Jepang Diguncang Gempa 7,3 Magnitudo, Seluruh Pembangkit Nuklir Aman

KalbarOnline.com – “Saya bertanya-tanya apakah (guncangan) ini bakal berakhir.” Pernyataan itu dilontarkan Tomoko Kobayashi, pegawai di penginapan di Minamisoma, Prefektur Fukushima, Jepang, yang menceritakan gempa 7,3 magnitudo yang baru saja dirasakannya.

Gempa itu mengguncang Fukushima pada Sabtu (13/2) pukul 23.07.

Bagi pria 68 tahun tersebut, situasinya seperti deja vu. Sebab, dia juga merupakan korban selamat dalam gempa 9 magnitudo yang terjadi pada 11 Maret 2011 di Fukushima.

Menurut Kobayashi, getaran awal gempa Sabtu malam itu justru lebih kuat daripada bencana yang terjadi satu dekade lalu. Getarannya terasa hingga 30 detik.

”Kami mendapatkan laporan banyak korban luka di Fukushima dan Miyagi. Namun, sejauh ini tidak ada laporan korban jiwa,” terang Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga kemarin (14/2) dalam rapat kabinet darurat seperti dikutip Agence France-Presse.

Jumlah korban luka mencapai 104 orang, tetapi rata-rata hanya terluka ringan. Badan Meteorologi Jepang (JMA) menyatakan bahwa bencana Sabtu lalu adalah susulan gempa pada 2011.

Gempa susulan setelah gempa bumi besar dapat berlanjut selama bertahun-tahun. Pusat gempa berada di 74 kilometer timur laut Namie dengan kedalaman 57,9 kilometer dari permukaan tanah.

Baca Juga :  Kisah Rumitnya Punya Kekasih WN Singapura, Aturan Ketat Selama Pandemi

Tidak ada peringatan tsunami yang dikeluarkan. Meski begitu, JMA juga memperkirakan ada gempa lagi dalam sepekan ke depan, tetapi dengan kekuatan yang lebih rendah. Penduduk diminta selalu waspada. Kemarin sore terjadi gempa susulan yang berkekuatan 5 magnitudo.

Pascagempa, sekitar 950 ribu rumah tangga harus kehilangan suplai listrik. Sebagian kembali dialiri listrik kemarin. Pemerintah juga memastikan situasi di pembangkit tenaga nuklir Daiichi dan Daini di Fukushima tidak bermasalah.

Jepang belajar dari kesalahan masa lalu. Negara itu terletak di sepanjang Cincin Api Pasifik. Karena itu, guncangan gempa menjadi hal ”biasa” di negara tersebut. Mereka beradaptasi dengan kondisi tersebut dengan membangun gedung-gedung antigempa. Biasanya, saat gempa terjadi, gedung itu ikut bergerak seirama dengan guncangan. Beberapa pakar menyebutnya dengan gerakan menari. Karena itulah, tidak banyak bangunan baru yang rusak jika gempa terjadi. Kerusakan biasanya terjadi pada bangunan-bangunan lama.

Baca Juga :  Ambisi Xi Jinping Berantas Kemiskinan, Fokus Genjot Kelas Menengah

”Semua bangunan di negara ini harus tahan gempa bumi, bahkan jika ia berukuran kecil ataupun tidak permanen,” ujar profesor di Tokyo University Jun Sato seperti dikutip BBC.

Ada dua tingkat ketahanan utama. Yang pertama adalah menahan gempa bumi dalam skala yang lebih kecil. Biasanya gempa yang terjadi 3–4 kali dalam sekali masa hidup penduduk. Untuk gedung jenis tersebut, kerusakan apa pun yang membutuhkan perbaikan ketika gempa terjadi tidak bisa diterima.

Baca juga: 10 Tahun Peringatan Tsunami, Warga Jepang Siaga Gempa Dahsyat Susulan

Bangunan harus dirancang dengan sangat baik sehingga dapat terhindar dari gempa bumi skala kecil tanpa kerusakan sedikit pun.

Tingkat ketahanan kedua adalah menahan gempa bumi dengan kekuatan ekstrem dan jarang terjadi. Batasannya ditentukan berdasar gempa bumi besar Kanto pada 1923. Itulah gempa berkekuatan 7,9 magnitudo yang menghancurkan Tokyo dan Yokohama serta merenggut 140 ribu nyawa.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment