Capaian IPM Bidang Kesehatan Tahun 2022 Meningkat, AKI dan AKB Kalbar Turun Signifikan

KalbarOnline, Pontianak – Dinas Kesehatan Kalimantan Barat (Kalbar) menyampaikan capaian positif peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang disumbang dari bidang kesehatan. Di mana dari indikator utamanya, seperti Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) telah mengalami penurunan yang signifikan.

Kepala Dinas Kesehatan Kalbar Hary Agung Tjahyadi menjelaskan, dalam perhitungan IPM daerah melibatkan tiga indikator, yakni kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

Melihat dari data rilis Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Kalbar kata dia, naik dari 70,76 di tahun 2021 menjadi 71,02 di akhir tahun 2022. Dengan demikian, tentu ada peningkatan pula pada perhitungan IPM yang disumbangkan dari bidang kesehatan.

“Di bidang kesehatan ini melihat indikator utama, yaitu angka kematian ibu dan bayi. Kemudian indikator lain yang dimasukan di dalam bagian yang berpengaruh besar adalah masalah status gizi yaitu stunting,” ungkap Hary kepada awak media akhir Desember 2022 lalu.

Hary lantas merincikan terkait penurunan AKI dan AKB yang dinilai linier dengan kenaikan IPM. Pertama, AKI di tahun 2021 disebutkan dia sebesar 214 per 100 ribu kelahiran. Sementara untuk tahun 2022, sampai akhir Desember, angkanya sebesar 120 per 100 ribu kelahiran.

Baca Juga :  Usulkan 82 Desa Dialiri Listrik, Sintang Minta PLN Kalbar Prioritaskan 15 Desa

“Jadi cukup signifikan (penurunan) angka kematian ibu. Dari jumlah kematian absolutnya, dari 2021 itu adalah 183 kasus kematian ibu, tahun 2022 kasusnya 109 kematian ibu,” jelasnya.

Kemudian untuk AKB lanjut dia, tahun 2021 angkanya delapan per 1.000 kelahiran hidup. Lalu di tahun 2022 menjadi 5,2 per 1.000 kelahiran hidup. Atau dengan angka absolut, dari 616 kematian bayi di tahun 2021 menjadi 522 kematian di tahun 2022.

“Angka ini menunjukkan peluang usia harapan hidup orang yang lahir di tahun 2022 lebih tinggi dibandingkan 2021,” katanya.

Sementara itu, satu indikator penting di bidang kesehatan yang juga menentukan perhitungan IPM menurutnya adalah status gizi dan stunting. Stunting dijelaskan dia, bukan hanya permasalahan anak yang pendek (kerdil), tetapi kaitannya juga dengan perkembangan otak dari anak tersebut. Sehingga masalah stunting berkaitan erat dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Dalam perhitungan stunting, dipaparkan Hary, ada dua indikator yang digunakan selama ini. Pertama data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang sifatnya mengambil sampling.

“Tahun 2022 ini sudah dilakukan pelaksanaan surveinya, tapi masih menunggu hasil. SSGI ini dikeluarkan dari Kementerian Kesehatan, di tahun 2021 kita (Kalbar) di angka 29,08 persen. Mudah-mudahan di tahun 2022 terjadi penurunan yang signifikan,” harapnya.

Baca Juga :  Kejati Kalbar Bantah Isu Pemanggilan Sutarmidji Terkait Hibah Mujahidin

Kemudian yang kedua, juga sering dibandingkan dengan data SSGI yakni data Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM). Dalam e-PPGM setiap anak yang terdata baik nama hingga alamatnya dihitung status gizinya. Kemudian dimasukan ke dalam sistem pencatatan tersebut.

Bisa dikatakan, lanjut Hary, e-PPGBM menjadi salah satu yang digunakan sebagai sumber data untuk melakukan intervensi penanganan stunting.

“Jadi kalau nakes sudah menemukan kasus status gizi, maka dilakukan intervensi. e-PPGBM tahun 2021, angkanya 17,04 persen prevalensi stunting,” terangnya.

Namun Hary menambahkan, data e-PPGBM belum mencakup 100 persen sasaran. Kemenkes hanya menetapkan 85 persen dari jumlah sasaran, sehingga tingkat validasinya masih perlu diperhitungkan.

“Sedangkan kuota tahun lalu itu 70 persen pencatatannya dari jumlah sasaran dengan hasilnya 17 persen. Tahun ini (2022) masih proses pencatatan input data, di tanggal 26 (Desember 2022) kemarin, kami lihat baru 60,90 persen pencatatannya dari sasaran, dengan persentase 16 prevalensi stunting,” tutupnya. (Jau)

Comment