CPI Indonesia Anjlok, ICW: Koreksi Kebijakan Pemberantasan Korupsi

KalbarOnline.com – Agenda pemberantasan korupsi di tanah air mendapat tamparan. Transparency International Indonesia (TII) memaparkan bahwa indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index/CPI) anjlok. Poin Indonesia turun signifikan jika dibandingkan dengan 2019. Dari angka 40 ke 37.

Turunnya poin indeks persepsi korupsi itu membuat peringkat Indonesia merosot menjadi ke-102.

Selevel dengan Gambia. Padahal, dengan 40 poin pada 2019, Indonesia berada di ranking ke-85. Bukan hanya itu, merosotnya indeks persepsi korupsi tersebut membawa Indonesia mundur ke 2016. Saat itu poin Indonesia juga berada di angka 37.

Sepanjang periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, baru tahun lalu indeks persepsi korupsi di Indonesia turun. Kali terakhir indeks persepsi korupsi Indonesia turun pada 2007.

Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko menjelaskan, indeks tersebut bersumber dari pengambilan data sepanjang 2020. Persisnya mulai awal tahun sampai Oktober.

Menurut dia, ada beberapa hal yang mengakibatkan CPI Indonesia turun. Di antaranya, berkaitan dengan isu ekonomi dan investasi. ’’Secara umum, beberapa indikator penyusun CPI yang berhubungan dengan sektor ekonomi dan investasi serta kemudahan berusaha mengalami stagnasi,’’ kata Wawan dalam paparan secara daring kemarin (28/1).

Kemudian, terjadi penurunan poin penyusun indeks persepsi korupsi yang terkait dengan isu politik dan demokrasi. ’’Itu berarti politik (di Indonesia) masih rentan terhadap kejadian korupsi,’’ imbuhnya.

Khusus sektor penegakan hukum, kata Wawan, data TII menunjukkan kenaikan poin pada salah satu indikatornya. Namun, tidak ada perubahan pada indikator perbaikan kualitas layanan yang berhubungan dengan korupsi.

Di sisi lain, TII juga menarik data CPI mulai 2012 sampai 2017. Hasilnya cukup mengejutkan. ’’Korupsi telah menggeser alokasi anggaran layanan publik yang esensial, salah satunya kesehatan,’’ terang dia.

Data TII mencatat, 180 negara dengan persentase korupsi yang tinggi pelit membagi anggaran untuk sektor kesehatan. ’’Negara dengan korupsi tinggi cenderung mengeluarkan uang lebih sedikit untuk kesehatan,’’ jelas Wawan.

Baca Juga :  Jadi Rujukan Covid-19, RS Sayang Bunda Tuai Protes Warga Sekitar

Terkait dengan pandemi Covid-19, TII menghasilkan analisis data yang menyebutkan bahwa korupsi berkontribusi terhadap kemunduran demokrasi selama pandemi. ’’Negara dengan tingkat korupsi tinggi merespons krisis dengan cara kurang demokratis,’’ imbuhnya.

Melihat penurunan tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pemerintah dan lembaga pemberantasan korupsi di tanah air. ’’Data TII menjelaskan bahwa politik hukum pemerintah semakin jauh dari agenda penguatan pemberantasan korupsi,’’ ungkap peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

ICW berharap pemerintah merespons cepat paparan tersebut. ’’Semestinya menjadi koreksi keras bagi kebijakan pemberantasan korupsi,’’ imbuhnya. Dia menyatakan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah selama ini terbukti melemahkan agenda pemberantasan korupsi. ’’Skor itu dengan sendirinya membantah seluruh klaim pemerintah yang menarasikan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi,’’ tegasnya.

Kurnia menyebutkan, salah satu pangkal masalah pemberantasan korupsi adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada 2019. Salah satunya Revisi UU KPK. Selain itu, UU Omnibus Law Cipta Kerja dinilai turut memberikan pengaruh. Sebaliknya, nasib Revisi UU Tindak Pidana Korupsi, Rancangan UU Perampasan Aset, dan Rancangan UU Pembatasan Transaksi Tunai yang dibutuhkan untuk melawan korupsi mandek. ’’Menggantung tanpa pembahasan,’’ kritiknya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan mengatakan, tiga lembaga penegak hukum, yakni KPK, Polri, dan kejaksaan, harus duduk bersama membahas strategi pemberantasan korupsi. Menurut dia, tidak boleh ada rivalitas negatif dalam penegakan hukum.

Dia menyebut, penurunan indeks persepsi korupsi sebenarnya sesuatu yang biasa. Semua negara mengalaminya. Namun, data yang disampaikan TII bisa menjadi warning bagi tiga instansi penegak hukum yang menjadi lokomotif dalam pemberantasan korupsi.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD membela diri dengan menyatakan bahwa indeks persepsi korupsi hanya sebatas persepsi, bukan fakta. ”Oleh sebab itu, bagi pemerintah, hasil sigi TII itu ya kami terima sebagai masukan yang baik,” imbuhnya.

Baca Juga :  Jokowi Divaksin Covid-19, Pemerintah Pastikan Dapat Izin BPOM Dulu

Menurut dia, persepsi berkaitan dengan skor itu muncul lantaran dua hal. Yakni, kontroversi perubahan UU KPK yang diopinikan melemahkan KPK dan pengurangan hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). Selain itu, Mahfud menyebutkan, data yang diambil TII hanya sampai Oktober tahun lalu. Padahal, pada November dan Desember, terjadi penindakan terhadap dua pejabat tinggi, yakni menteri kelautan dan perikanan serta menteri sosial.

Meski begitu, Mahfud menegaskan bahwa rekomendasi yang disampaikan TII menjadi catatannya. Pemerintah memastikan tetap dan terus memberikan perhatian lebih terhadap pemberantasan korupsi.

Di bagian lain, Komisioner KPK Nurul Ghufron menambahkan, data TII menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya urusan KPK. Melainkan menjadi tanggung jawab bersama. ”Mungkin turunnya (indeks persepsi korupsi 2020) karena momen Covid-19 itu mengakibatkan relaksasi-relaksasi,” imbuhnya.

Kelonggaran yang dimaksudkan untuk mengakselerasi penanggulangan Covid-19, kata dia, malah dimanfaatkan pihak tertentu untuk korupsi. Karena itu, upaya-upaya pencegahan yang telah dilakukan KPK harus diteruskan dengan penindakan.

Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Turun, KPK: Pemberian Amplop Dianggap Biasa

KPK juga menilai bahwa episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik, khususnya partai politik. KPK sudah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di antaranya pembenahan partai politik. Begitu pula dalam upaya pencegahan korupsi di masa pandemi. KPK mendorong penguatan peran dan fungsi lembaga-lembaga pengawas. Salah satunya, pemberdayaan aparatur pengawas intern pemerintah (APIP).

Dari Istana, Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman menyatakan bahwa presiden menentang aksi korupsi. ”Selalu menekankan kepada kementerian dan lembaga serta seluruh kebijakan pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi,” ujarnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos. Menurut dia, sikap Jokowi cukup tegas terkait korupsi.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment