Apa Itu FOLU Net Sink 2030?

KalbarOnline – FOLU Net Sink 2030 menjadi istilah yang sedang populer saat ini. Hal itu seiring dengan cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya Bakar di Twitter tentang deforestasi dan pembangunan. Apa sebenarnya arti dari FOLU Net Sink tersebut? Berikut penjelasannya:

Dilansir dari laman Forest Digest, FOLU merupakan singkatan Forest and Other Land Uses atau kalau diartikan ke dalam bahasa indonesia yakni “pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan”. 

Sementara Net Sink atau juga disebut Carbon Net Sink, adalah penyerapan karbon bersih yang merujuk pada jumlah penyerapan emisi karbon yang jauh lebih banyak dari yang dilepaskannya.

Maka, FOLU Net Sink adalah keadaan ketika sektor lahan dan hutan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya.

Dalam dokumen penurunan emisi atau nationally determined contribution (NDC), FOLU menjadi satu dari lima sektor dari program mitigasi krisis iklim.

Pada 2030 mendatang, sektor ini akan menghasilkan emisi sebanyak 714 juta ton setara CO2. Pembangunan rendah karbon akan mengurangkan emisi sebanyak 17,2% dalam skenario penurunan emisi 29% dan 24,5% dalam skenario 41%.

Indonesia mengajukan proposal penurunan emisi melalui dua cara: 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Semua persentase itu mengacu pada produksi emisi nasional pada 2030 sebanyak 2,869 miliar ton setara CO2. Sebagai gambaran, emisi sebanyak ini setara dengan emisi yang dihasilkan 900 juta mobil yang berjalan 19.000 kilometer selama setahun.

Cuitan Menteri Lingkungan Hidup RI, Siti Nurbaya Bakar di Twitter. (Foto: Tangkapan layar)
Cuitan Menteri Lingkungan Hidup RI, Siti Nurbaya Bakar di Twitter. (Foto: Tangkapan layar)

Pentingnya Menanam Pohon

Baca Juga :  Dukung FOLU Net Sink 2030, Sutarmidji Ajak Masyarakat Tanam Pohon Sebanyak-banyaknya

Saat ini pemerintah pusat maupun daerah sedang gencar melakukan penanaman pohon sebanyak-banyaknya dalam rangka mendukung FOLU Net Sink 2030 tersebut.

Hal itu dikarenakan, sebagai siklus hidupnya, pohon menyerap karbon untuk mengubahnya menjadi oksigen dan glukosa melalui fotosintesis. Karbon yang ada dalam pohon akan menguap menjadi gas rumah kaca ketika ia terbakar, mati karena ditebang, atau membusuk. Deforestasi (penggundulan hutan) adalah penyebab 24% emisi global saat ini yang totalnya mencapai 51 miliar ton setahun.

Dalam hutan juga dikenal istilah siklus karbon hutan yang merujuk pada keadaan bergeraknya karbon secara dinamis antara atmosfer dengan hutan. Ruang antara bumi dan atmosfer akan melepaskan karbon dioksida sementara di dalam pohon sendiri terjadi penyerapan karbon. Karbon dioksida di atmosfer akan terserap oleh pohon melalui proses fotosintesis. 

Dalam negosiasi mitigasi iklim, seperti COP26 Glasgow sekarang, penyerapan CO2 dari atmosfer dikenal dengan istilah karbon negatif. Di antara lima gas rumah kaca lain, CO2 paling banyak di atmosfer. Namun, faktor penyebab pemanasan globalnya paling sedikit. Karena itu ia jadi satuan standar menghitung emisi karbon.

Jumlah karbon dioksida di atmosfer melonjak dari 280 part per-million selama 10.000 tahun lalu menjadi 414,4 ppm pada akhir tahun lalu, yang menaikkan suhu 1,16 C dalam tiga abad terakhir. Pemicu utama kenaikan konsentrasi gas rumah kaca ini terjadi setelah manusia menemukan mesin uap dan batu bara sebagai bahan bakar setelah Revolusi Industri di Eropa pada 1750.

Baca Juga :  Ridwan Kamil Sebut Bahan Obat Corona Ada di Jabar

Lima gas lain paling ganas menyebabkan pemanasan global. Sebab mereka adalah emisi berat yang dikeluarkan oleh energi fosil atau proses pengolahan semen. Berbeda dengan CO2 yang dinamis, emisi dari energi fosil ini terperangkap di atmosfer hingga ribuan tahun. Karena itulah gas-gas ini mengurangi kemampuan atmosfer menyerap emisi dari bumi dan menyerap panas matahari. Akibatnya bumi seperti terperangkap dalam rumah kaca tanpa pintu keluar.

Lama-lama, bumi akan memanas. Pemanasan ini menyebabkan musim berubah, siklus bumi terganggu. Itulah krisis iklim.

Karena statis, emisi dari energi fosil tak terserap oleh pohon. Maka agar mitigasi (mengurangi resiko bencana) krisis iklim berhasil, yakni mencegah kenaikan suhu bumi melewati 1,50 Celcius pada 2040, kita tak hanya harus mencegah deforestasi, juga secara radikal mengurangi emisi energi fosil dengan menggantinya dengan energi terbarukan.

Faktor Keberhasilan Mitigasi Krisis Iklim

Mencegah deforestasi akan mencegah karbon dioksida ke atmosfer, mengganti energi fosil mencegah emisi statis yang memandulkan atmosfer sebagai selubung bumi kita. Jadi, menanam pohon, rehabilitasi, restorasi saja tidak cukup sebagai pencegah krisis iklim karena ia hanya menyerap siklus karbon hutan.

Untuk mencapai FOLU Net Sink 2030 ini, pemerintah Indonesia juga sudah menyiapkan beberapa strategi, diantaranya restorasi rawa gambut 2 juta hektare hingga 2030, reforestasi, menggenjot pengelolaan hutan lestari melalui perizinan berusaha, hingga mencegah deforestasi dan degradasi lahan dan hutan.

Sumber: Forest Digest

Comment