Surat Edaran Nomor 3/2020 Tentang Liburan Nataru Digugat ke MA

KalbarOnline.com – Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Orang Selama Libur Hari Raya Natal dan Menyambut Tahun Baru 2021 dalam Masa Pandemi Covid-19 digugat melalui judicial review atau uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Aturan itu memuat setiap orang yang memasuki Bali melalui transportasi udara harus menunjukan hasil tes RT-PCR paling lama 7×24 jam sebelum keberangkatan.

Sementara itu, yang melalui darat diwajibkan menunjukkan surat keterangan hasil negatif menggunakan rapid tes antigen paling lama 3×24 jam sebelum keberangkatan.

“Surat Edaran Nomor 3 tahun 2020 a quo ini aneh, karena pengetatan penumpang hanya ditujukan kepada orang yang ke luar masuk pulau Bali. Pertanyaannya, bagaimana dengan orang yang liburan ke Jogja, ke Labuhan Bajo, ke Danau Toba Sumatera, liburan ke Kalimantan dan lainnya. kenapa pemerintah tidak mengkhawatirkan daerah destinasi wisata selain Bali?” kata pemohon judicial review Muhammad Soleh, Selasa (22/12).

Advokat asal Jawa Timur ini menyatakan, aturan tersebut dinilai merugikan warga Bali. Karena prekonomian Bali tergantung dengan kehadiran wisatawan domestik dan internasional.

“Warga Bali sudah sangat terdampak adanya pandemi yang berkepanjangan, tentu mereka berharap dengan momentum libur Natal dan tahun Baru menjadi momentum kebangkitan dunia pariwisata di Bali. Namun dengan dikeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 dari pemerintah, impian warga Bali menjadi sia-sia,” ujar Soleh.

Baca Juga :  Deklarasi Provokatif Benny Wenda, DPR: Papua Adalah Bagian Indonesia

Soleh menyampaikan, SE 3/2020 hanya berlaku pada 19 Desember 2020 sampai 8 Januari 2021. Menurutnya, pada waktu tersebut orang keluar masuk Bali tidak hanya ingin melakukan liburan, tapi juga bisa saja mempunyai tujuan bisnis.

“Akhirnya orang keluar masuk pulau Bali dan pulau Jawa yang tujuannya bukan liburan dirugikan oleh peraturan a quo,” beber Soleh.

Soleh tak memungkiri, banyak pihak yang membatalkan liburan ke Bali karena adanya pengetatan yang dilakukan pemerintah. Seharunya, jika ingin melakukan pengetatan ke luar masuk Bali dilakukan tiga bulan lalu, bukan satu minggu mendekati libur Natal dan Tahun Baru.

“Banyak orang sudah booking tiket pesawat, banyak orang sudah booking liburan ke Bali naik darat, akhirnya membatalkan karena harus mengeluarkan biaya tinggi untuk tes RT-PCR maupun antigen. Misalnya pesawat Surabaya ke Bali hanya Rp 300.000, sementara biaya tes PCR sekitar Rp 900.000,” cetus Soleh.

“Naik perjalnan darat yang sebelumnya hanya diwajibkan rapid tes sekitar Rp 85.000, harus mengeluarkan biaya tambahan untuk rapid tes antigen sekitar Rp 250.000, jika satu orang mungkin tidak terlalu bermasalah, tapi bagi rombongan dengan keluarga misal lima orang, tentu cost yang dikeluarkan sangat tinggi,” sambungnya.

Baca Juga :  KKN Kebangsaan 2023, Sekda Kalbar Janjikan Pengalaman Berharga Bagi Mahasiswa

Soleh menyayangkan, perataruan tersebut tidak diwajibkan untuk pihak yang melakukan perjalanan menggunakan kendaraan pribadi dan umum seperti bus. Mereka hanya diimbau menggunakan rapid tes antigen.

“Bukan diwajibkan? Yang menjadi pertanyaan, apakah naik bus umum tidak berbahaya, apakah interaksi banyak orang diterminal tidak berbahaya? Kenapa yang dianggap berbahaya hanya Bandara udara dan stasiun kereta api? Kebijakan ini sunggu aneh dan tidak bisa dinalar secara logis,” ungkap Soleh.

Oleh karena itu, Soleh memandang kebijakan kewajiban tes RT-PCR atau rapid tes antigen untuk keluar masuk Pulau Bali dan rapid tes antigen untuk keluar masuk Pulau Jawa bertentangan dengan asas pengayoman Pasal 6 huruf a dan asas kenusantaraan Pasal 6 e Undang-undang No 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah oleh UU No 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Karenanya Mahkamah Agung harus membatalkan Surat edaran satuan tugas penanganan Covid-19 Nomor 3 Tahun 2020,” pungkasnya.

Comment