Nasib Petani Sawit yang Jadi Anak Tiri di Rumah Sendiri

KalbarOnline, Pontianak – Direktur Lembaga Teraju Indonesia, Agus Sutomo secara blak-blakan menyampaikan bahwa nasib buruh sawit dan petani plasma di Kalbar bak “jadi anak tiri di rumah sendiri”.

Hal itu menyusul sorotan tajam dari berbagai pihak terhadap carut-marutnya pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kalbar, khususnya pada pengelolaan kebun plasma hingga perlakuan tak adil yang diterima oleh para buruh selama ini.

“Buruh dan petani plasma ini ibarat anak tiri yang kurang mendapat perhatian publik. Padahal, nasib mereka sesungguhnya sangat miris,” kata Agus Sutomo dalam jumpa pers di Pontianak, Sabtu (23/07/2022).

Lebih lanjut, Agus Sutomo pun menegaskan, bahwa ancaman kriminalisasi buruh hingga bagi hasil kebun plasma yang tak kunjung adil, merupakan potret terkini sektor perkebunan kelapa sawit Kalbar.

Dalam kesempatan itu, Lembaga Teraju Indonesia juga menghadirkan perwakilan petani sawit plasma dan buruh tani dari berbagai kabupaten/kota se-Kalbar. Sebagian diantaranya hadir secara langsung di Pontianak dan sebagian lagi tatap muka secara online.

Kehadiran para petani dan buruh sawit ini pun guna mengungkapkan segala uneg-uneg yang menjadi keresahan mereka selama ini.

Bernadus Dino misalnya, petani sawit plasma dari Desa Teraju, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau ini mengatakan, kalau sejak 2014, petani sudah mulai bermitra dengan PT Surya Agro Palma (SAP). Kemitraan tersebut dibangun melalui Koperasi Badak Surya Lestari (KBSL) dan Koperasi Produsen Plunjung Jaya (KPPJ). KPPJ beroperasi di wilayah konsesi PT SAP 1-2. 

“Sedangkan KBSL beroperasi di PT SAP 3, 4, 5, dan 6,” terangnya.

Dino mengungkapkan, bahwa hanya KPPJ saja yang menjalankan roda organisasi koperasi sebagaimana diatur perundang-undangan. Sedangkan KBSL dinilai tidak menjalankan mandat aturan. Bahkan KBSL tidak pernah mengundang anggotanya dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT).

“Kami tidak pernah dilibatkan dalam rapat apa pun. Termasuk menerima bagi hasil dari kebun plasma yang sedang berjalan. Praktis hanya dapat dana talangan. Dan itu bentuknya utang,” kenang Dino.

Senasib dengan itu, Sugianto selaku Kepala Desa Entipan, Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu turut mengutarakan, kalau model pengelolaan kebun plasma di sana juga tak jelas rimbanya. 

Baca Juga :  Gelar Sosialisasi di Pontianak, Mahupiki: "KUHP Nasional Way of Life Indonesia"

“Bagi hasil 80 (perusahaan) dan 20 (petani plasma) hanya tersuarakan saat sosialisasi perusahaan. Seiring waktu, tak satu rupiah pun mengucur ke kocek petani plasma,” kata dia.

Menurut Sugianto, PT Kapuasindo Palm Industri (KPI) mulai bersosialisasi ke Desa Entipan sejak 2012 silam. Selanjutnya, penyerahan lahan dilakukan pada akhir 2013. 

“Terkait plasma, sampai tahun 2022 ini masyarakat belum menerima sama sekali hasilnya. Satu rupiah pun belum ada mereka terima dari penyerahan lahan yang sudah dilakukan sejak akhir 2013,” bebet Sugianto.

Ia pun mengaku, jika pemerintah desa bersama petani sudah berjuang habis-habisan, termasuk menemui manajemen perusahaan dan pemerintah kabupaten. Namun tetap saja, selain sawit yang terus tumbuh, upaya yang mereka lakukan tak membuahkan hasil apa-apa.

Sugianto menilai, bahwa permasalah ini sebenarnya mudah untuk diselesaikan pada pertemuan-pertemuan di tingkat desa atau kabupaten, andai ada niat baik dari semua pihak. 

“Hanya saja kami sudah sangat kecewa. Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) ternyata tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya masyarakat bergerak sendiri,” jelasnya.

Pengelolaan kebun plasma juga babak belur terjadi di Kecamatan Beduai, Sekayam, dan Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau. Di sana ada PT Borneo Ketapang Permai (BKP) beroperasi dan bermitra dengan masyarakat setempat.

Yulius, seorang petani plasma setempat mengemukakan awal mula pihaknya bermitra dengan PT BKP pada 2008. MoU dasar antara kades dengan perusahaan diteken pada 5 Mei 2008. 

“Kami diberi dana talangan yang dihitung tak jelas kala itu. Pada akhirnya, sampai sekarang petani hanya menerima Rp 18 ribu per-bulan per-hektare. Apalagi koperasi yang menjadi tulang punggung petani tidak berfungsi dengan baik, tidak transparan. Padahal ada 400-an petani yang menjadi anggotanya,” kata Yulius.

Mirisnya, sejalan dengan perkembangan yang ada, isu besar yang “dimainkan” justru berbalik kepada para petani yang kerap melakukan pencurian buah sawit di kebun mereka. 

Baca Juga :  Punya Tugas Mulia, Windy: Posyandu Merupakan Garda Terdepan Ikut Menjaga Kesehatan Masyarakat

“Sering kita dengar ada petani yang dikriminalisasi dengan tuduhan mencuri sawit. Padahal mereka itu hanya mengambil sedikit di kebun plasma, sekadar memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah anaknya. Inilah dampak dari kesepakatan bagi hasil yang tak kunjung datang,” ujarnya.

Indikasi “pengkadalan” juga diterima para buruh dan petani plasma di Kabupaten Ketapang. Dimana seorang buruh yang bekerja di PT Agro Lestari Mandiri (ALM) Ketapang, Roni bertutur kalau pihaknya juga tidak menemukan keadilan dalam bekerja.

“Kami tidak menemukan keadilan dalam bekerja. Pemutusan hubungan kerja terkadang dilakukan sepihak oleh manajemen perusahaan dengan kompensasi hanya sebulan gaji,” keluh Roni melalui zoom call.

Hal itu seperti yang menimpa salah satu rekannya yang bertugas sebagai operator di bagian boiler atau ketel uap. Saat bertugas, alat konversi energi yang mengubah air menjadi uap dengan cara pemanasan itu tiba-tiba mengalami kerusakan.

“Sudah dibuatkan kronologinya. Tetapi perusahaan tetap memecat. Sebenarnya, kami tidak perkarakan keputusan PHK itu. Keadilan terhadap buruh yang kami tuntut. Buruh di-PHK hanya diberikan kompensasi sebulan gaji. Menurut kami itu tak adil. Harusnya dihitung masa kerjanya,” papar Roni.

Cerita lainnya datang dari Agustinus Supriyanto, bekas buruh di PT Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK/Wilmar Group) ini berkisah, bahwa di tahun 2020 ia juga di-PHK oleh perusahaan lantaran izin libur karena sakit. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia mengalami asam lambung tinggi.

“Saya sudah minta izin ke mandor tidak masuk kerja karena sakit dan kembali ke kampung halaman di Batang Tarang untuk istirahat. Tetapi pada prosesnya ternyata diberikan surat peringatan 1 dan 2 dari perusahaan. Karena belum mampu kerja akhirnya saya di-PHK yang diiringi dengan pemberian dana sebesar Rp 2,7 juta,” kata Agustinus.

Lebih lanjut, Ketua Serikat Buruh Kebun Bersatu BPK, Rabuansyah yang turut hadir mengatakan, memang tugasnya mendampingi buruh dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapinya.

“Seperti kasus yang menimpa Pak Agustinus Supriyanto, terus kita kawal dan perjuangkan agar mendapatkan keadilan,” ujarnya. (Jau)

Comment