Aming Coffee: Jejak Nostalgia dan Cerita yang Mengalir di Setiap Tegukan

KalbarOnline.com – Pontianak, kota yang kaya akan sejarah dan budaya, juga memiliki sejumlah warung kopi yang legendaris. Salah satunya Aming Coffee, yang telah menjadi salah satu ikon dalam dunia kuliner kota ini. Warung kopi sederhana ini menghadirkan kopi yang khas dan kenangan manis bagi pengunjungnya.

Namun di balik setiap tegukan kopinya yang memikat, ada sebuah kisah menarik yang perlu diceritakan. Aming Coffee telah menjadi jejak nostalgia yang abadi dalam hidup banyak orang di Pontianak. Di sini, orang berkumpul untuk merasakan cita rasa kopi yang istimewa dan untuk berbagi cerita hidup. Mari kita jelajahi sejarah yang mengagumkan di balik tempat ini yang penuh dengan cita rasa dan nostalgia.

Sebelum akhirnya menjelma menjadi warung kopi terkenal seperti saat ini, Aming Coffee dulunya hanya sebuah usaha kopi bubuk rumahan yang bahkan belum memiliki nama dan kemasan khusus. Dijual secara tradisional, di warung dan pasar tradisional, hingga ke pabrik-pabrik kayu.

Sekarang Aming Coffee sudah memiliki brand dan memproduksi sendiri produk kopinya yang dijual secara massal (pabrikan). Produk kopinya bahkan bisa dibeli dalam bentuk bubuk atau biji yang tersedia dalam berbagai ukuran kemasan dengan harga yang relatif terjangkau. Bahkan tak jarang pelancong dari luar Pontianak pun membeli kopi tersebut sebagai oleh-oleh khas selain menikmati secangkir kopinya yang nikmat.

Proses Panjang di Balik Setiap Tegukan

Di balik setiap tegukan, secangkir kopi Aming telah melalui proses panjang. Dari pengolahan biji kopi mentah hingga cangkir. Belum lama ini KalbarOnline mendapatkan kesempatan melihat langsung proses pengolahan biji kopi di pabrik milik Aming Coffee yang berada di daerah Pal 5, Gang Hamidah, Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak.

“Bahan baku kami merupakan biji kopi pilihan yang kami beli dari petani di Sumatera. Kemudian diproses lagi, dan dibersihkan sedemikian rupa. Biji-biji kopi ini kami beli pada saat puncak panen, jadi kualitasnya sudah merata dan bagus,” kata Limin Wong, Owner Aming Coffee.

Limin mengungkapkan, di awal bisnis kopi itu dimulai, Aming Coffee menggunakan biji kopi lokal dari Pontianak dan sekitarnya. Namun seiring berjalannya waktu, kopi lokal tak mampu mencukupi kebutuhan bisnisnya.

“Untuk memenuhi kebutuhan Kalbar sendiri juga tidak mencukupi. Karena pohon-pohon kopi juga sudah pada habis. Memang ada program-program pemerintah untuk menggalakkan perkebunan kopi rakyat, seperti liberika dan sebagainya. Tapi dikarenakan (program) baru, produksinya masih terbatas,” ungkapnya.

Liming Wong, owner Aming Coffee memastikan kualitas biji kopi yang telah disangrai di pabrik penyangraian miliknya
Liming Wong, owner Aming Coffee memastikan kualitas biji kopi yang telah disangrai di pabrik penyangraian miliknya (Foto: KalbarOnline.com)

Sebelum melabuhkan pilihan pada biji kopi jenis robusta asal Sumatera dan sekitarnya, Limin mengaku sudah berkeliling ke berbagai daerah mencari jenis kopi yang memiliki karakter yang sama dengan karakter kopi di Kalbar.

“Pilihannya jatuh pada kopi (robusta) di Sumatera. Karena memang secara rasa itu mirip dengan kopi Pontianak yang sebelumnya kita gunakan,” kata Limin.

Limin memastikan, biji kopi yang Aming Coffee gunakan merupakan biji kopi berkualitas yang sudah melewati proses yang ketat, mulai dari pemilihan biji kopi hingga proses pembersihan.

Di pabrik pengolahan kopi milik Aming Coffee sendiri terdapat dua mesin sangrai (roasting) yang masing-masing memiliki kapasitas 50 kilogram dan 25 kilogram. Setiap harinya, pabrik tersebut mampu menyangrai hingga 1 ton kopi, yang kemudian akan menjalani proses penggilingan menjadi kopi bubuk.

“Mesin sangrai kami ada dua tipe. Satunya hot air, dan satunya lagi semi hot air. Secara fungsi sama, hanya metode dan sistemnya saja yang berbeda,” jelas Limin.

Limin mengatakan, faktor penting dalam cita rasa kopi Aming yang tidak bisa dipisahkan, adalah cara menyangrai biji kopinya untuk menciptakan aroma dan rasa yang khas. Aromanya yang harum, rasanya yang kuat, dan tingkat keasamannya yang rendah, menjadikan kopi Aming sangat disukai.

Biji kopi yang disangrai awalnya berwarna hijau kekuningan yang kemudian dipanggang dalam suhu dan waktu tertentu hingga warnanya berubah menjadi kecokelatan. Setelah disangrai dengan hati-hati, biji kopi dibiarkan mendingin, kemudian dilakukan seleksi yang cermat untuk menghilangkan batu-batu.

“Prosesnya (penyangraian) dilakukan selama kurang lebih 20 – 30 menit, dan bisa dipantau melalui lubang kontrol mesin,” kata Limin.

Setelah melalui tahap pendinginan, biji kopi tersebut dikemas untuk dibawa ke pabrik penggilingan dan dikirim ke gerai-gerai Aming Coffee yang tersebar di sejumlah daerah di Kalimantan Barat dan Pulau Jawa.

“Setiap gerai kami (Aming Coffee) ada mesin penggiling sendiri. Kami kirimkan dalam bentuk biji supaya kopi yang disajikan bisa lebih fresh. Jadi di setiap gerai Aming itu, stoknya berupa biji kopi yang sudah disangrai (bukan dalam bentuk bubuk),” jelasnya.

Setelah melihat langsung proses penyangraian kopi, dari sana KalbarOnline dan beberapa rekan jurnalis di Pontianak dibawa Limin ke pabrik penggilingan sekaligus pengemasan kopi Aming Coffee yang terletak di Jalan Putri Dara Nante, Kota Pontianak. Di sana, biji kopi yang sudah disangrai, digiling menjadi kopi bubuk dan dikemas rapi untuk dipasarkan kepada konsumen.

Tiba di pabrik penggilingan, kami disambut dengan bau kopi Aming yang khas. Di sana, puluhan karyawan Aming Coffee tampak telaten dengan tugasnya masing-masing. Ada yang menimbang, ada pula yang mengepak kopi ke dalam bungkus kemasan. Ukuran kemasannya beragam, ada yang berukuran 100 gram, 200 gram, 500 gram, hingga 1 kilogram.

“Kalau pesanan lagi meningkat, intensitas produksi kita tingkatkan. Intinya produksi kita sesuaikan dengan pesanan,” kata Limin.

“Ternyata dari sini sumber bau kopi yang muncul setiap melintas di jalan ini,” celetuk Arief Nugroho, jurnalis Pontianak Post ke Limin.

Karyawan Aming Coffee sedang mengepak kopi ke dalam bungkus kemasan
Karyawan Aming Coffee sedang mengepak kopi ke dalam bungkus kemasan (Foto: KalbarOnline.com)

Meski telah memiliki karyawan sebagai penanggung jawab atau kepala divisi bagian produksi, namun tak jarang Limin ikut turun tangan langsung. Memang diakui Limin, hal itu sudah terbiasa dilakukannya. Apalagi berkaitan dengan produksi. Mulai dari penyangraian sampai penggilingan biji kopi. Bahkan pemilihan biji kopi mentah sebagai bahan baku pun tak jarang ditanganinya sendiri.

“Itu upaya saya menjaga kualitas. Setiap detailnya itu mempengaruhi rasa. Dari situlah menghasilkan rasa yang khas, ketika orang minum, orang tahu ini kopi Aming,” kata Limin.

Setelah puas melihat proses penggilingan dan pengemasan, kami dibawa Limin ke gerai Aming Coffee yang baru. Letaknya di Galeri Hasil Hutan yang berada di komplek Pendopo Gubernur Kalimantan Barat. Kami diajak Limin berbincang, juga disuguhkan kopi saring dan kopi susu, berikut roti dan pisang srikaya yang jadi andalan Aming Coffee.

Sambil menikmati kopi, kami mendengarkan Limin bercerita tentang sejarah bisnis kopinya. Mulai dari meneruskan usaha kopi bubuk milik orang tua, membuka Aming Coffee pertama di Jalan Haji Abbas yang menjadi titik balik kesuksesannya, hingga awal mula Aming Coffee melakukan ekspansi sampai ke Pulau Jawa.

Perjalanan Menuju Legenda

Lebih dari setengah abad lalu usaha kopi Aming berdiri. Tentu tidak secanggih sekarang, ayah Limin seorang diri memulai usaha ini dari industri rumah tangga. Semuanya dikelola secara tradisional dan mandiri. Mulai dari pembelian bahan baku, penyangraian kopi dan seterusnya.

“Awalnya sekitar tahun 70-an, bapak saya memulai usaha kopi ini. Makanya di logo Aming itu ada tulisan Pontianak 1970. Dulu kita menggunakan kayu bakar dan digoreng (sangrai) secara manual menggunakan alat yang dibuat dari drum. Untuk pemasarannya juga beliau sendiri,” kata Limin.

Mulanya, kopi Aming dipasarkan di warung-warung kecil dan pasar tradisional. Tidak ada kemasan khusus kala itu, bubuk kopi cukup dimasukkan ke dalam kaleng dan dijual kiloan. Para pekerja pabrik-pabrik kayu bakar di Kalbar pun seolah sudah hafal dengan wajah sang ayah yang rajin membeli kayu sebagai bahan bakar untuk menyangrai kopi.

“Dulu kan banyak pabrik-pabrik kayu di Kalbar, nah itu jadi salah satu langganan ayah saya juga,” katanya.

Seiring berjalannya waktu, bisnis kopi milik sang ayah sempat mengalami kemunduran, karena tidak adanya inovasi. Di satu sisi karena waktu itu pasar modern juga sudah mulai tumbuh, sementara ayah Limin hanya mengandalkan konsumen-konsumen tradisionalnya, konsumen lama. Ditambah lagi industri kayu saat itu mulai bertumbangan.

Baca Juga :  Peranan Penting Windy Prihastari Kawal Kunjungan Kerja Pj Gubernur Kalbar

“Makanya ketika itu bisnis ayah saya ini mulai turun juga. Saya sendiri, ketika ayah saya meninggal pada tahun 1994 atau tahun 1995, waktu itu saya masih berusia 15 tahun,” ujarnya.

Sebelum ayahnya wafat, Limin memang sudah sering diajak untuk mengikuti proses produksi kopinya. Kendati usianya masih relatif muda, sedikit banyak Limin sudah merekam model bisnis yang bakal diwariskannya itu.

“Ketika beliau wafat, saya mulai melanjutkan, tapi waktu itu memang skalanya sudah menurun banyak, hanya menyisakan beberapa warung langganan saja, dan bahan mentah, biji kopi sisa peninggalan beliau, itulah yang kita olah terus, produksi, jual, beli lagi. Itu hasil melalui pelanggan lama orang tua,” kenang Limin.

Di tahun 2002, saat skala bisnis kopinya masih kecil, Limin yang sedang duduk di bangku kuliah sempat tergoda mencari pekerjaan lain, menjadi karyawan di salah satu perusahaan leasing di Pontianak. Namun pekerjaannya itu tak bertahan lama, ia kembali berpikir untuk fokus mengembangkan bisnis kopi sang ayah.

“Saat itu saya melihat, sering juga kita mengumpul di warung kopi, saya berpikir saya mau coba ubah nasib, ingin punya usaha sendiri yang bisa berkembang,” katanya.

Dari pengalamannya belajar memproduksi bubuk kopi, Limin tahu seperti apa biji kopi yang bagus. Ia lalu memberanikan diri membuka warung kopi di Jalan Haji Abbas di tahun 2002 itu. Selain berharap cuan, Limin juga bertekad bahwa apa yang telah dirintis sang ayah mesti dilanjutkan.

“Mulai tahun 2002, kita buka warung kopi pertama di Jalan Haji Abbas. Untuk penamaannya, tradisi orang Pontianak itu biasanya menamai toko atau warungnya itu menggunakan nama sendiri. Nama panggilan saya itu kan Aming, sehingga saya namai dengan Warung Kopi Aming. Itu awal mulanya Aming Coffee pertama kali berdiri,” katanya.

Seiring berjalannya waktu, Aming Coffee semakin terkenal di Pontianak. Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat mulai datang ke sini untuk menikmati kopi dan suasana yang nyaman. Pelanggan setia mulai mengembangkan ikatan erat dengan tempat ini, dan mereka menjadi saksi perkembangan perlahan menjadi tempat bersejarah.

Potret Limin Wong, owner Aming Coffee sedang meracik kopi saat masih merangkap sebagai barista
Potret Limin Wong, owner Aming Coffee sedang meracik kopi saat masih merangkap sebagai barista (Foto: Mutadi Abdullah/KalbarOnline.com)

Titik Balik

Menyambung jejak sang ayah, Limin pun mengawali bisnis warung kopinya secara konservatif. Like father like son. Semuanya serba dikerjakan sendiri, mulai dari produksi bubuk kopi, meracik minuman, hingga sebagai kasir Limin juga yang kerjakan sendiri.

“Setelah makin ramai, kita mulai meng-hire (menggaji) karyawan. Adik saya, Gunawan namanya, saya tarik untuk bergabung sama-sama mengembangkan warung kopi di H. Abbas,” katanya.

Di tahun-tahun pertama, usaha warung kopi di Jalan Haji Abbas dinilai masih cukup jauh panggang dari api. Namun dua beradik itu terus berusaha, minimal keuntungan yang didapat bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Waktu itu, Limin tak kebayang kalau warung kopinya bakal menggurita seperti sekarang.

“Setelah Aming Coffee di Jalan Haji Abbas ini berjalan sekitar 6-7 tahun, baru saya berpikir untuk membuka cabang. Akhirnya kita mendapat lokasi di Jalan Ilham, dan di sana kita buka cabang Aming Coffee pertama,” lanjut Limin.

“Di situ awalnya juga belum langsung ramai, setelah berjalan beberapa tahun baru mulai ada peningkatan. Kemudian saya tarik Suriani, adik saya yang perempuan, untuk mengelola di sana. Jadi dua gerai kita ini masih dikelola secara tradisional. Ibaratnya usaha keluargalah,” sambungnya.

Cabang di Jalan Ilham itu dibuka pada tahun 2010. Dari sini, sejumlah kolega termasuk konsumen ramai yang menawarkan saran agar Limin memperluas cakupan marketnya. Salah satunya dengan mendistribusikan produk kopi Aming ke supermarket-supermarket.

“Awalnya kopi kita tidak banyak beredar di pasaran, hanya dijual di warung kopi kita di Jalan Haji Abbas. Semakin berkembang, banyak konsumen kita yang memberikan masukkan, kenapa tidak dijual di supermarket atau di tempat lain,” katanya.

“Di warung-warung tradisional, di minimarket, itu banyak yang menanyakan juga,” tambah Limin.

Lantaran banyaknya permintaan dan masukan dari orang-orang sekitar, akhirnya sekitar tahun 2015 Limin mencoba menjual bubuk kopinya di minimarket, supermarket dan pertokoan.

“Untuk memasarkan itu, kita harus urus perizinan, (jadi) kita urus izin edar dan sebagainya. Akhirnya kita buka satu divisi baru untuk pemasaran kopi bubuk. Ada teman saya yang saya ajak bergabung untuk memasarkan kopi bubuk kita ke toko-toko modern,” katanya.

Secara perlahan, “langkah kanan” yang diambil Limin ini membuahkan hasil. Cakupan penjualannya semakin berkembang, hingga akhirnya, sampai sekarang, hampir semua minimarket, toko tradisional, supermarket sudah menjual kopi bubuk Aming.

“Kalau untuk pemasaran kopi bubuk ke luar Kalbar itu kebanyakan reseller kita yang memasarkan, ada juga reseller dari marketplace online, cukup banyak reseller kita, sebagian ada di Pontianak, sebagian ada di daerah lain. Jadi kita drop ke mereka, mereka yang pasarkan,” tuturnya. 

Patok Pasar Besar di Tahun Ayam

Kisah berlanjut, di tahun 2017, Aming Coffee kemudian mulai berpikir untuk mengembangkan pasar yang lebih besar lagi. Kebujuran, di tahun shio ayam itu ia mendapat tawaran untuk membuka gerai di Transmart Pontianak. Itu mal baru di Kalbar.

“Sebenarnya saya pribadi kurang pede, karena kita warung kopi tradisional diajak masuk mal, kita belum berpengalaman. Ketemulah saya dengan teman SMA saya karena kita masih intens komunikasi, teman saya ini punya pengalaman ekspansi bisnis dan punya pengalaman mengelola bisnis di Jakarta, dan sudah punya pengalaman buka usaha di mal,” cerita Limin.

Gayung pun bersambut, setelah melakukan diskusi dan pertimbangan, teman Limin bersama grupnya juga memiliki niatan untuk mengembangkan bisnis F&B. Mereka sepakat untuk membentuk perusahaan bersama yang diberi nama PT. Aming Kopi Indonesia.

“Teman saya pun tertarik, akhirnya kita sepakat bergabung. Kita bentuk satu perusahaan lagi yang meng-handle manajemen Aming Coffee sekaligus meng-handle ekspansi Aming Coffee,” terangnya.

Sejak itu, Limin sudah bertekad bahwa ia akan membawa brand-nya ke level nasional, bisa buka banyak cabang di mana-mana. Mulai dari Transmart Pontianak, lalu ke Jakarta, ke Bogor dan sekitarnya. Ekspansi besar-besaran itu dimulai di tahun 2018.

“Untuk gerai Aming Coffee sampai hari ini kalau tidak salah ada 31 gerai, tersebar di Kalbar dan pulau Jawa. Di Kalbar kalau tidak salah ada 17 gerai. Di Jakarta dan sekitarnya ada sekitar 14 gerai. Di Jawa itu ada di Tangerang, Bogor, Bekasi, Bandung, Yogyakarta dan Solo,” ujarnya.

“Kalau di Kalbar itu sudah (ada) di Pontianak, Mempawah, Singkawang, Sanggau, Sintang, Melawi, Putussibau, dan Ketapang,” tambahnya.

Hingga kini, tercatat lebih dari 500 orang yang menjadi karyawan Aming Coffee dari seluruh divisi dan gerai. Artinya, selain memberi kontribusi yang positif terhadap pendapatan daerah, Aming Coffee turut membuka lapangan pekerjaan baru.

Limin mengaku, bahwa target awalnya melakukan ekspansi bukan hanya sekedar memperbanyak cabang, melainkan setiap gerai yang dibukanya bisa maksimal berhasil. Tak heran jika Limin agak konservatif dalam memilih tempat dan cukup berhati-hati dalam mengambil keputusan ekspansi di wilayah baru.

Suasana Aming Coffee yang berlokasi di Galeri Hasil Hutan Jalan Veteran Pontianak. (Foto: Indri)
Suasana Aming Coffee yang berlokasi di Galeri Hasil Hutan Jalan Veteran Pontianak. (Foto: Indri)

“Terutama dalam pemilihan tempat. Jadi kita biasanya survei dulu setiap tempat yang akan kita buka cabang Aming Coffee. Itu (survei) saya biasanya barengan dengan Pak Aan (Direktur PT. Aming Kopi Indonesia). Kita survei bareng sambil mempelajari marketnya seperti apa,” katanya.

Termasuk soal harga, juga menjadi pertimbangan Limin. Bagaimana kopinya mampu dibeli oleh semua orang. Ia merincikan, untuk bubuk kopi yang awalnya dijual sekitar Rp 10-an ribu per kilonya—harga ini bertahan lebih dari 20 – 30 tahun lalu—namun sekarang harga kopi bubuk sudah Rp 90-an ribu.

Sementara untuk minuman kopinya, dari yang awalnya hanya Rp 1000-an per cangkir, kini sudah Rp 7000-an sampai belasan ribu rupiah.

“Kalau untuk bubuk kopinya itu memang racikannya turun temurun dari orang tua, kita memang belajar dari orang tua juga. Kalau untuk minumannya, awalnya ketika saya buka warung kopi itu ada beberapa teman yang sudah pernah bekerja bahkan membuka warung kopi. Teman-teman saya inilah yang banyak mengajari saya dan jadi tester-nya juga,” katanya.

Baca Juga :  Aliansi Pemuda Kalbar Gelar Aksi Bela Bangsa: Pancasila Final

Cita Rasa Adalah Segalanya

Pada saat menjadi barista di tahun 2022, Limin terus belajar bagaimana meracik minuman kopi, sampai rasanya pas di lidah. Limin juga tak segan bertanya langsung ke konsumennya, apakah rasa kopi buatannya sudah pas atau belum.

Tak sampai di situ, untuk mendapatkan rasa yang perfecto, Limin juga banyak belajar dari buku-buku maupun laman-laman di internet waktu itu. Ia banyak membaca bagaimana perkembangan racikan kopi di daerah-daerah lain, bagaimana stylestyle orang meracik kopi, namun tetap dengan bagaimana berupaya mempertahankan “tradisi” sang ayah.

“Saya selalu berusaha mempertahankan cita rasa turun temurun khas warung kopi Pontianak sendiri. Contohnya yang sampai sekarang kita pertahankan adalah meracik kopi saring menggunakan ceret yang terbuat dari kuningan. Kopinya disaring menggunakan bahan kain. Itu yang kita pertahankan sampai sekarang, dan rasanya juga selalu kita pertahankan, dan itu sudah turun temurun,” kata Limin.

Sesuai dengan perkembangan yang ada, untuk konsep gerai sendiri, Limin selalu berupaya memberikan sentuhan inovasi dan memperhatikan kebutuhan konsumen. Menurutnya, ketika zaman semakin berkembang, kebutuhan konsumen juga berkembang.

“Dulunya yang ngopi mungkin kebanyakan orang tua, sekarang mulai banyak anak muda, kemudian kaum perempuan, karena dulu kan yang nongkrong di warung kopi itukan hanya laki-laki, bapak-bapak. Sekarang mulai berkembang. Sekarang ibu-ibu, remaja, perempuan dan laki-laki sampai anak-anak juga sudah ngopi. Itu kita berusaha mengembangkan itu menjadi market kita,” katanya.

Masih soal kenyamanan, salah satu yang terus perhatikan adalah ruangan ber-AC, tempat duduk yang nyaman—selain fasilitas-fasilitas seperti internet gratis, tempat pengisi baterai yang juga disediakan. Intinya bagaimana inovasi yang dilakukan dapat menarik market dari berbagai kalangan usia itu.

“Untuk barista Aming Coffee, itu selalu kita training dahulu. Jadi kita tidak langsung menempatkan barista yang belum berpengalaman di satu gerai. Selalu ada barista berpengalaman di setiap gerai baru dan didampingi karyawan-karyawan baru yang sedang training juga,” katanya.

Limin selalu memastikan, bagaimana ciri khas kopi dan kualitasnya tetap terjaga. Maka dari itu, sampai sekarang pun dia masih meng-handle sendiri bahan baku sampai produksinya.

Eksperimen Biji Kopi

Bagi yang akrab dengan Aming Coffee, maka akan selalu menjumpai beberapa biji kopi dari setiap cangkir yang tersaji. Hal itu berawal eksperimen Limin yang mencoba memadukan minuman kopi dengan biji kopi yang sudah disangrai.

“Itu awalnya dari eksperimen sendiri, karena saya suka mencoba-coba rasa dari biji kopi yang kita sangrai. Itu rutin, sebagai kualiti kontrol kita,” aku Limin.

“Saking seringnya saya coba, saya pikir kalau saya sendiri yang merasakan nikmatnya, mungkin saya bisa berbagi ke konsumen kita juga. Jadi kalau konsumen kita mau merasakan biji kopi kita juga bisa. Mulai waktu itu saya masukan beberapa butir biji kopi ke cangkir kita,” ungkapnya.

Kendati terlihat sederhana, eksperimen Limin itu berbuah langkah cerdas bagi market minuman kopinya. Di mana setiap pelanggan dapat merasakan sensasi meremukkan biji kopi robusta asli yang telah disangrai untuk berpadu dengan minuman jadi yang nikmat.

“Jadi ketika kopi itu baru disajikan, biji kopinya ketika dikunyah itu gurih dan aromanya juga harum. Selain itu menimbulkan rasa yang strong di kopi kita. Jadi untuk konsumen kita, kalau misalnya kopi kita baru disajikan, itu boleh juga dicoba digigit biji kopinya, itu rasanya enak, gurih dan strong. Itu ciri khasnya kopi kita juga,” kata Limin.

Tetap Robusta, Tunggu Arabika dan Liberika

Kendati bisnis Aming Coffee kini dinilai sudah memiliki tapak yang kuat, namun Limin masih akan lebih memperkokoh brandnya dengan satu pilihan jenis kopi, robusta. Cukup sederhana alasannya, karena robusta sendiri telah menjadi ciri Aming sejak awal.

“Kopi robusta ini digemari masyarakat Pontianak dari dulu, dan saya pikir sebagian besar masyarakat Indonesia masih gandrung terhadap kopi robusta. Spesialnya kopi robusta itu ada rasa pahitnya, dan secara histori dan turun temurun itu memang kebanyakan digemari masyarakat kita,” ungkapnya.

Rasa pahit alami itulah yang menurut Limin menjadi pertanda atau kekhasan dari sebuah kopi. Orang hanya akan meminum kopi karena menginginkan rasa pahitnya.

“Makanya ada yang bilang kopi itu pahit. Itu sebenarnya memang tradisi dari dulu orang Indonesia menggemari kopi pahit itu sendiri. Sekarang barulah berkembang berbagai macam kopi, mulai dari arabika, liberika dan lain-lain. Ini yang mulai berkembang sekarang ini,” katanya.

Limin berpandangan, bukannya ia tak mau menambah varian produk dari jenis kopi yang berbeda, seperti arabika dan liberika. Hanya saja, Limin masih berhitung tentang jumlah pasokan bahan baku dari bijian kopi tersebut. Karena seperti yang ia ulas di awal, untuk mencukupi kebutuhan produksi robusta di Aming Coffee saja, ia harus menyeberang laut ke Sumatera sana.

“Dari awal kita selalu gunakan kopi dari Kalbar. Tahun 70-an itu, ketika orang tua saya mulai usaha kopi, sampai saya mulai buka warung kopi, itu kita masih gunakan kopi dari Kalbar. Cuma dari tahun ke tahun, produksi kopi di Kalbar itu memang jauh menurun. Sebagian pohon kopi mulai tergantikan dengan tanaman-tanaman lain, seperti sawit dan buah-buahan lainnya,” tutur Limin.

Dirinya mungkin akan menghitung ulang, ketika suplai biji-biji arabika dan liberika dapat dipasok dengan stabil. Karena sulit membayangkan, jika kopi Aming hanya tersedia pada bulan-bulan atau musim-musim tertentu saja. Sementara orang minum kopi setiap hari.

“Karena memang kopi dari Kalbar ini kebanyakan adalah pohon-pohon yang sudah tua dari zaman Belanda. Ketika tidak ada peremajaan, sebagian malah tergantikan pohon-pohon lain, produksinya dari tahun ke tahun makin turun, terpaksa saya mau tidak mau mencari bahan baku dari daerah lain,” terangnya.

Bahkan sesama robusta pun, Limin harus masih bereksperimen lagi, meracik bagaimana robusta Sumatera bisa sama di lidah para penikmat robusta di Kalbar.

“Waktu itu saya mulai bereksperimen, saya ambil kopi dari daerah lain, saya coba sangrai dan coba rasa, kita cari yang sama persis dengan kopi Kalbar. Akhirnya ketemu kopi robusta dari Sumatera yang cocok dengan kopi kita. Itu sekitar tahun 2019-an, setelah gerai Aming Coffee semakin banyak,” katanya.

Saat ini, Aming secara konsisten terus memproduksi bubuk kopi setiap harinya, dan setiap hari langsung diedarkan untuk memenuhi pesanan. Untuk kapasitas produksi sendiri disesuaikan dengan jumlah pasar atau pesanan.

“Kalau ramai kita produksi agak banyak, bisa di atas 1 ton, kalau tidak banyak, bisa ratusan kilogram sehari,” katanya.

Untuk masalah harga, Limin menyatakan, bahwa setiap gerai berbeda-beda. Namun begitu, prinsipnya tetap sama, bagaimana kopi Aming tetap bisa dinikmati semua kalangan.

“Omzet di setiap gerai beda-beda. Ada gerai yang besar dan kecil, tergantung daerah dan kapasitas tempat duduknya. Harga di setiap gerai juga beda. Contohnya di bandara, harganya agak tinggi. Kalau warung kopi yang konsepnya tradisional harganya jauh lebih murah,” katanya.

Saat disinggung berapa kisaran perputaran uang yang dihasilkan dari Aming Coffee dalam setiap harinya? Limin tak spesifik menjawabnya.

“Beda-beda omzetnya. Tapi lumayanlah, Cukup untuk biaya operasional kita dan pengembangan usaha. Total karyawan kita sampai saat ini mungkin sudah di atas 500-an orang,” tutupnya.

Aming Coffee bukan hanya sebuah tempat untuk minum kopi, itu adalah perjalanan sejarah dan cerita yang hidup. Dari awal yang sederhana hingga menjadi warisan yang berharga, tempat ini adalah hasil dari semangat dan dedikasi. Ketika Anda mengunjungi Aming Coffee, Anda tidak hanya menikmati kopi yang nikmat, tetapi Anda juga merasakan jejak nostalgia yang melintasi ruang dan waktu. Selamat menikmati cita rasa kopi dan cerita yang mengalir di setiap tegukan. (Jau)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment