Tren Turunnya Angka Kelahiran Negara Maju di Asia yang Bikin Pusing

Negara-negara kaya di Asia tengah sakit kepala. Angka kelahiran atau natalitas di negara mereka terus menurun setiap tahun. Di satu sisi, ada yang menerima kondisi tersebut. Namun, ada juga yang berusaha mengatasinya demi masa depan mereka.

JOANNE Su galau. Usianya menjelang 30 tahun. Namun, perempuan yang bekerja di perusahaan perdagangan asing di Guangzhou itu masih sendiri. Dia belum menikah. Tekanan dari orang tua pun datang. Tetapi, itu kegalauan dua tahun lalu. Joanne kini berusia 31 tahun. Masih single dan tak resah lagi.

’’Apalah artinya menikah dengan orang yang tidak Anda sukai, lalu bercerai beberapa tahun kemudian. Itu hanya membuang waktu,’’ kata Joanne seperti dikutip CNN.

Joanne tak sendiri. Kian banyak kaum milenial Tiongkok yang berpikiran serupa. Imbasnya, angka pernikahan dan kelahiran di Negeri Panda turun drastis. Berdasar data Kementerian Urusan Sipil, angka pernikahan turun selama enam tahun terakhir. Hanya 6,6 per seribu orang. Persentase mereka yang menikah untuk kali pertama juga turun 41 persen. Dari 23,8 juta orang pada 2013 menjadi 13,9 juta orang pada 2019.

Angka kelahiran pun terimbas. Sepanjang 2020, hanya ada 10,035 juta kelahiran. Pada 2019, jumlahnya mencapai 11,8 juta kelahiran. Terjadi penurunan hingga 14,9 persen. Itulah angka kelahiran terendah sejak Tiongkok didirikan pada 1949. Ketidakseimbangan gender juga masih terjadi. Bayi laki-laki lebih banyak, yakni mencapai 53 persen.

Perubahan perilaku, cara pandang terhadap keluarga, dan masalah finansial diduga menjadi penyebab. Pandemi juga memperburuk situasi. ’’Dampak Covid-19 membuat angka ini lebih besar. Pada tahun-tahun mendatang, penurunannya mungkin tidak terlalu buruk. Namun, tren menurun akan terus berlanjut,’’ ujar pakar kebijakan dan ilmu sosial di Universitas Sains dan Teknologi Hongkong Stuart Gietel-Basten.

Baca Juga :  Pengamat Kritik Gugus Tugas Covid-19 Karena Belum Turun ke Rutan KPK

Dilansir The Guardian, sekitar sepertiga populasi penduduk Tiongkok pada 2050 adalah lansia di atas 60 tahun. Laporan dari Chinese Academy of Social Sciences memprediksi bahwa dana pensiun negara terkuras pada 2035.

Karena itulah, saat ini Tiongkok meluncurkan kampanye untuk mendorong para pemuda dan pemudi segera menikah. Termasuk mencari cara agar mereka tetap langgeng. Business Standard mengungkapkan bahwa Liga Pemuda Komunis, bagian dari Partai Komunis Tiongkok, kini mulai melakukan perjodohan dan acara kencan buta masal.

Korea Selatan (Korsel) mengalami hal serupa. Angka pernikahan dan kelahiran mereka juga terjun bebas. Angka kelahiran total mereka pada 2019 hanya 0,92 persen. Itulah yang terendah di dunia. Tahun lalu hanya ada 275.800 bayi yang lahir pada 2020. Angka tersebut turun 10 persen dari 2019. Angka kematian malah lebih tinggi. Tahun lalu angka kematian mencapai 307.764 orang.

Pemerintah Korsel sudah bertahun-tahun berupaya mendongkrak angka kelahiran, tetapi gagal. Kini mereka berusaha berdamai dengan situasi. Mendorong angka kelahiran tetap dilakukan. Namun, mereka juga berusaha menyesuaikan laju perekonomian dengan populasi yang terus susut dan menua.

Rencananya, pemerintah Korea mendorong perempuan dan lansia untuk bisa bekerja. Penerimaan pekerja asing juga lebih terbuka dengan program visa baru yang menarik peneliti dan para pekerja profesional. Korea juga bakal membantu pensiunan untuk membuka bisnis sendiri. Dukungan hukum dan kelembagaan untuk keluarga yang tak menikah secara resmi juga akan diperkuat. Seluruh detail tersebut diungkap pada Mei nanti.

Baca Juga :  Masalah Keamanan, Gladi Bersih Pelantikan Joe Biden Ditunda

Ide Insentif Rp 13,3 Juta Per Bayi

Angka kelahiran di Jepang sudah lama turun. Namun, pandemi memperburuk semuanya. Berbagai kebijakan yang ditawarkan tak membuat hubungan kaum Adam dan Hawa di Negeri Sakura beranjak ke jenjang yang lebih serius. Yang sudah menikah juga memilih menunda ataupun tak memiliki anak sama sekali.

Japan Today mengungkapkan, Jepang memiliki budaya tanggung jawab kepada keluarga yang sangat kuat. Karena itu, biasanya pasangan sangat berhati-hati dalam memulai sebuah keluarga. Pertimbangannya adalah pemenuhan kebutuhan finansial keluarga pada masa depan. Pandemi mengakibatkan perekonomian Jepang ikut terdampak. Karena itu, angka pernikahan dan kelahiran terjun bebas.

Baca Juga: Bank Salah Transfer, Uang Dibelanjakan, Tak Bisa Kembalikan, Disidang

Pada April–Oktober 2020, hanya ada 60 ribu kehamilan yang dilaporkan. Turun 10 persen dari periode yang sama pada 2019. Pemerintah Jepang tak ingin situasi itu makin berlarut-larut. Pemerintah hendak meluncurkan rencana baru, yaitu memberikan insentif. Untuk sementara, hanya di Tokyo.

Pasangan yang melahirkan di ibu kota Jepang itu akan mendapatkan JPY 100 ribu atau setara dengan Rp 13,3 juta. Bukan berupa uang, melainkan barang-barang dan layanan untuk perawatan anak. Usulan tersebut masih dibahas. Jika disetujui, insentif itu bakal diberikan selama dua tahun.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment