hibah dari Pemprov Kalbar. Perkaranya kini tengah ditangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalbar.

Kendati banyak kalangan yang menilai, kalau perjalanan kasus ini sendiri sebenarnya cukup liut untuk dicermati, lantaran sejak awal dasar penetapan dugaan tindak pidana korupsi yang digunjingkan selama ini tidak terlalu jelas.

Begitupun dari sisi Aparat Penegak Hukum (APH), juga tidak benar-benar menjelaskan mengenai detail soal perkara korupsi yang diselidiki, selain pemeriksaan-pemeriksaan senyap yang dilakukan kepada sejumlah pihak yang dianggap—secara subjektif—terkait.

Lantaran ketidakjelasan itu, asumsi liar terhadap citra pusat dakwah dan kajian Islam terbesar di Kalimantan Barat itu terus berhembus tanpa kendali, seiring dengan riuh rendahnya pemberitaan media massa dan sosial. Belum lagi kalau melongok perbincangan bebas di jagat maya, memanglah payah nak dibendung.

Sinyal ini yang barangkali coba diurai oleh pengamat hukum dan kebijakan publik Kalbar, Herman Hofi Munawar. Dalam sebuah tulisannya di salah satu media, ia mengesankan kalau polemik berkepanjangan ini, disadari atau tidak, sedikit demi sedikit juga telah menyeret masuk masyarakat awam dalam pusaran perdebatan sumir, yang nyaris tanpa ada edukasi dan faedah sama sekali yang didapat.

Walaupun Herman Hofi memaklumi juga, jika publik berhak bertanya dan memiliki rasa penasaran lebih, lantaran yayasan Mujahidin sendiri adalah yayasan milik umat luas, yang tentu umat akan merasa risih dan terganggu jika—hal yang mungkin dianggap tabu atau bahkan sakral oleh sebagian kalangan—itu tak putus dipersoalkan dengan tajam.

Kekhawatiran lainnya pula, bagaimana jika isu itu bakalan berimbas pada keseluruhan aktivitas, sosial, ekonomi, pendidikan—yang itu tentu beririsan dengan aktivitas yayasan, pengajian, jemaah, para ustadz/ustadzah, guru, para orang tua, murid dan seterusnya—orang-orang yang mungkin cukup tergantung kemaslahatannya dengan keberadaan Mujahidin?

Perkara mengenai inti atau subjek yang dipergunjingkan, pun Herman Hofi juga terang mengakui, kalau ia merasa heran dan masih mencari-cari, apa sebenarnya substansi yang dipermasalahkan itu?

“Coba kita sama-sama pahami terkait hibah dan bansos pada Masjid Raya Mujahidin. Apa landasan hukumnya. Hal ini menjadi penting sekali agar informasi menjadi benar dan tidak menjadi liar yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang bersifat negative interest atau pihak yang tidak puas atas suatu kebijakan yayasan,” kata dia.

Bijaksananya, menurut Herman, pihak-pihak terkait memang sebaiknya segera menyudahi benang kusut ini, sebelum benar-benar terpintal dan membawa kerepotan sendiri, yang memang itu tidak diperlukan dalam kerangka merawat kondusivitas serta menjaga kekhusyukan umat yang kini pelan-pelan mulai beralih.

“Tentu menjadi dambaan kita semua dalam penegakan hukum itu harus didasari fakta dan alat bukti. Sebab, jika tidak, akan memunculkan penegakan hukum yang didasari kebencian dan balas dendam,” jelasnya.

Berstamina Setelah Sekian Lama..

Setelah sekian lama melandai dan hampir redup, publik kini kembali dikejutkan dengan kabar soal geliat penegak hukum yang sontak berstamina mengugut dugaan korupsi pemberian hibah Pemprov Kalbar ke Yayasan Masjid Raya Mujahidin.

Persisnya pada Rabu (08/05/2024), di mana beredar sepotong informasi yang tersebar secara berantai melalui aplikasi perpesanan instans WhatsApp—kalau Kejati Kalbar telah menaikkan tahapan proses kasus tersebut, dari penyelidikan ke penyidikan.

Tak lama, kabar ini lalu disusul dengan adanya penampakan foto selembar dokumen yang “mengumumkan” adanya pemanggilan sejumlah pejabat oleh Kejati Kalbar untuk diperiksa terkait uang hibah pada Senin 13 Mei 2024.

Ditambahkan pula, kalau pemanggilan yang ditujukan khusus kepada pihak Yayasan Mujahidin Pontianak ini—didasarkan pada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat bernomor: Print-02/O.1/Fd.1/04/2024 tanggal 30 April 2024.

Diketahui, kabar soal peningkatan status kasus ke tahap penyidikan itu pun juga turut beredar di kalangan pejabat Pemprov Kalbar. Pendopo mendadak riuh. Empat nama penting disebut.

Sayangnya, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kalbar, I Wayan Gedin Arianta yang diwawancarai beberapa awak media pada hari H pemanggilan pemeriksaan pada Senin 13 Mei, belum juga dapat menjelaskan soal detail perkara atau materi yang menjadi objek pemeriksaan. Kendati statusnya sudah naik penyidikan.

Wayan setakat menjelaskan, kalau alasan penyidik melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak dari kalangan internal yayasan, itu sepenuhnya merupakan kewenangan penyidik sendiri. Selain itu, Wayan juga menambahkan, kalau penyidik Kejati Kalbar sejauh ini belum menetapkan satupun tersangka dari hasil penyidikan yang dilakukan kepada pihak-pihak tersebut.

Kedepankan Kehati-hatian dan Objektivitas

Tokoh intelektual muslim Kalbar yang juga akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak, Chairil Effendy mendorong agar pihak Kejati Kalbar dapat mengedepankan aspek kehati-hatian dalam menangani perkara yang melibatkan situs yang cukup memiliki sejarah panjang dan menjadi “landmark” bagi kota berjuluk Kota Khatulistiwa ini.

Baca Juga :  Ditetapkan Tersangka, Siman Bahar Gugat KPK

Bagaimanapun menurut Chairil, bantuan hibah yang diberikan pemerintah, merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap eksistensi Mujahidin, yang hal tersebut tentunya sangat disambut suka cita oleh umat muslim Kalbar, khususnya di Kota Pontianak.

“Mujahidin itu kan besar ya, gedungnya besar, kita bangga, tapi kan tidak bisa kita sepenuhnya menyerahkan kepada umat Islam untuk ‘menghidupinya’ kan? Tidak mungkin dana-dana (kalau hanya dari) tok (kotak amal/sumbangan, red) masjid itu bisa membayar listrik, membayar air, membayar kebersihan, keamanan dan lainnya. Ya kita sebagai umat Islam senang kalau ada pemerintah memberikan perhatian, membantu,” ujarnya, Senin (13/05/2024).

Mengingat begitu dalam dan besarnya kecintaan umat Islam terhadap Mujahidin yang dipandang bukan sekadar sebagai tempat ibadah semata, tokoh panutan publik yang juga Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Provinsi Kalbar itu berharap, APH dapat pula menilai kasus yang dialamatkan secara objektif.

“Siapapun saya kira, sebagai umat Islam harusnya senang, tidak boleh melihat persoalan itu dari sisi like and dislike,” kata dia.

Tanpa bermaksud campur dalam soal, Chairil berpandangan, selama pemberian hibah yang dilakukan kepada Yayasan Mujahidin disandarkan pada aturan dan perundang-undangan yang jelas, maka hal itu sah-sah saja.

“Masalahnya apakah ada penyalahgunaan? Kalau ada ya itu harus, namanya uang negara kan, saya setuju itu (disidik), misalnya ada hibah diberikan, tapi oleh si penerima hibah tidak digunakan sebagaimana mestinya, tidak dibuat laporan, tidak ada pertanggungjawabannya, ya itu harus diproses,” katanya.

“Tapi kalau sejauh itu hibah diberikan sesuai dengan aturan, penerima hibah menggunakan dana itu dengan amanah, lalu memberikan laporan-laporan kepada pemerintah sebagai pemberi hibah, sehingga uang negara tidak ada yang rusak (dikorupsi), dan masyarakat senang menggunakan fasilitas itu, saya kira kita harus objektif menilai itu,” sambung Chairil.

Yakin Tak Sembarangan

Kembali, Chairil Effendy mengaku tak tahu persis apa sebenarnya yang menjadi objek pemeriksaan Kejati Kalbar mengenai isu dugaan korupsi oleh Yayasan Mujahidin selaku penerima hibah, lantaran dirinya juga tidak terlalu mengikuti perbincangan publik soal ini.

Namun demikian, sebagai orang yang cukup dekat mengamati bagaimana sepak terjang Sutarmidji, Chairil “haqqul yakin” kalau mantan Wali Kota Pontianak dua periode itu tak akan main-main soal aturan. Sutarmidji yang dikenalnya merupakan sosok politisi yang sangat ketat kalau sudah menyangkut hukum dan kebijakan.

“(Jujur) saya tidak mengikuti ya (soal polemik) hibah yang diberikan oleh gubernur (Sutarmidji) kepada Mujahidin, saya dengar lah beberapa sentilan, tapi saya kan tidak mengetahui persisnya seperti apa. Tapi saya kira Pak Gubernur memberikan hibah itu tentu tidak sembarangan, tentulah dia mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagaimana seharusnya memberikan hibah itu,” katanya.

Chairil menilai, selain memang Sutarmidji merupakan sosok yang cukup well educated di bidang hukum, suami Lismaryani itu juga memiliki track record yang lumayan panjang. Sekitar 15 tahun berkecimpung dalam dunia pemerintahan pun dirasa cukup bekal bagi Sutarmidji untuk menentukan mana prioritas dan mana yang bukan untuk publik. Sutarmidji juga sangat menghindari untuk masuk ke wilayah abu-abu.

“Sebelumnya dia (pernah) anggota dewan di DPRD Kota (Pontianak), kemudian menjadi wakil wali kota, menjadi wali kota, kemudian menjadi gubernur, tentu dia paham betul seluk beluk aturan yang berkaitan dengan pemberian hibah,” kata Chairil.

Yurisprudensi

Kepada KalbarOnline, sebagai salah satu pihak penerima dan pengelola dana hibah dari Pemerintah Provinsi Kalbar, Chairil menyatakan kalau MABM Kalbar sejauh ini tentu merasa sangat terbantu, di mana program-program MABM khususnya pada bidang kebudayaan Melayu dapat terlaksana dan terakomodir sesuai harapan.

Walaupun tak apel to apel, Chairil mengaku cukup bisa merasakan bagaimana perasaan umat muslim atas buah manfaat dari “kehadiran” pemerintah provinsi di komplek Mujahidin.

“Tentu kami dari Majelis Adat Budaya Melayu—sebagian dari umat Islam juga—melihat bahwa, hibah itu penting untuk membantu segala sesuatu yang diperlukan oleh Yayasan Mujahidin,” katanya.

Berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya bertahun-tahun berkecimpung di organisasi Melayu, kalau model kebijakan hibah terus menerus seperti ini juga pernah ia temui di Provinsi Riau.

“Kalau mengenai hibah terus menerus itu ya saya bandingkan dengan Riau, di Riau itu ada namanya LAM, Lembaga Adat Melayu, (di provinsi) Riau dia tiap tahun dapat bantuan, bahkan sampai Rp 7 miliar,” katanya.

Kondisi ini berbeda dengan MABM Kalbar yang rentang penerimaan hibahnya 2 tahun sekali. Di Riau, menurutnya, pendulum yang digunakan mirip dengan Yayasan Mujahidin Pontianak. Sependek pengetahuan Chairil, kalau kebijakan hibah terus menerus itu juga karena adanya political will dari gubernur di sana.

Baca Juga :  Sukses Digelar, Pemprov Minta West Kalimantan Swimming Competition Jadi Agenda Rutin Keolahragaan Kalbar

“Kalau MABM (Kalbar), (terima hibah) 2 tahun sekali, itu paling (nilainya) beberapa juta—(di Riau itu) dengan peraturan gubernur juga, atau keputusan atau apa begitu ya, saya kurang tahu (persisnya), memang kalau dari mendagri (aturan umum hibah, red) itu setiap 2 tahun sekali, tapi kalau pemerintah daerah setempat memandang ada yang bisa diberikan setiap tahun kenapa tidak,” ujarnya.

Harus Transparan

Berdasarkan beberapa sentilan informasi yang sampai ke telinga Chairil, diduga polemik hibah Mujahidin itu ditengarai salah satunya karena adanya tumpang tindih posisi dan kewenangan Sutarmidji—yang satu sisi sebagai Gubernur Kalbar, sementara di sisi lainnya ia juga sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Mujahidin. Namun sekali lagi, asumsi yang berkembang ini lantaran dari pihak APH sendiri tak pernah memberitahukan secara detail ke publik soal materi pemeriksaan yang ada.

“Apa yang dipersoalkan oleh pihak kejaksaan saya juga tidak tahu, sehingga hibah dari gubernur itu dipersoalkan,” ungkapnya.

Lantaran “misteri” materi perkara masih berselimut kabut tebal, Chairil berharap masyarakat tak ikut-ikutan ber-suudzon terlalu jauh soal Mujahidin ini. Ia meminta masyarakat dapat menahan bicara yang tak elok ketika menanggapi tudingan liar di media sosial. Hal itu demi menjaga iklim kondusivitas bersama.

“Soal dugaan-dugaan (liar) macam-macam itu saya tidak tahu ya, dan saya yakin juga Pak Midji sebagai pribadi sudah penuh pertimbangan, apalagi dia sebagai gubernur. Dan juga sebagai pengelola yayasan, orang-orang di situ (pengurus), walaupun saya tidak mengenal satu persatu, (yakin) tidak akan berani juga lah memain-mainkan dana hibah (untuk umat ini),” kata Chairil.

Kembali bicara di tataran asumsi, menyeruak juga pandangan yang menilai kalau kasus dugaan korupsi hibah ini memiliki kecenderungan atau terkesan “dipaksakan”, mengingat beberapa indikasi yang mafhum ditemui dalam penyelidikan/penyidikan kasus korupsi, yang umum kerap mengharuskan adanya bukti permulaan terlebih dahulu, seperti kerugian negara (dari BPK dan sebagainya), serta dugaan mens rea (niat jahat) yang kuat.

“Saya tidak tahu (persis) ya, tentu pihak kejaksaan juga punya dasar lah, tapi tentu kita berharap tidak merugikan siapa-siapa pun, artinya betul-betul (penyidikan ini) bergerak sesuai hukum yang berlaku, sesuai dengan etika dan moral bangsa Indonesia yang kita pegang,” ucapnya.

Andaikan saja, frasa “terkesan dipaksakan” itu terus kencang menjadi isu hingga mendominasi percakapan publik, bagaimana dampak sosiologis dan psikologis umat ke depan, apakah umat mungkin juga bakalan ikut-ikutan gerah atau malah tersulut amarah?

“Saya tidak bicara soal kemarahan ya, tapi saya yakin kalau sesuai yang misalnya itu (dikatakan) tidak ada lalu ‘dipaksakan’, umat Islam pasti akan (bereaksi) mengawal ini, apakah bentuk “kawal-nya” saya tidak tahu, tapi saya kira (umat) tidak akan membiarkan, ini kan tempat ibadah, tempat juga mencari ilmu, tempat orang beraktivitas di situ,” jelasnya dengan nada meninggi.

“Jadi saya kira pasti akan ada pengawalan (terhadap proses hukum di kejaksaan), saya tidak tahu (dari) pihak mana (nanti), tapi pasti umat Islam tidak akan membiarkan itu, (umat) tidak akan diam,” sambung Chairil dengan tatapan tegas.

Oleh karenanya, Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Kalbar itu pun sejak awal setuju dan mendorong agar kasus ini sebaiknya dibuat terang benderang oleh Kejati Kalbar. Karena satu sisi, hal ini baik bertujuan agar publik mendapat jawaban yang jelas, tidak lantas meraba-raba yang akhirnya menerka-nerka sendiri menurut pemahamannya masing-masing. Sementara di sisi lain, keterangan jernih yang diberikan dapat “menurunkan” tensi kecurigaan, entah terhadap individu maupun kelompok.

“Pihak kejaksaan juga perlu transparan lah memperlihatkan kepada publik, di mana sih sebenarnya (inti) persoalan ini? Apakah ada kerugian negara?” tanya Chairil.

Begitupun di sisi diametralnya, yakni dari pihak yayasan, disarankan juga untuk bisa memberikan semacam ekspose kepada publik, terangkan sisi manfaat hibah yang diberikan selama ini kepada masyarakat Kalimantan Barat.

“Misalnya satu contoh, bahwa daya tampung sekolah yang tadinya tidak cukup, setelah uangnya dikelola jadi cukup, bayangkan, (sarana pendidikan di Mujahidin) itu kan untuk pembentukan kebudayaan dan peradaban, coba bayangkan anak-anak itu tidak mendapatkan sekolah, karena kuotanya terbatas, apa yang terjadi? Jadi saya kira ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas juga. Jadi kita harus lebih arif lah melihat ini,” papar Chairil.

“Jadi jangan persoalan-persoalan apa (kecurigaan,red) yang di luar itu yang kemudian (membesar, red). Jangan hal-hal yang sebenarnya menguntungkan bagi masyarakat Kalimantan Barat (seperti hibah) ini lalu kemudian menjadi amburadul (gara-gara kepentingan sesaat, red),” pungkasnya. (Tim/Red)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment