Tajam! Zulfydar Pertanyakan Pajak Ekspor CPO Kalbar yang Dinikmati Provinsi Lain

KalbarOnline, Pontianak – Antusiasme terkait informasi perkembangan ekonomi Kalimantan Barat menjadi gambaran suasana lokakarya bertajuk “Sinergi Membangun Ekonomi Kalbar Pasca Pandemi” yang digelar Fojekha di Hotel Maestro Pontianak, Jumat (03/02/2023).

Dalam kesempatan itu, Anggota DPRD Kota Pontianak, Zulfydar Zaidar Mochtar secara tajam mempertanyakan pemanfaatan Pelabuhan Internasional Kijing yang belum terlalu berdampak pada ekonomi Kalbar sementara ini.

“Bagaimana ekspor komoditas kita, terutama CPO masih banyak tercatat di pelabuhan lain? Hal ini tentu sangat merugikan pemerintah daerah karena pajak daerah tidak kita dapatkan. Malah provinsi lain yang menikmati,” ujarnya.

Ekonom Universitas Tanjungpura, Eddy Suratman yang menjadi narasumber dalam seminar itu berpendapat serupa. Menurutnya, berdasarkan perkiraan, transaksi CPO yang keluar dari Kalbar berkisar antara Rp 150 – 200 triliun per tahun.

Terkait pemanfaatan Pelabuhan Internasional Kijing yang masih minim, Eddy menyebut, perlu banyak hal yang harus dipenuhi agar pelabuhan tersebut bisa optimal.

Baca Juga :  Air Asia dan Batik Dilarang ke Pontianak, Pemerintah Diminta Bersikap

“Misalnya kita lihat jalan dari Pontianak ke Kijing yang kapasitasnya belum mampu untuk lalu lintas angkutan komoditas. Tahun ini rencananya memang akan dimulai pembangunan jalan tol di sana,” ujarnya.

Selain itu, sejumlah proyek pembangunan industri manufaktur di kawasan Pelabuhan Kijing sedang dibangun atau direncanakan untuk dibangun. Hal tersebut penting bagi ekonomi Kalbar di masa depan lantaran saat ini sektor sumber daya alam mentah masih menjadi penopang terbesar perekonomian Kalimantan Barat, kendati berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mendorong industrialisasi di provinsi ini.

“Dunia industri manufaktur di Kalbar tergolong mengalami stagnasi, dimana sebagian besar ekspor kita masih berupa bahan mentah seperti CPO (minyak sawit mentah) dan bauksit,” sebutnya.

Hal serupa menjadi potret kondisi industri nasional. Menurut Eddy, deindustrialisasi itu nyata, dimana Indonesia tidak pernah mencapai level industrialisasi 30% Produk Domestik Bruto (PDB). Level industrialisasi tertinggi yang pernah dicapai adalah 29,1% pada 2001. Setelah itu, menurun secara konsisten. Data sementara PDB 2018 Triwulan III, level industrialisasi hanya 19,7%.

Baca Juga :  Dokumen Tak Lengkap, Imigrasi Ketapang Deportasi 9 TKA Asal Tiongkok di PT SRM

Padahal, lanjutnya, sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi yakni sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, dan industri pengolahan. Termasuk di dalam sektor pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pertanian perkebunan, seperti padi, sawit, dan karet. Termasuk dari industri pengolahan alumina dan bauksit.

Menurutnya, faktor penghambat utama pembangunan Kalbar terkait dengan aspek kapasitas sumber daya manusia.

“Rata-rata lama menempuh pendidikan masyarakat kita yang tergambar dalam Indeks Pembangunan Manusia masih relatif rendah. Selain itu, terkait aspek infrastruktur serta akses listrik, sanitasi, dan air bersih relatif rendah. Begitu juga rasio jalan dengan kondisi baik relatif rendah,” jelasnya. (Jau)

Comment