Miris, Nenek Niarti Jadi Korban Ambisi Politik

Sumber : Departemen Politik dan Hukum KAHMI Kota Pontianak

KalbarOnline, Opini – Seorang Nenek tua bernama Niarti (60), penderita TBC akut bertahan hidup dengan minum air rebusan batu selama satu tahun. Berita ini dikemas dengan narasi menyentuh dan diwartakan melalui saluran media visual arus utama.

Bermula dari situ, informasi ini dengan cepat menjalar ke media daring dari lokal hingga nasional dan menjadi perbincangan hangat di media sosial warga Kalimantan Barat. Wali Kota Pontianak, Sutarmidji, menanggapi serius dan langsung bereaksi cepat atas isu tersebut.

Ketika informasi sumir ini beredar, disimpulkan bahwa, berita tersebut bertentangan dengan akal sehat.

Mustahil ada orang yang bertahan hidup hanya berbekal air rebusan batu selama setahun. Informasi ini juga dikemas dan dimanfaatkan oleh politikus untuk dijadikan momentum tampil ke publik. Berdasarkan penelusuran, ada dua politikus yang turut memainkan isu ini. Salah satu bakal calon Wali Kota Pontianak dan seorang oknum legislator DPRD kota.

https://www.kalbaronline.com/sutarmidji-akan-polisikan-ketua-rt-nenek-niarti-dan-minta-ketua-kadin-minum-air-rebusan-batu/

Lantas apa yang sebenarnya terjadi?

Berdasarkan rilis kantor berita Antara yang menjadi rujukan nyaris semua media, digambarkan bahwa Nenek Niarti yang berusia 60 tahun itu tinggal sebatang kara di Jalan Apel, Gang Jambu air Pontianak Barat. Nenek Niarti sudah menderita penyakit selama sepuluh tahun, meminum air rebusan batu karena tidak punya uang untuk membeli makanan.

Ketika ditemui wartawan, kondisi Nenek Niarti lemas tak berdaya dengan kondisi rumah pengap, terlihat barang berserakan dan kompor yang terbuat dari batu diletakkan di luar rumah. Berdasarkan keterangan Agus, ketua RT setempat, para warga sudah mengusulkan bantuan ke Pemerintah namun hingga kini bantuan tak kunjung datang.”

Ketika menyelisik rilis berita diatas tanpa perlu merinci satu per satu, dalam menjelaskan kejadian ada banyak sekali ditemui kata, frase hingga kalimat yang ambigu, bersayap dengan tafsir menggantung. Tidak disebutkan secara spesifik penyakit yang diderita. Tidak memuat informasi asal usul dan keberadaan keluarga sang nenek, hanya disederhankan dengan frase “sebatang kara”. Tipikal informasi sumir, too bad to be true.

Berdasarkan klarifikasi dari Sutamidji dan warga setempat, terkuak infromasi bahwa Bu Niarti adalah pasien penderita TBC akut yang dijamin BPJS dari APBD Kota. Tahun 2015 lalu telah menerima bantuan bedah rumah.

Baca Juga :  Sekda Tinjau Pelaksanaan UNBK SMA/MA di Sintang

Ketua RT bernama Agus yang menjadi narasumber di banyak pemberitaan, ternyata adalah adik ipar Bu Niarti yang tinggal bersebelahan rumah dan baru saja pensiun dari Dinas PU. Alasan Bu Niarti tidak menerima raskin karena tidak pernah diusulkan oleh ketua RT yang merupakan kakak ipar sekaligus tetangga Bu Niarti itu.

Pemkot menganggap alasan tidak diajukan karena keluarga sudah menjamin kebutuhan beras Bu Niarti.

Simulacra dalam Politik

Manipulasi berita Bu Niarti dengan menampilkan sosok pahlawan di ujung pemberitaan oleh oknum politisi bakal calon walikota di banyak pemberitaan, merupakan contoh kasus komunikasi politik menggunakan simulacra. Adalah Jean Boudrillard, seorang filsuf ilmu komunikasi yang memperkenalkan istilah simulacra dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981). Menurutnya, masyarakat kita saat ini hidup dalam dunia simulacra berupa gambar, tanda atau citra yang penuh dengan simulasi dari realitas semu. Artinya simulacra adalah ruang dimana simulasi atau tiruan yang tidak berpijak pada fakta dibangun.

Perkembangan teknologi komunikasi mempermudah penyebaran berita tapi pada saat yang sama menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan hiburan, antara hiburan dan kepentingan politik. Masyarakat tanpa sadar digiring kepada pengaruh simulacra (citra) dengan cara mengolah peristiwa dengan manipulasi berita yang sudah tidak berpijak pada fakta lagi. Saat kebenaran menguap dan hilang, maka hadirlah realitas semu yang melekat kepada tokoh yang ingin dicitrakan.

Hadirnya sebuah nama di ujung banyak pemberitaan hoax pada kasus Bu Niarti lalu menghadirkan sosok pahlawan yang lekas mengambil tindakan, dengan membawanya ke rumah sakit serta berjanji akan merenovasi rumah adalah contoh skenario dari simulacra yang berdiri di atas sumirnya informasi mengenai Bu Niarti.

Menghadirkan Bursa Pemikiran

Ketika menggulirkan isu politik sebagai industri pemikiran, KAHMI ingin menggeser paradigma politik yang berkelindan di sengkarut transaksi kekuasaan elit menjadi bursa pemikiran yang mencerdaskan dan melibatkan masyarakat. Niat baik itu hadir seiring dengan pembacaan zaman kiwari bahwa di saat supremasi sipil menguat, pada masyarakat akan berkembang kesadaran kritis dalam menilai peristiwa politik dan partisipasi mengawal penyelenggaraan negara.

Dengan menghidupkan industri pemikiran, maka politik kita akan menyediakan bursa wacana yang dibangun lewat proses ilmiah berbasis pengetahuan. Upaya menghadirkan bursa pemikiran ini pada saat yang sama akan mengikis laju penyebaran hoax, provokasi SARA yang memecah belah masyarakat dan mendorong perdebatan berkualitas dalam dialetika kekuasaan. KAHMI Insya Allah akan terus memproduksi panduan dalam berwacana dan mendokumentasikannya dalam bentuk buku.

Baca Juga :  Ribuan Warga Antusias Hadiri Deklarasi PKS Midji-Norsan Menuju Pilgub Kalbar

Situasi yang diharapkan adalah, munculnya calon pemimpin, politikus yang cerdas dan mengerti arah pembangunan negeri ini. Calon pemimpin yang bisa mengelola emosi publik dari perdebatan sia-sia menjadi energi positif berupa partisipasi publik untuk turut membangun daerah lewat organ atau komunitas sosial. Pemimpin dengan prestasi yang terbentuk lewat proses organik dan apa adanya, bukan pemimpin oplosan yang lahir lewat simulacra atau pencitraan.

Lokus kekuasaan berbentuk Interest dan Pressure Groups

Berpijak pada teori Gene Sharp (1981) bahwa dalam iklim demokrasi, kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pemimpin harus memperoleh dua bentuk legitimasi yaitu pengakuan adiminstratif (de jure) dan kepercayaan publik ( de facto). Kondisi ini akan menghadirkan ruang atau lokus kekuasaan baru di luar pemerintah resmi bernama interest groups (Grup Kepentingan) dan pressure groups (Grup Penekan).

KAHMI sebagai organisasi massa yang lahir dari rahim kampus dengan eskponen gerakan yang menginfiltrasi banyak institusi politik bisa memainkan peran ganda. Sebagai interest group (grup kepentingan) dengan menyuplai kader-kadernya ke partai politik atau penyelenggara Pemilu, menggiatkan forum-forum diskusi seperti “mata politik” kemarin dengan menghadirkan politisi calon kepala daerah untuk mendorong bergulirnya ide politik sebagai industri pemikiran.

Opsi kedua dalam bentuk Pressure Group (Grup penekan) dengan menjalankan fungsi sebagai media yang mewartakan peristiwa politik lewat saluran jurnalistik yang dibuat. Atau menghadirkan wadah intelektual (think tank) yang turut merumuskan kebijakan publik, mengawal pemerintah, mengadvokasi masyarakat yang terkena dampak negatif kebijakan hingga merilis survey elektabilitas tokoh dan partai politik.

Lokus-lokus kekuasaan yang tersedia sangat terbuka untuk diisi dan dijadikan wadah pemberdayaan sekaligus sarana pengkaryaan para kader KAHMI yang berdiaspora sebagai Ronin yang tetap setia menganut nilai politk keummatan ;

“Orang terpelajar adalah orang yang menjaga Islam dengan politik bukan orang yang menjaga politik dengan Islam”

Mereka, para samurai yang tanpa komando tetap setia memperjuangkan nilai dimanapun mereka berada disebut sebagai Ronin. Kini komando memanggil para Ronin KAHMI dimanapun berkiprah untuk turut bersama menata politik Kalimantan Barat. Yakusa !

Comment