LSI: 23,4 Persen Pengusaha Nilai Suap dan Gratifikasi Adalah Hal Wajar

KalbarOnline.com – Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei Persepsi Korupsi dan Evaluasi Pemberantasan Korupsi Menurut Kalangan Pelaku Usaha dan Pemuka Opini pada Minggu (7/2). Berdasarkan hasil survei, 23,4 persen responden pelaku usaha menganggap wajar memberikan suap atau gratifikasi.

’’Sekitar 23,4 persen menganggap wajar bahwa memberikan sesuatu seperti uang, barang, hiburan, hadiah di luar persyaratan atau ketentuan untuk memperlancar suatu proses atau sebagai bentuk terima kasih ketika berhubungan dengan instansi pemerintah,’’ kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam konferensi pers daring, Minggu (7/2).

Selain itu, dalam survei LSI juga menyebut cukup banyak pelaku usaha menilai positif praktik nepotisme. Menurutnya, ada sekitar 21,1 persenmenganggap bahwa nepotisme adalah tindakan yang normal, bahkan 13,6 persen menilainya sebagai tindakan yang perlu untuk memperlancar urusan bisnis.

Baca Juga :  Antisipasi Suap dan Pencucian Uang dengan Modus Zakat

’’Meskipun lebih banyak yang menilainya negatif 50,9 persen menganggap tidak etis, 10 persen menilai sebagai kejahatan, namun penilaian positif terhadap nepotisme cukup tinggi, mengingat praktik tersebut merupakan praktik yang tergolong negatif,’’ cetus Djayadi.

Djayadi menuturkan, pandangan bahwa suap atau gratifikasi adalah hal yang wajar di kalangan pelaku usaha lebih rendah dibandingkan publik, terutama opini publik pada survei Desember 2020. Sedangkan di kalangan pemuka opini, pandangan wajar ini paling rendah.

’’Cukup banyak yang menilai negatif terhadap aparat negara atau pemerintah. Mereka menilai, aparat yang hanya mau bekerja jika diberi uang maupun hadiah. Bahkan menilai aparat negara atau pemerintah tidak menguasai pekerjaannya, dan bekerja seenaknya tidak sesuai dengan prosedur resmi,’’ beber Djayadi.

Baca Juga :  KPK Ungkap Korupsi Citra Satelit Bisa Berdampak pada Bencana Alam

Pemuka opini yang menjadi responden survei ini sebanyak 1.008 orang dari 36 kota di Indonesia. Responden dipilih karena dikenal sebagai intelektual, tokoh yang memiliki wawasan politik, hukum, atau ekonomi luas, mengikuti perkembangan politik nasional secara intensif, menjadi narasumber media massa, atau aktif terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan, atau organisasi.

Responden datang dari tiga latar belakang, yakni akademisi, LSM/Ormas, dan  media massa. Karena tidak tersedianya data populasi pemuka opini, maka pemilihan responden tidak dilakukan secara random. ’’Pemilihan responden dilakukan secara purposif, terutama dicari dari media massa nasional atau daerah,’’ papar Djayadi. (*)

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment