Categories: Kesehatan

Survei: 82% Tenaga Kesehatan Alami Kelelahan Selama Pandemi

Selama pandemi, sudah lebih dari 100 dokter meninggal dunia di Indonesia. Ya, dokter dan tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam penanggulangan Covid-19. Tak hanya rentan tertular, namun kelelahan adalah ancaman yang nyata.

Hal tersebut dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh program Studi Magister Kedokteran Kerja, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI yang hasilnya dipaparkan Jumat (4/9). Apa dampak kelelahan tenaga kesehatan ini?

Baca juga: Burnout, Kelelahan Akibat Bekerja, Dikategorikan Sebagai Penyakit Oleh WHO

Burnout atau Kelelahan Emosi

Dipaparkan oleh peneliti Dr. dr. Dewi S. Soemarko MS, spesialis kedokteran okupasi, kelelahan atau burnout adalah sindroma psikologis akibat respon kronis terhadap stresor dan konflik. Burnout ini sering ditemui di tempat kerja.

Gejala utama burnout adalah kekelahan emosi, kehilangan empati, dan penurunan rasa percaya diri. Kondisi ini umum dialami pekerja, terutama tenaga kesehatan yang kerap mengalami stres tinggi. Profesi tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, bidan hingga analis laboratorium adalah profesi yang rentan mengalami kelelahan kronis.

Menurut dr. Dewi, penelitian-penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan 35% dokter di negara berkembang mengalami burnout, 46% dokter di Amerika Serikat mengalami sedikitnya 1 gejala burnout, dan di Eropa 43% tenaga kesehatan mengaku lelah luar biasa,

“Pandemi covid semakin meningkatkan beban besar di sistem pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan mengalami tingkat stres yang tinggi. Saat ini sudah lebih 100 dokter, 55 perawat, 8 dokter gigi, dan 15 bidan meninggal karena Covid-19,” jelas dr. Dewi.

Apa dampaknya? Dijelaskan Dekan FKUI, Prof. DR. dr. Ari Fahrial Syam, profesi dokter akan susah digantikan karena mendidik dokter dibutuhkan waktu lama. Di tengah situasi pandemi di mana tenaga kesehatan sangat dibutuhkan, kehilangan dokter adalah sebuah pukulan berat.

Baca juga: Kelelahan Bukan Penyebab Langsung Kematian Mendadak

Survei: 82% Tenaga Kesehatan Kelelahan

Dr. Dewi memaparkan hasil penelitian dengan metode survei online ke tenaga kesehatan melalui berbagai perhimpunan kedokteran. Peserta yang ikut dalam survei adalah dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis, bidan, perawat, apoteker, termasuk analis laboratorium. Survei dilakukan sejak Februari sampai Agusus 2020.

Sebanyak 1.461 orang ikut berpartispiasi dari seluruh wilayah Indonesia. Rata-rata mereka memiliki masa kerja 5 tahun. Peserta terbanyak dokter umum (716 dokter). Mereka bekerja di puskesmas dan rumah sakit pemerintah (tidak semuanya rumah sakit rujukan Covid-19), dan klinik. Lebih dari 50% peserta survei menangani pasien Covid-19. Sayangnya, sebagian besar tidak melakukan tes swab rutin, tergantung tempat kerjanya.

“Kita menemukan bahwa tingkat burnout skala sedang mencapai 82% dan yang berat 1%. Hal ini dialami kebanyakan dokter umum disusul bidan dan dokter spesialis,” jelas dr. Dewi.

Hasil ini menjadi peringatan, bahwa meskipun skalanya sedang, namun jika tidak dilakukan intervensi maka bisa berkembang menjadi lebih berat yang akan susah ditanggulangi. Unsur burnout paling besar yang dialami adalah keletihan emosi (19%) dan kepercayaan diri menurun.

“Secara alami, orang yang lelah dan sudah tidak percaya diri menjadi cuek dan bersikap masa bodoh. Tentunya ini sangat berdampak pada kinerja, dan berbahaya saat tenaga kesehatan menyerah menangani pasien. ” jelas dr. Dewi.

Ia dan rekan peneliti berharap kelelahan tenaga medis bisa dicegah agar tidak sampai menjadi burnout berat. Berbagai upaya bisa dilakukan agar tenaga medis tetap termotivasi dan semangat menjalankan tugasnya. Misalnya, mengoptimalkan insentif, memberikan APD yang memadai, dan dukungan dari semua pihak. “Kelelahan fisik bisa diatasi dengan tidur, tetapi lelah mental lebih sulit ditangani,” tambah dr. Dewi.

Mengingat pandemi Covid-19 belum jelas kapan berakhir, maka menjaga kesiapan tenaga kesehatan ini tetap harus dipertahankan.Prof. Ari menegaskan bahwa salah satu cara mencegah semakin banyak korban dari tenaga jesehatan adalah dengan menekan jumlah kasus positif. “Ketika jumlah kasus meningkat dan rumah sakit penuh, maka yang terdampak adalah nakes. Maka semua pihak harus berkomitmen pada penurunan kasus,” ujarnya.

Baca juga: Happy Hypoxia Diduga Gejala Baru COVID-19

Sumber:

Konferensi Pers Hasil Penelitian oleh Magister Kedokteran Kerja, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI, Jumat (4/9).

Jauhari Fatria

Saya Penulis Pemula

Leave a Comment
Share
Published by
Jauhari Fatria

Recent Posts

Polres Kapuas Hulu Gelar Pelatihan Profesionalisme Fungsi Intelkam Bagi Personel

KalbarOnline, Putussibau - Kapolres Kapuas Hulu, AKBP Hendrawan membuka pelatihan profesionalisme personel Intelkam Polres Kapuas…

10 hours ago

Suami di Kubu Raya Pergoki Istrinya Diduga Selingkuh dengan Seorang Tokoh Agama

KalbarOnline.com – Beredar di media sosial sebuah video seorang suami di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten…

13 hours ago

HUT ke-41 BPKP, Romi Wijaya: Semakin Akseleratif dan Independen

KalbarOnline.com – Penjabat (Pj) Bupati Kayong Utara, Romi Wijaya menghadiri upacara peringatan Hari ulang tahun…

14 hours ago

Seorang Pemuda di Kubu Raya Nekat Curi Troli Basarnas untuk Modal Judi Slot

KalbarOnline – Seorang pemuda di Kubu Raya berinisial ED (29) diamankan polisi terkait kasus pencurian.…

14 hours ago

Bappeda Pontianak Ajak Stakeholders Identifikasi Potensi Risiko Pembangunan SPALD-T

KalbarOnline.com – Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pontianak menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk…

15 hours ago

Ani Sofian Instruksikan Dishub Pontianak Tertibkan Truk Kontainer Tanpa Twist Lock

KalbarOnline.com – Insiden jatuhnya boks kontainer di jalan raya sudah beberapa kali terjadi di Pontianak.…

15 hours ago