Semarak Cap Go Meh 2574, Tiga Dewi Turut “Hadir” di Parade Tatung Singkawang

KalbarOnline, Pontianak – Aksi ratusan Tatung membuat event Cap Go Meh 2574 tahun 2023 di Kota Singkawang Provinsi Kalbar semakin semarak. Ribuan wisatawan baik lokal hingga internasional hadir dalam perayaan hari ke-15 Tahun Baru Imlek tersebut.

Dalam bahasa Hakka, Tatung biasa diartikan dengan “dukun” atau merupakan orang yang dirasuki oleh roh dewa/dewi atau leluhur. Mekanisme pemanggilan roh-roh baik itu pun dilakukan dengan menggunakan mantra dan mudra (sikap jari-jari tangan dalam bersemedi) tertentu.

Tidak jarang disebutkan, bahwa tradisi sakral ini dianggap ekstrim oleh sebagian besar masyarakat, hal itu lantaran Tatung dalam aksinya kerap mempertontonkan atraksi menusuk-nusuk anggota badan dengan benda-benda tajam.

Namun jangan salah, aksi Tatung yang dikemas dalam parade atau pawai Tatung ini justru menjadi salah satu daya tarik luar biasa yang sangat dinanti-nanti oleh pengunjung setiap kali perayaan Cap Go Meh digelar di Singkawang.

Sejarah Tatung

Tradisi Tatung yang dirayakan saat Cap Go Meh bermula dari kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara pada 4 abad silam. Berdasarkan buku “70 Tradisi Unik Suku Bangsa Indonesia”, masuknya tradisi tersebut dimulai dari banyak suku di Kalimantan, khususnya suku Khek atau Hakka.

Penguasa Singkawang waktu itu, Sultan Sambas memperkerjakan masyarakat pendatang dari China di pertambangan emas di Monterado. Para pendatang itu menetap bertahun-tahun di perkampungan di Kalimantan Barat.

Dalam suatu masa, masyarakat setempat terjangkit wabah penyakit. Banyak yang meyakini petaka itu dikarenakan roh jahat. Disebabkan minimnya pengobatan modern kala itu, masyarakat Tionghoa pendatang tersebut kemudian mengadakan ritual tolak bala. Ritual itu dalam bahasa Hakka disebut sebagai Ta Ciau yang kelak menjadi cikal bakal tradisi Tatung di Singkawang.

Saat merayakan Cap Go Meh, tradisi Tatung berfungsi sebagai ritual pencucian jalan agar bersih dari segala roh jahat yang mendatangkan sial di seluruh kota. Hal inilah yang menyebabkan mengapa para Tatung melakukan aksi berkeliling saat merayakan tradisi Tatung.

Dipilih Karena Darah Keturunan

Menjadi seorang Tatung tidaklah semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan syarat yang sangat ketat, seperti mengantongi surat izin dan pernyataan dari kelurahan, serta adanya seleksi. Di luar itu, status Tatung akan dianggap ilegal dan tidak akan mendapatkan bantuan dana apapun.

Uniknya, di antara pelaku Tatung tersebut, kerap “terpilih” karena mereka memiliki keturunan atau darah langsung dari para leluhur mereka yang menjadi Tatung.

Hal itu seperti yang diungkapkan Sucin, anak ke-9 dari 14 bersaudara dari pasangan Akong dan Ah Ngo. Ia dipilih menjadi Tatung karena leluhurnya dulu merupakan seorang Tatung.

Baca Juga :  Satu Korban Tenggelam Insiden Rombongan Pengantin Ditemukan

“Karena keturunan leluhur kita ada yang menjadi Tatung. Saya menjadi tatung sudah hampir 16 tahun, saya tinggal dan berkeluarga di Hongkong, jadi setahun sekali pulang ke Singkawang saat Imlek. Waktu pandemi Covid-19 kemarin tidak pulang,” ujarnya kepada wartawan usai menjadi Tatung pada Pawai Tatung di Kota Singkawang, Sabtu (04/02/2023).

Dalam keluarga besarnya, Sucin menjelaskan, terdapat 7 orang yang dipilih menjadi Tatung, 3 diantaranya perempuan termasuk dirinya, 3 laki-laki dan 1 orang lagi keponakannya. Sucin dan lainnya menjadi Tatung karena keturunan dari sang kakek, yang kemudian turun ke ayahnya, lalu ke anak-anaknya saat ini.

“Kita awalnya agak stres, takut, karena kita perempuan kan, bahkan kita juga sempat merasakan sakit-sakitan, lalu dibawa ke dokter tidak bisa sembuh, ternyata kita dipilih menjadi Tatung,” ujarnya.

Sementara sang ayahnya, Akong yang juga seorang Tatung, kini sudah cukup berumur, sehingga praktik atau tradisi Tatung itu diwariskan ke anak-anaknya hingga sampai saat ini.

Lebih lanjut, Sucin mengungkapkan, bahwa setiap orang akan merasakan dan memiliki pengalaman spiritual yang berbeda saat menjadi Tatung. Para Tatung menjadi tidak sadar karena telah dirasuki oleh roh-roh baik dari para dewa/dewi atau leluhur. Untuk Sucin sendiri, nama dewi yang merasukinya ialah Jun Fung Sian Ku.

“Setiap orang akan merasakan rasa beda saat kemasukan dewi, setelahnya berasa capek sekali, seperti telah begadang beberapa hari jadi lemas,” ujarnya.

Lantaran memiliki “darah” itu pula, seorang Tatung sangat dipercayai memiliki kelebihan tersendiri, salah satunya mampu menyembuhkan sejumlah penyakit.

“Menjadi tatung kita bisa mengobati penyakit, misalnya pada anak kecil. Waktu kecil dulu kita takut sampai terbawa mimpi, tapi setelah masuk (terpilih) kita terima saja. Saya di Hongkong sudah puluhan tahun dan sudah berkeluarga,” katanya.

Sementara itu, adiknya Sucin, Su Sian yang merupakan anak ke-10 dari pasangan Akong dan Ah Ngo, turut menceritakan pengalamannya saat kerasukan roh atau saat menjadi Tatung. Roh dewi yang merasukinya bernama Kim Liung Nyiong Nyiong.

“Saya menjadi tatung hampir sudah lima tahun, saat dewi masuk agak seperti merinding, rasa tidak nyaman dan mau pusing berat, antara sadar atau tidak, saat dewi-nya masuk dulu–awalnya kita agak gimana gitu, karena belum terbiasa,” ungkapnya.

Pada awalnya, Su Sian mengaku sempat merasa takut. Dewi Kim Liung Nyiong Nyiong pertama kali masuk ke dalam dirinya saat dia berada di perantauan, Singapura. Kala itu, Su Sian kerap merasa sakit-sakitan.

Baca Juga :  Dewan Kalbar Minta Perusahaan Perkebunan Segera Tindaklanjut Perintah Presiden Jokowi

“Lalu kita telepon orang tua, diminta untuk pulang ke Singkawang, lalu pulang, ternyata langsung masuk dewi-nya,” ujarnya.

“Dulu bahkan kita heran kenapa cewek juga bisa, bahkan saya awalnya merasa tidak mau, saya bahkan tidak mau pulang ke Singkawang, saya bilangnya sibuk kerja. Kena (kerasukan) di sana (Singapura) bukan di sini, habis itu kita terima saja, lagian juga dewi-nya juga baik hati dan suka menolong kita,” ungkapnya.

Tak hanya beban saat dirasuki, Su Sian mengaku kalau pada awal-awalnya dulu ia sempat juga merasa malu menjadi Tatung, karena selama itu belum ada perempuan yang menjadi Tatung.

“Selama itu tidak ada tatung perempuan, biasanya laki-laki, tapi sekarang sudah terbiasa, karena sudah ada juga Tatung perempuan. Saya dulu sempat merasa takut dan heran kenapa cewek juga bisa menjadi Tatung,” katanya.

Su Sian menyampaikan, kalau dirinya sudah tinggal di Singapura selama belasan tahun dan sudah berkeluarga di sana. Sang suami sendiri, kata dia, awalnya juga kaget mengetahui kalau istrinya ini “spesial”.

“Saya sudah berkeluarga di sana, suami awalnya tidak tahu saya bisa menjadi Tatung, dia bilang aneh, lalu saya beri tahu, awalnya suami agak kaget, ‘kok bisa gitu’, anak saya juga sama kaget dan takut, karena di sana tidak ada (tradisi Tatung), kemudian kita berikan pemahaman,” kisahnya.

Lebih lanjut Su Sian menambahkan, kalau dirinya baru kembali ke Singkawang lagi untuk merayakan Imlek dan Cap Go Meh 2023 ini–setelah beberapa tahun tidak pulang karena pandemi Covid-19. Rasa rindu yang teramat sangat turut mendorong Su Sian kembali ke kampung halamannya di Singkawang.

“Rindu pasti ada, karena dulu setiap tahun pulang, tahun ini perayaan Imlek dan Cap Go Meh juga lebih meriah. Waktu tidak pulang tidak masalah, kita doakan pandemi Covid-19 cepat selesai,” tuturnya.

“Kita harapkan pada Imlek tahun ini kita selalu diberikan kesehatan dan keselamatan kemudian perekonomian juga lancar,” ucapnya.

Selain Sucin dan Su Sian, anak perempuan lainnya dari keluar besar Akong dan Ah Ngo yakni Susan. Dalam Pawai Tatung yang merupakan rangkaian dari perayaan puncak Cap Go Meh di Kota Singkawang 2023, Susan turut menjelma menjadi seorang Tatung dengan kerasukan roh dari Dewi Hoi Liung Nyiong Nyiong.

Susan sendiri adalah adik dari Sucin dan Su Sian. Ia merupakan anak ke-11 dari 14 bersaudara dari pasangan Akong dan Ah Ngo. (Jau/berbagai sumber)

Comment