Pengamat: Biar Kemarahan Presiden Ada Ujungnya, ya Reshuffle!!!

KalbarOnline.com – Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayito menyebutkan, ada empat pos yang kemungkinan akan terkena reshuffle Presiden Jokowi jika dilakukan. Keempat pos tersebut adalah yang berkaitan dengan kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan.

“Kalau melihat kecenderungan publik ya, yang ramai mesti diganti itu kan tentu kesehatan, terus ada bagian dari tim ekonomi, terus pendidikan,” ujarnya.

Mengapa pendidikan juga dimungkinkan terkena reshuffle? Menurutnya, karena banyak pihak yang mengeluhkan soal sistem pendidikan, terutama terkait dengan kurikulumnya yang tidak terintegrasi hingga soal kuota internet yang tidak merata.

“Banyak juga yang disorot masalah ketenagakerjaan. Banyak orang yang nganggur, PHK, kemiskinan bertambah, susah cari kerja, ini tanggung jawab kementerian terkait. Belum terlihat sebenarnya apa upaya-upaya untuk menanggulangi wabah yang berimplikasi pada PHK dan lain-lain itu,” lanjutnya.

Pos-pos tersebut, menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, merupakan pos yang bertanggung jawab atas kondisi-kondisi yang dampaknya dirasakan secara langsung oleh masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini.

Sebenarnya, hal itu bukan berarti pos kementerian yang lain tidak memiliki catatan buruk. Hanya saja, keempat pos yang disebutkan sebelumnya sangat berkaitan erat dengan permasalahan yang saat ini dirasakan masyarakat.

“Ekonomi, recovery-nya belum. Kesehatan, ini malah wabah semakin banyak di mana-mana. Pendidikan juga begitu, pendidikan malah sudah lama diusulkan, karena tidak ada kurikulum yang terintegrasi, baik itu di kuliah atau di sekolah-sekolah yang membuat masyarakat bingung, kuliah daring itu kan enggak gampang. Jangan bayangkan Indonesia itu seperti Jakarta semua,” jelasnya.

Baca Juga :  Kim Jong-un Diisukan Koma, Kim Yo-jong Ambil Alih Kekuasaan Korea Utara

Namun, itu adalah logika publik. Sementara itu, logika politiklah yang sering kali digunakan dalam suatu reshuffle yang merupakan hak prerogatif Presiden. “Banyak logika dalam reshuffle itu yang sering kali sukar dinalar oleh logika publik. Banyak kejutan-kejutan yang kadang membuat masyarakat enggak ngerti basis dari reshuffle itu,” kata dia.

Bisa jadi, menteri yang akan di-reshuffle justru mereka yang menduduki pos-pos yang tidak banyak disorot publik. “Misalnya sehari dua hari ini kita mendengar yang bakal kena reshuffle itu (menteri) agama ataupun Kementerian Perdagangan,” sebut Adi.

Kedua kementerian ini mungkin memang bermasalah, tetapi dampaknya tidak terlalu dirasakan atau bukan menjadi perhatian utama publik. “Bahwa perdagangan kita babak belur, iya. Bahwa keagamaan kita masih banyak narasi isu-isu negatif, iya. Tapi, kan orang-orang saat ini yang dirasa ya ekonomi, kesehatan, pendidikan,” tegasnya.

Adi menilai, jika Presiden ingin melakukan perombakan kabinet pada waktu-waktu sekarang merupakan hal yang tepat, meskipun Indonesia masih ada dalam kondisi pandemi.

“Saya kira saat inilah momentum yang pas bagi Presiden untuk reshuffle, kebetulan ada dua menteri yang kosong. Banyak yang berharap pergantian dua menteri ini jadi ajang, jadi momen Presiden untuk merombak sejumlah kabinetnya yang enggak bisa bekerja secara extraordinary, tidak bisa bekerja maksimal,” ungkap Adi.

Adi menyebutkan, selama 14 bulan masa kerja kabinet ini, Presiden sudah beberapa kali marah-marah dan menyampaikan keluh kesahnya. Reshuffle pun dinilai tepat untuk dilakukan dan menjadi ujung dari ketidakpuasan Presiden tersebut.

Baca Juga :  Pemkab Melawi Terus Lakukan Pematangan Jelang Jelang MTQ Tingkat Kabupaten

“Ini (menteri-menteri) enggak bisa bekerja maksimal, padahal anggaran berlimpah, kemudian regulasinya dipermudah, biar kemarahan Presiden itu ada ujungnya, ya reshuffle,” kata dia.

Menurutnya, saat ini tidak ada lagi yang perlu ditunggu untuk melakukan sebuah perubahan. Masa kerja yang sudah berjalan dinilai cukup bagi Presiden untuk memberikan penilaian atau rewards and punishment.

Di akhir perbincangan, Adi memberikan sedikit catatan jika memang Presiden akan melakukan reshuffle, ia menyebut untuk tidak mengurangi jatah kader partai politik.

“Dalam politik koalisional seperti di Indonesia, dukungan politik itu penting. Makanya, kalaupun toh ada reshuffle pada kader partai-partai tertentu, itu pun harus diambil kembali oleh partai bersangkutan menyodorkan kader terbarunya,” kata Adi.

Hal itu harus dilakukan agar tidak terjadi potensi gejolak politik yang bisa berimbas pada berkurangnya dukungan politik terhadap jalannya pemerintahan.

“Ya minimal ini kan untuk merawat dukungan politik, terhadap pemerintah, terhadap Presiden, karena dukungan politik di tengah pandemi semacam ini saya kira sangat dibutuhkan, terutama dari partai,” ucap dia.

Terkait dengan menteri yang berasal dari partai politik ataupun tenaga profesional, Adi menganggap hal itu sudah bukan lagi menjadi soal. “Sekarang sudah enggak relevan berbicara soal profesional dan partai politik karena menteri-menteri profesional dan partai sama saja, enggak ada yang kelihatan menonjol banget. Sekarang carilah menteri yang bisa bekerja maksimal di tengah keterbatasan pandemi begini,” pungkasnya. [ind]

Sumber: kompas.com

Comment