RDPU dengan DPRD, BGA Group dan BPN Ketapang Silang Pendapat

BGA Group: Peta 1997 benar, BPN Ketapang: Peta 1991 yang diakui

KalbarOnline, KetapangDPRD Ketapang menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait persoalan hak guna usaha (HGU) dua anak perusahaan PT Bumitama Gunajaya Agro (BGA) Gruop yang masuk ke pemukiman penduduk dan fasilitas umum.

Rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPRD Ketapang Uti Royden Top ini menindaklanjuti permasalahan dua sertifikat HGU (SHGU) yang disebut peta horizontal dan vertikal. Dua SHGU itu pada PT Inti Sawit Lestari (ISL) di Kecamatan Tumbang Titi. Rapat berlangsung di ruang rapat paripurna Kantor DPRD Ketapang, Selasa, 8 Maret 2022.

Dalam rapat, Kepala Perwakilan BGA Group Ketapang Riduan menegaskan, pihaknya tetap beranggapan peta 1997 itu benar berdasarkan hasil lelang PT BIG. Lantaran sebelum pembayaran lelang dilakukan BGA Group, pihaknya sudah mengikuti semua proses lelang secara benar.

Beberapa fakta yang membenarkan ketika proses lelang diikuti pihaknya. Termasuk melibatkan BPN pada beberapa prosesnya hingga balik dari sertifikat tersebut.

“Kalau ada permasalahan begini kenapa selama proses lelang tidak disampaikan kepada kami,” ujarnya.

Sementara Kepala Kantor Pertanahan Ketapang Banu Subekti menjelaskan, secara hirarki BPN terdiri dari Kementerian, Kanwil Provinsi baru kemudian Kantor Pertanahan Ketapang.

Baca Juga :  Bupati Martin Sambut Positif Komitmen Apkasindo Perjuangkan Nasib Petani Sawit

“Jadi kami hanya menyampaikan dan ini bukan (ranah) BPN Ketapang bahwa yang diakui adalah peta situasi 1991,” kata Banu.

Ia menilai ada miss dalam persoalan ini. Sehingga dia meminta semua pihak menunggu, seperti apa penyelesaiannya nanti. Terlebih menurutnya, terkait yang diakui peta 1991 sebenarnya sudah disampaikan pada tahun 2016 kepada pihak terkait.

“Kalau kita hanya memfasilitasi bukan pemutus. Kalau memang mau menggunakan jalur hukum silakan, mau musyawarah Alhamdulillah,” kata dia.

Banu Subekti juga menanggapi pernyataan perwakilan BGA Group bahwa BPN terlibat langsung dalam beberapa proses saat lelang PT BIG yang dikuti BGA Group hingga balik nama SHGU. Banu Subekti menegaskan, semua risalah lelang menyebutkan peta situasi 1991 dan tidak ada peta 1997.

Terkait dalam peta situasi 1991 ada masuk di pemukiman warga yang tanahnya ada sertifikat. Serta ada fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah dan lainnya. Menurutnya hal itu memang sesuai haknya perkebunan inti rakyat (PIR) trans.

“Jadi HGU itu harus dikurangi sesuai sertifikat yang diterbitkan melalui PIR Trans. Jadi tidak bisa dikatakan tumpang tindih, karena SK (Surat Keputusan.Red) pada waktu menerbitkan HGU lama untuk PT BIG itu ada kewajiban untuk para transmigran PIR Trans. Sehingga sertifikat mssyarakat tetap sah meski dalam HGU perusahaan itu,” kata Banu Subekti.

Baca Juga :  Puskesmas dan RSUD Agoesdjam Diimbau Segera Tuntaskan Persyaratan Tukin

Banu Subekti juga menyebutkan kalau terhadap sertifikat warga yang mengaku tak bisa dijaminkan atau diagunkan ke bank. Banu menyarankan untuk mengkonfirmasi ke pihak bank.

“Sertifikat tidak bisa diagunkan bukan berarti sertifikat itu tidak sah. Lantaran sertifikat tidak ada persoalan masuk atau tidak dalam HGU perusahaan. Soal sertifikat bisa diagunkan atau tidak itu adalah persoalan antara yang memberi kredit dan diberi kredit atau pinjaman,” jelasnya.

“Jadi bukan karena sertifikatnya tidak diterima untuk diagunkan terus diartikan sertifikatnya tidak sah. BPN mengatakan sertifikat warga itu sah. Persoalan bisa diagunkan atau tidak itu terkait kepercayaan antara pemberi dan penerima kredit saja,” kata Banu.

Menurutnya, diterima atau tidaknya sertifikat warga oleh bank saat pengajuan kredit merupakan sepenuhnya wewenang pihak bank.

“Kalau mereka meminta pengesahan BPN pasti ditandatangani bahwa sertifikat itu sah. Hanya ketika bank tidak menerima sertifikat warga sebagai agunan itu kewenangan bank,” pungkasnya. (Adi LC)

Comment