Muktamar PPP IX, Momentum Kebangkitan atau Kebangkrutan?

Seperti sudah diduga oleh banyak kalangan sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt)  Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa (Sumo) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP periode 2021-2026 pada Muktamar IX di Makasar, Sulawesi Selatan, Sabtu (19/12/2020). Terpilihnya Sumo, bukan berarti segalanya telah selesai. Evaluasi internal organisasi dan kinerja PPP di Pemilu, proses serta agenda paska muktamar PPP akan sangat menentukan nasib partai ini di masa depan.

Mengacu kepada hasil Pemilu Legslatif (Pileg) di era reformasi, partai besutan fusi 4 partai Islam yakni: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di tahun 1975 mengalami trend penurunan suara dan kursi dari Pileg ke Pileg.  Pada Pileg 1999 yang menggunakan sistem multi partai partai, PPP menempati peringkat ketiga dengan 58 kursi. Sementara urutan pertama ditempati  PDI Perjuangan dengan 153 kursi, dan Partai Golkar di urutan ketiga dengan 120 kursi.

Selanjutnya pada Pileg 2004, terjadi perubahan konfigurasi kekuatan politik cukup signifikan yang ditandai kebangkitan Partai Golkar. Partai politik besutan regim Orde Baru tersebut  berhasil menduduki peringkat pertama dengan 128 kursi sehingga mampu menyalip PDI Perjuangan yang hanya meraih 109 kursi. Sementara PPP dengan susah payah masih mampu bertahan di urutan ketiga dengan perolehan 58 kursi.

Keterpurukan tidak mampu lagi direm oleh partai berlambang Ka’bah di  Pileg 2009. Peringkat PPP terjun bebas ke urutan keenam dengan hanya beroleh 37 kursi karena disalip oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 57 kursi, dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 43 kursi. Sementara peringkat pertama secara mengejutkan diduduki Partai Demokrat dengan 150 kursi. Lalu disusul oleh Partai Golkar (107 kursi) dan PDI Perjuangan (95 kursi).

Pada Pileg 2014 yang diikuti 15 partai, kursi PPP bertambah 2 kursi sehingga menjadi 39 kursi namun dari sisi peringkatnya terseok menjadi urutan ketujuh. Sedangkan PDI Perjuangan kembali memuncaki peringkat dengan beroleh 109 kursi. Disusul Partai Golkar: 91 kursi,   Partai Gerindra Raya (Gerindra) dengan 73 kursi, Partai Demokrat: 61 kursi, PAN dengan 49 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 47 kursi, dan PKS: 40 kursi.

Pileg 2019 menjadi Pemilu paling kelabu dalam sejarah kepolitikan PPP. Sebab, pada Pileg tersebut, kursi PPP mengalami degradasi sangat tajam. PPP kalah telak. Dari 16 parpol yang mengikuti kontestasi elektoral, PPP hanya beroleh 19 kursi (peringkat 9). Peringkat pertama diduduki PDI-P erjuangan: 128 kursi. Disusul kemudian berturut-turut  Partai Golkar: 85 kursi, Gerindra: 78 kursi, Nasdem: 59 kursi, PKB: 58 kursi, Partai Demokrat: 54 kursi, PKS: 50 kursi dan PAN: 44 kursi.

Kenapa Terpuruk?

Banyak analisis menyeruak sejauh menyangkut penyebab keterpurukan PPP di Pileg 2019. Diantaranya  adalah akibat krisis kepemimpinan dan konflik berkepanjangan dalam tubuh partai yang mengklaim sebagai rumah besar atau utama umat Islam.  Dalam kontek ini, Sumo dalam kedudukan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai dan kemudian dikukuhkan menjadi Plt PPP pada Sabtu (16/3/2019), bagian tidak terpisahkan dan dianggap ikut bertanggungjawab terhadap hasil buruk di Pileg 2019.

Sumo memang tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kesalahan dengan kegagalan PPP di Pileg 2019 karena hanya baru seumur jagung atau sekitar satu bulan memimpin PPP. Kemudian dihadapkan tantangan berat Pemilu Serentak pada Rabu, 17 April 2019. Namun karena saat Pemilu Serentak 2019 Sumo menjadi Plt Ketua Umum PPP, keterpurukan PPP di Pemilu yang menggabungkan antara Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tidak terlepas dari kepemimpinannya.

Faktor lainnya yang membuat PPP terpuruk di Pileg 2019 karena imbas kasus korupsi yang secara beruntun melibatkan Ketua Umum PPP  Suryadharma Ali yang divonis bersalah oleh pengadilan karena pelaksanaan ibadah haji periode 2010-2013. Kemudian juga disusul dan  dialami Ketua Umum PPP Romahrmuzy yang divonis bersalah oleh pengadilan karena kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag).

Baca Juga :  Kapal Wisata Angkut 40 Orang Terbalik di Danau Koto Kampar, 1 Orang Tewas

Dukungan PPP DKI terhadap calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang kala itu tersangkut kasus penistaan/penodaan agama  pada Pilkada DKI 2017 Putaran Kedua yang dipastikan keputusan politik tersebut tidak terlepas dari ‘arahan’ atau instruksi dari DPP PPP, berimbas negatif pada perolehan suara PPP di Pileg 2019, baik secara nasional maupun lokal. Bahkan kursi PPP di DPRD DKI kini hanya satu. Suatu hasil paling buruk sepanjang keikutsertaan PPP di Pileg di era Orde Baru maupun era reformasi.

Selain itu, dukungan PPP terhadap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan KH. Ma’ruf Amien di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres 2019) tidak menimbulkan coattail effect positif terhadap suara dan kursi PPP di Pileg 2019. Meskipun demikian, dukungan politik PPP di Pilpres 2019  tersebut bukan pepesan kosong.  Karena akhirnya PPP mendapat dua kursi empuk di kabinet Presiden Jokowi Jilid Dua. Yakni: menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (Sumo) dan Zainut Tauhid sebagai Wakil Menteri Agama.

Skenario Muktamar

Seyogianya pencapaian PPP pada Pemilu Serentak 2019, khususnya Pileg, menjadi agenda evaluasi komprehensif muktamirin di forum muktamar PPP. Dari hasil evaluasi tersebut, dijadikan bahan kajian, pertimbangan  dan pengambilan keputusan kolektif yang cerdas dan mandiri untuk menentukan garis (khittah), arah dan kebijakan partai ke depan, termasuk menyiapkan sosok Ketua Umum PPP yang mampu menjawab tantangan ke depan.

Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi. Bahkan muncul kesan, proses mukmatar sudah didesain sedemikian rupa untuk mengesahkan agenda muktamar yang sudah dipersiapkan oleh steering comittee tanpa pertukaran pemikiraan  secara kritis dan terbuka. Pun demikian, pemilihan Ketua Umum PPP sudah diskenariokan secara aklamasi. Pimpinan tinggal mengetuk palu, dan muktamirin bertugas mengamini saja.

Untuk efisiensi dan efektivitas, cara-cara semacam ini (di masa orde baru dikenal dengan istlah rekayasa politik) bisa dan mudah  dipahami. Namun untuk kebutuhan menjaring suatu pemikiran yang kritis, dan berkualitas, serta untuk memperoleh Ketua Umum yang memiliki comparative advantage dan mampu membangkitkan PPP di masa depan, menjadi sangat problematis.

Sebab, persyaratan utama bagi terwujudnya suatu sistem pemilihan demokratis adalah terdapatnya kompetisi yang fair, terbuka dan bebas bagi siapapun calon yang memenuhi syarat. Manakala sejak awal proses pemilihan sudah didesain secara aklamasi dan menutup pintu persaiangan yang kompetitif, maka bukan hanya patut dipersoalkan mengenai demokratisasi  internal dalam tubuh PPP sekarang ini. Yang paling dikuatirkan adalah berdampak kepada keterpurukan PPP yang lebih parah.

Padahal sebelumnya banyak kader internal ataupun tokoh dari luar partai, bermunculan. Sebut misalnya Margiono, anggota Wantimpres dan mantan Ketua DPW PPP Banten,  Taj Yasin Maimoen, Wakil Gubernur Jawa Tengah, Ketua DPC PPP Jepara, dan putra KH. Ketua Majelis Syuro PPP Maimun Zubeir. Dari luar sempat beredar nama Sandiaga Salahuddin Uno, pengusaha sukses dan kandidat wakil presiden di Pilpres 2019.

Benar situasi dan kondisi objektif saat ini tengah dilanda pandemi virus corona (Covid-19). Kondisi ini memaksa setiap aktivitas apapun harus mematuhi protokol kesehatan (Covid-19), termasuk perhelatan muktamar PPP. Meski demikian, jangan sampai pandemi Covid-19 tersebut dijadikan alasan sistematis untuk mengaburkan esensi tujuan dari mutamar itu sendiri sebagai instrumen bagi muktamirin guna memilih Ketua Umum PPP secara demokratis, transparan dan terbuka.

Terdapat sejumlah kemungkinan yang menyebabkan muktamar PPP terkesan kurang demokratis. Pertama, muktamar didesain kelompok elit pragmatis yang ingin melanggengkan status quo dalam tubuh PPP. Kedua, tekanan atau restu pihak penguasa agar Sumo dipilih kembali menjadi ketua umum PPP karena dianggap sudah jelas dan teruji afiliasi politiknya. Ketiga, lemahnya kekuatan kelompok internal dan kritis dalam tubuh PPP yang ingin melakukan reformasi politik dalam tubuh PPP.

Catatan Evaluatif

Ibarat “nasi sudah menjadi bubur”. Mustahil bubur kembali menjadi nasi. Muktamar PPP sudah digelar dan secara prosedural dianggap telah berlangsung demokratis dengan menghasilkan Suharso Monoarfa sebagai ketua Umum PPP. Seperti sudah didesain dan disetting, sebagian besar media khususnya media on line menurunkan narasi yang mirip saat penetapan ketua umum dengan cara aklamasi. Sehingga publik tidak mendapat informasi memadai mengenai proses pemilihan ketua umum dan terutama  apa saja yang menjadi agenda pembahasan di forum muktamar.

Baca Juga :  Pemerintah Diminta Jujur Soal Resesi Ekonomi

Desain muktamar yang lebih mencerminkan demokrasi prosedural dan tidak atau kurang mencerminkan demokrasi substansial  tentu menyulitkan meramal  mengenai masa depan PPP. Pada jangka pendek, masa depan partai sangat tergantung dari komposisi dan konfigurasi kepemimpinan yang bakal terbentuk. Serta respon publik khususnya pengurus dan konstituen PPP di tingkat wilayah: apakah menimbulkan sentimen postif, negatif, atau biasa-biasa.

Seperti kebanyakan style dan strategi partai politik (parpol) dan elit politik di Indonesia yang  baru akan memanaskan mesin di pertengahan menjelang Pemilu Serentak 2024. Sebab saat ini boleh dikatakan masih dalam tahap menikmati hasil keringatnya di Pemilu Serentak 2019.  Hal yang sama juga dilakukan oleh PPP. Tetapi jika mesin partai terlambat panas, PPP berpotensi ketinggalan kereta dibadingkan parpol lainnya.

Jika mengacu kepada hasil Pilkada 2020, sulit dijadikan parameter tunggal. Sebab begitu kompleks spektrum masalahnya. Terlepas dari itu, klaim-klaim masing-masing parpol telah memenangkan Pilkada 2020, patut dijadikan bahan pertimbangan.  Partai Golkar misalnya, mengklaim memenangkan Pilkada di 165 daerah dari 270 daerah yang melaksanakan Pilkada.

Sementara Partai Demokrat mengklaim memenangkan kontestasi 147 daerah, Partai Nasdem di 132 daerah, PPP di 123 daerah, dan PKS 122 daerah. Pun demikian, PDI Perjuangan memenangkan sejumlah Pilkada yang digelar di provisi gemuk, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Klaim yang sama dan meskipun tidak terlalu muncul di permukaan berasal dari PKB, termasuk parpol non parlemen.

Berbeda dengan PPP, parpol lainnya baik yang berhaluan nasionalis sekuler maupun relijius seperti PAN dan terutama PKB dan PKS, dikenal memiliki manuver dan trik politik brilian. Di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar, diperkirakan partai kaum sarungan ini akan banyak melakukan akrobatik mulai tiga atau dua tahun sebelum Pemilu 2024. Sekarang ini, PKB cenderung tiarap dan tengah menikmati hasil keringatnya di Pileg 2019, terutama di Pilpres.

Sedangkan PKS dalam kedudukannya sebagai partai oposisi, lebih mudah untuk melakukan aksi politik, termasuk dengan cara mengeritisi segala kebijakan penguasa yang dianggap tidak ramah dengan kepentingan publik. Sementara Partai Solidaritas Indonesia (PSI), meskipun di Pileg 2019 tidak lolos parliamentary treshold, dianggap potensial mampu menyalip perolehan suara parpol yang kini memiliki kursi di parlemen, termasuk PPP.

Transformasi Kepemimpinan

Pertanyaan menggeliiknya, apakah Ketua Umum PPP hasil muktamar IX, akan melakukan transformasi kepemimpinan menjadi suatu kepemimpinan efektif dan artikulatif. Serta mampu memposisikan partai secara tepat dalam menghadapi penguasa  namun saat bersamaan mendapat dukungan dan simpati dari konstituen tradisional maupun non tradisional yang bermuara kepada terjadinya peningkatan popularitas dan elektabilitas partai?  Tentu masih menjadi teka teki.

Yang jelas, DPP PPP 2020-2025 akan mengalami pertaruhan krusial di masa depan, terutama  di tengah masih membengkaknya problem internal partai yang harus dibenahi. Pada sisi lain sebagai bagian integral bangsa Indonesia, dihadapkan pada setumpuk problema. Mulai  pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berkesudahan,  terjadinya resesi ekonomi yang dibarengi dengan resesi demokrasi, penegakan hukum dan hak asasi manusia yang makin berjalan tertatih-tatih, masih menggejalanya praktik korupsi yang dilakukan elit politik, munculnya fenomena menguatnya otoritarianisme baru, dan semuanya.

Kondisi dan situasi ini bisa menjadi momentum kebangkitan bagi PPP, atau justeru kebangkrutan yang lebih parah. Ini semua tergantung pada  kemampuan Sumo sebagai ketua umum PPP dan dukungan jajaran kepengurusan PPP di tingkat pusat dan daerah dalam mensikapi dan memainkannya secara cerdas, piawai dan profesional. Serta juga ditentukan pada integritas kepemimpinan PPP sekarang. Apakah  sekadar mengejar target jangka pendek (kekuasaan sesaat) atau kepentingan partai ke depan yang lebih luas dan panjang?

Comment