Catatan Awal Tahun 2021: Dalam Bayangan ‘Kematian’ Demokrasi

Meninggalkan tahun 2020 dan memasuki tahun 2021, secara umum bangsa ini mengalami keterbelahan dalam menilai sejarah dan masa depan demokrasi di negeri ini. Sebagian berpandangan positif dan optimis, dan sebagian lagi beranggapan negatif dan pesimis. Dengan sebagian lagi—mungkin jumlahnya paling dominan—memilih bersikap skeptis. Baik yang optimis, pesimis dan skeptis tentu mempunyai cara pandang, argumentasi dan kepentingannya masing-masing.

Banyak contoh bisa dideretkan disini. Diantaranya, terkait dengan isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang diawali dengan revisi RUU tentang Perubahan Kedua UU KPK oleh DPR pada 17 September 2019. Melalui revisi tersebut, KPK dituding menjadi lembaga tidak independen, miskin kewenangan dan ompong. Tetapi tudingan tersebut ditampik dengan menunjuk keberhasilan KPK mencokok Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari P. Batubara karena terbelit kasus korupsi.

Hal serupa terjadi, dalam kasus proses pembahasan dan substansi RUU Omnibuslaw/Ciptakerja. Bagi pendukungnya, pembahasan RUU di parlemen dilakukan secara terbuka. Dari sisi subtansi, RUU Ciptakerja juga dianggap bagus karena merupakan upaya deregulasi dari sebanyak 79 UU sejenis menjadi hanya satu UU dan menciptakan iklim berusaha dan investasi yang berkualitas bagi para pelaku bisnis. Tetapi bagi kalangan pengeritiknya, UU tersebut dituding diproses secara tertutup dan merugikan pekerja karena menghapus ketentuan upah minimum di kabupaten/kota dan dan juga menurunkan pesangon.

Tak urung, proses pembahasan RUU Omnibuslaw mengundang protes dan unjuk rasa besar dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya pekerja dan mahasiswa. Dalam menghadapi berbagai unjuk rasa tersebut, penguasa mengklaim telah menerapkan pendekatan sesuai perundangan, termasuk dengan cara melakukan penangkapan. Berdasarkan data Polri, tercatat ada 5.198 orang terkait aksi ricuh demo tolak Omnibuslaw. Namun bagi sebagian kalangan, penguasa telah melakukan tindakan represif dalam menangani pengunjuk rasa.

Kontroversi dan pro kontra juga terjadi saat penguasa menangani kasus kerumunan massa saat Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Sihab menyelenggarakan maulid Nabi Muhammad dan resepsi perkawinan anakya, penembakan terhadap enam orang aktivis FPI, dan pembubaran organisasi FPI dengan salah satu alasannya  karena FPI acapkali melakukan sweeping secara sepihak dan melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundangan. Namun demikian sejumlah kalangan menilai, berbagai langkah dan tindakan penguasa tersebut melabrak nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan sipil, dan sebagainya.

Resesi Demokrasi

Di luar pro kontra penilaian mengenai postur demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, banyak kalangan menilai, demokrasi Indonesia memang tengah mengalami kemunduran.  Hal ini antara lain ditunjukkan dari hasil riset The Economist Intelligence Unit yang menunjukkan, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan tiga tahun berturut-turut. Pada tahun 2016, Indonesia masih menduduki peringkat ke-48 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat demokrasi Indonesia turun menjadi 64 pada tahun 2018, dengan skor hanya 6,39 – di peringkat terbawah kategori “demokrasi yang cacat”.

Senada dengan itu, laporan IDEA Global State of Democracy Indices (2019) juga menegaskan, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengindikasikan penurunan salah satu aspek ruang sipil, khususnya dalam demokrasi. Sementara Freedom House (2020) dalam laporan terbarunya mencatat, skor Indonesia kembali turun menjadi 61 dan menjelaskan Indonesia terus berjuang dengan tantangan termasuk korupsi sistemik, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketegangan separatis di wilayah Papua, dan penggunaan politik yang dipolitisasi, problem hukum pencemaran nama baik dan penistaan agama.

Baca Juga :  Semburan Mirip Lumpur Lapindo Hancurkan Bangunan Pesantren di Pekanbaru

Hal mirip ditunjukkan dari hasil riset bertajuk “Jokowi and The New Developmentalism” yang dilakukan The Australian National University, seperti dikutip Direktur Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto. Riset tersebut menghasilkan temuan,  kebijakan pemerintahan Jokowi yang berdampak pada iklim demokrasi. Selanjutnya riset itu menyebutkan, Presiden Jokowi mengambil kebijakan yang fokus pada sektor pembangunan infrastruktur. Namun, pemerintah mengabaikan persoalan lain di Indonesia seperti perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi.

Di mata Indonesianis Allen Hicken, seorang profesor peneliti Center for Southeast Asian Studies di Universitas Michigan, Amerika Serikat, pada acara peluncuran buku “Democracy in Indonesia: from Stagnation to Recession’ (25/9/2020), ada dua indikator utama menunjukkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Yakni adanya upaya elit politik dalam menggerus sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang membatasi suatu kekuasaan dan polarisasi yang terus menguat di masyarakat sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017.

Sementara itu Eve Warburton, peneliti Asia Research Institute di National University of Singapore (NUS), menilai keputusan pemerintah untuk melibatkan lebih banyak aparat keamanan dalam menghadapi pandemi sebagai bukti nyata adanya upaya pembungkaman hak-hak sipil. Bahkan juga melibatkan preman, dinilai Eve, sebuah hal yang mengkhawatirkan.

Bukan hanya berdasarkan riset asing, sejumlah riset lembaga domestik, juga menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Antara lain dari survei Lembaga Indikator Politik Indonesia yang dirilis Juni 2020. Hasilnya menunjukkan kepuasan masyarakat terhadap implementasi demokrasi turun menjadi hanya 45,2 persen, dibandingkan 75.6 persen pada Februari tahun ini, sebelum kasus pertama Covid-19 umumkan di dalam negeri. Hasil tersebut merupakan angka demokrasi Indonesia yang terburuk dalam 16 tahun terakhir.

Hal yang sama terindikasikan dari hasil penelitian LP3ES yang dirilis pada Minggu (16/8/2020). Menurut Direktur LP3ES, Wijayanto, dalam diskusi “Membangun Imajinasi Politik Dalam Konteks Demokrasi Daerah”, ada tiga faktor yang menjelaskan kemunduran demokrasi di Indonesia. Yakni: faktor stuktural warisan rezim otoriter orde baru, dosa dua presiden hasil pilihan langsung yang setengah hati mendukung demokrasi dan sebagianpublik secara umum yang justru mendukung nilai-nilai demokrasi illiberal.

Kematian Demokrasi?

Pada Minggu (22/11), Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menggunggah tengah membaca sambil menggunakan sarung buku bertajuk “How Democracies Die”, karangan Steven Levitsky and Daniel Ziblatt. Sebenarnya, ungguhan Anies lewat akun Twitter, @aniesbaswedan biasa-biasa karena memang sudah menjadi habitat mantan Menteri Pendidikan Nasional yang dikenal ‘kutu buku’.

Hanya saja tafsir atas ungguhan Anies tersebut menjadi sangat beragam, karena sebelumnya pada Selasa (17/11/2020), Anies diperiksa Subdit Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya untuk diminta klarifikasi pelanggaran protokol kesehatan di kerumunan massa di Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11) malam WIB. Anies diperiksa hampir 10 jam, dan dicecar 33 pertanyaan oleh penyidik.

Pemeriksaan Anies mengundang kontroversi lantaran berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang bisa memeriksa gubernur adalah Menteri Dalam Negeri. Namun, Anies tetap memenuhi surat undangan yang dikirimkan Polda Metro Jaya. Di sisi lain, dalam pandangan Peneliti LIPI Siti Zuhro, ungguhan Anies tersebut merefleksikan kegelisahan umum yang dialami para akademisi,  para intelektual dan aktivis atau para pegiat demokrasi dengan melambannya atau bahkan merosotnya kualitas demokrasi di Indonesia.

Baca Juga :  Meski Ditolak Pemprov, Reuni 212 Tetap Bakal Digelar Jika Kerumunan Pilkada Dibiarkan

Lepas dari kontroversi pemanggilan Anies oleh kepolisian, ada pelajaran penting yang patut direnungi dari buku karangan Levitsky-Ziblatt yang sudah dialih-bahasakan ke bahasa Indonesia menjadi bertajuk “Bagaimana Demokrasi Mati”. Buku tersebut antara lain membeberkan catatan sejarah soal kematian demokrasi yang tidak selalu dimulai oleh jenderal militer lewat kudeta, atau jalan demokratis.

Sebaliknya, kematian demokrasi bisa juga melalui jalur demokrasi elektoral yang demokratis namun praktik penguasa dari hasil Pemilu tersebut  jauh dari nilai-nilai dan praktik demokrasi. Buku ini menyebut, seorang diktator bisa lahir saat partai politik mulai melemah dan tergiur sosok kharismatik di luar parpol yang punya banyak pendukung.

Damar Juniarto Praktisi Demokrasi Digital Executive Director SAFEnet, dalam tulisannya berjudul “Resesi Demokrasi dan Wajah Otoritarianisme Digital di Indonesia” menyebutkan, ada beberapa bentuk kebijakan dan tindakan yang mengatasnamakan demokrasi padahal sejatinya justeru anti demokrasi. Yakni: pertama,  menindas partai oposisi melalui hegemoni atau pemaksaan (Mietzner, 2016; Power, 2018; Mietzner, 2019; Aminudin, 2020).

Kedua, menggunakan kriminalisasi untuk menekan kelompok populis Islam (Mietzner, 2018; Power, 2018; Aspinal dan Mietzner, 2019a; Warburton & Aspinall, 2019; David MacRae dkk, 2019; Aspinal, Fossati et al; 2020). Ketiga, berfokus pada pembangunan infrastruktur dan mengabaikan hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan yang timbul sebagai akibat pembangunan (Warburton, 2016). Keempat, memberikan ruang kepada ideologi atau kelompok anti-demokrasi (Bourchier, 2019; Aspinal & Warburton, 2018; Hadiz, 2017; Mietzner, 2019). Kelima, membajak institusi negara untuk tujuan kekuasaan (Power, 2018; Mietzner, 2019).

Apa yang Bisa Dilakukan?

Seperti suatu roda kehidupan, tafsir atas realitas sosial, politik, demokrasi, ekonomi, bisa juga dianggap sebagai suatu perjudian dan pertaruhan. Bisa benar, bisa salah, atau bisa diantara keduanya. Apa yang dianggap kita sebagai suatu obyektivitas, bisa jadi dianggap oleh pihak lain sebagai suatu subyektivitas, atau sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kaitan tafsir atas realitas dalam beragam bentuknya ini tidak bisa mutlak-mutlakan, sebagaimana hegemoni politik atau bahasa yang dipraktikkan regim Orde Baru.

Hal yang sulit dibantah atau diabaikan dari klaim-klaim tersebut akan dihadapkan pada aspek empirik, fakta atau realitas yang dialami oleh sebagian masyarakat. Hipotesisnya: Apakah ekonomi saat ini tengah terpuruk, hutang luar negeri makin menumpuk, kesenjangan sosial makin menganga, apakah vakisinasi mampu meminimalisir pandemi Covid-19, pengangguran makin membludak, kriminalitas makin merajalela, dan lain sebagainya?

Jika realitas tersebut tidak terjadi, maka apa yang diisyaratkan oleh para pengamat atau kritisi asing sebagai tengah terjadi resesi demokrasi dan aspek kehidupan lainnya hanyalah sinyalemen yang tidak terbukti. Sebaliknya, berbagai krisis demokrasi dan berbagai aspek yang mengitarinya makin parah dan terbukti nyata, maka apa yang diungkapkan Levitsky-Ziblatt melalui bukunya “Demokracy Die” atau berbagai hasil penelitian dari lembaga riset asing atau domestik, merupakan suatu kenyataan yang tidak boleh dipungkiri.

Dalam kontek ini, kita semua seyoginya bukan hanya memposisikan diri sebagai bagian dari penonton dan apalagi menjadi bagian dari masalah (a part of problem). Melainkan yang terpenting harus mengambil posisi sebagai bagian aktor yang berperan  penting dalam menyelesaikan masalah (a part of problem solving) bangsa ini khususnya problem demokrasi, baik secara individu maupun kolektif sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.[]

* Achmad Fachrudin
(Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dawkah PTIQ
dan Peneliti Literasi Demokrasi Indonesia)

Comment