Musim Gugur 2020

TAHUN 2020 akan dikenang sebagai tahun yang hanya menghadirkan satu masa: musim gugur. Negara yang memiliki empat atau dua musim mengalami takdir yang sama, seluruhnya runtuh diterjang pandemi Covid-19. Negara maju pun bernasib sama (bahkan sebagian lebih parah): jumlah korban banyak dan ekonominya terjun ke jurang. Indonesia bukan perkecualian.

Ekonomi mengalami pengerutan sejak awal Maret 2020 dan tidak berhenti hingga ujung 2020.

Pada Maret 2020, angka kemiskinan melonjak menjadi 9,6 persen (enam bulan sebelumnya 9,1 persen) dan pengangguran meloncat menjadi 7,07 persen (Agustus 2020). Kemiskinan pada September 2020 dipastikan akan menerobos di atas dua digit (10 persen). Seluruh perkara ini disebabkan sebagian pabrik tutup, usaha berhenti, pariwisata lumpuh, logistik tersendat, kantor sepi, dan perdagangan lesu. Ekonomi lunglai.

Titik Beku

Tiap negara memiliki kebijakan yang berbeda dalam memitigasi pandemi. Pada titik ekstrem, negara melakukan pengetatan total (lockdown) seperti yang dilakukan Tiongkok (Wuhan) dan Italia pada masa awal pandemi. Pada ujung yang lain, negara lain cukup longgar mengerjakan pengetatan. Misalnya, Amerika Serikat dan Swedia. Tiongkok dianggap sebagai negara yang paling mula memulihkan ekonomi, yang hanya tumbuh negatif pada triwulan I lantas kembali positif pada triwulan II.

Pola pemulihan ekonomi Tiongkok disebut ”model V”. Indonesia mendesain pengetatan moderat (PSBB) dan hanya pada wilayah tertentu, terutama yang menjadi episentrum pandemi (kota-kota besar di Pulau Jawa) pada tempo awal pandemi. Ekonomi terpuruk pada triwulan kedua (minus 5,3 persen) lalu membaik pada triwulan berikutnya, meski masih minus 3,4 persen.

Situasi Indonesia memang tidak sebaik Tiongkok, tetapi lebih bagus ketimbang banyak negara lain, termasuk di kawasan ASEAN. Beberapa argumen bisa diajukan untuk menjelaskan kondisi Indonesia. Pertama, interaksi dengan pasar internasional tidak sedalam negara lain, katakanlah seperti Tiongkok, Singapura, dan AS. Implikasinya, tekanan partumbuhan dari sumber luar negeri tidak terlalu besar. Kedua, paket fiskal pemerintah bekerja lumayan efektif menjaga daya beli sehingga konsumsi tidak tumbuh negatif terlalu dalam. Sektor konsumsi menyumbang sekitar 55 persen terhadap total PDB dari sisi pengeluaran. Ketiga, sektor tradisional penyangga ekonomi, yakni pertanian, masih tumbuh positif (meski tipis). Sektor ini merupakan kunci karena menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja dan pasokan pangan.

Baca Juga :  Legislator PPP Minta Pemerintah Tunda Pilkada Sampai Ditemukan Vaksin

Sungguh begitu, di balik catatan yang menumbuhkan harapan, terdapat kecemasan yang patut diperhatikan. Diperkirakan angka pengangguran akan terus merangkak. Pengangguran di perkotaan pada Agustus 2020 naik 2,7 persen dan di pedesaan 0,8 persen (YoY). Jadi, tekanan ekonomi lebih banyak terjadi di kota karena pandemi sebagian besar menyergap warga perkotaan.

Salah satu akibat dari pandemi ialah peningkatan pekerja di sektor informal. Pada Agustus 2019, jumlah pekerja informal 55,88 persen dan pekerja formal 44,12 persen. Sementara itu, pada Agustus 2020, pekerja informal meningkat menjadi 60,47 persen dan pekerja formal tinggal 39,53 persen. Pandemi memproduksi ”informalisasi ekonomi”. Persoalan ini amat serius. Sebab, kesejahteraan pekerja anjlok dan berpotensi melipatgandakan jumlah penduduk miskin. Titik beku ekonomi menyergap.

Musim Semi

Sejak triwulan III (Juli 2020), sebetulnya pergerakan ekonomi sudah tampak, yang sebagian ditunjukkan oleh data pertumbuhan ekonomi yang membaik (meski masih negatif). Pada sektor ritel, kunjungan ke shopping mall mulai bergeliat sejak Agustus 2020. Di kota-kota besar, kunjungan tersebut sudah di atas 50 persen (dibandingkan masa sebelum Covid-19).

Baca Juga :  Komisi IX DPR: Kasus KDRT dan Pernikahan Dini di Jember Masih Tinggi

Berikutnya, studi yang dilakukan Lembaga Demografi dan LPEM FEB UI (2020) yang menyasar UMKM penerima program PEN (pemulihan ekonomi nasional), yakni para nasabah di Bank Himbara, Pegadaian, dan PNM (jumlah responden 3.000 di 20 provinsi), menampilkan hasil sebagian besar bantuan tersebut dipakai membeli bahan baku dan barang modal (67 persen). Mayoritas responden yakin bahwa pemulihan omzet akan berlangsung di bawah waktu 6 bulan (52 persen) dan hanya 20 persen yang merasa pemulihan omzet akan terjadi di atas 12 bulan. Deskripsi ini menjelaskan sebagian besar bantuan PEN telah dipakai untuk kepentingan produktif sebagai simbol optimisme atas proyeksi ekonomi yang segera membaik (awal 2021). Rangkaian data ini seakan mengabarkan mekarnya kelopak bunga tanda musim semi segera tiba.

Namun, mencermati jumlah warga terpapar yang melonjak kembali akhir-akhir ini, laik diprioritaskan penanganan kesehatan. Keyakinan pemulihan ekonomi akan luluh lantak bila pandemi tak lekas diatasi. Sambil menunggu penyuntikan vaksin, eksekusi penerapan protokol kesehatan yang ketat merupakan pilihan yang paling efektif. Tidak boleh ada kompromi atas penerapan aturan (misalnya kerumuman). Selebihnya, pemerintah haram menghamburkan fiskal bagi program yang punya potensi kebocoran tinggi. Kasus korupsi bantuan sosial jadi pelajaran berharga untuk mendesain program yang lebih solid. Pada masa pandemi, tidak banyak opsi kebijakan yang tersedia, tetapi optimisme layak dijaga demi menyangga hidup bersama. (*)

*) AHMAD ERANI Y, Guru Besar FEB UB dan Ekonom Senior Indef

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment