Mengulik Fenomena BONO dan Mitos Ombak Tujuh Hantu di Sungai Kampar Riau

KalbarOnline.com – Fenomena ombak bergulung-gulung lazimnya bisa kita lihat di perairan sekitar pantai atau beberapa ratus meter menuju bibir pantai. Tetapi tidak demikian halnya di Sungai Kampar, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Di sungai itu, kita bisa menjumpai bono, suatu fenomena alam berupa ombak besar bergulung-gulung di sungai. Ini terjadi karena adanya pertemuan arus sungai menuju laut dan arus laut yang masuk ke sungai akibat air pasang (tidal bore).

Ombak bono di Sungai Kampar dikatakan besar karena bisa mencapai ketinggian 4-5 meter dan bergerak dari muara di Desa Pulau Muda menuju Desa Teluk Meranti dan Tanjung Mentangor. Jarak yang ditempuh bono ini adalah sejauh 50-60 kilometer (km) menyisir sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam.

Semakin menjauh dari muara, maka tinggi ombak akan semakin mengecil tak lebih dari 70 sentimeter hingga 1 meter. Uniknya, ombak besar ini mengalir berlawanan dengan arus sungai. Tak seperti ombak besar di laut, ombak bono bisa mencapai panjang 200 meter hingga 2 kilometer mengikuti lebar sungai. Sungai Kampar memiliki panjang sekitar 413 km dengan hulu di Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatra Barat) dan bermuara di Selat Malaka.

Menurut kisah Sentadu Gunung Laut yang merupakan cerita masyarakat Melayu lama, ombak bono terjadi karena perwujudan tujuh hantu yang sering menghancurkan sampan maupun kapal yang melintasi Sungai Kampar. Tujuh hantu itu diwujudkan dalam bentuk tujuh jenis gulungan ombak mulai dari gulungan ombak terbesar di bagian depan diikuti enam gulungan ombak di belakangnya dengan tinggi ombak lebih kecil.

Ombak besar ini sangat ditakuti masyarakat sehingga untuk melewatinya harus diadakan semah, semacam upacara di waktu pagi atau siang hari dipimpin tetua adat setempat dengan maksud agar selamat saat berhadapan dengan ombak bono. Masih dari kisah yang sama, ombak bono juga dijadikan ajang uji nyali bagi setiap pendekar Melayu pesisir untuk meningkatkan keahlian bertarung mereka. Bono sendiri dalam bahasa masyarakat setempat berarti berani.

Pertemuan Tiga Arus

Menurut Guntur Adhi Rahmawan, peneliti lingkungan pesisir dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), adanya pertemuan tiga arus di mulut muara, yaitu dari Sungai Kampar, Selat Malaka, dan Laut China Selatan, telah menciptakan tidal bore bernama bono.

Baca Juga :  Meski Ditolak Pemprov, Reuni 212 Tetap Bakal Digelar Jika Kerumunan Pilkada Dibiarkan

Gelombang dari Selat Malaka dan Laut China Selatan akan menerobos ke muara sungai. Saat melewati celah yang makin menyempit dan dangkal dari DAS Kampar, arus akan semakin cepat dan terjadi benturan besar karena bertemu aliran sungai sehingga terjadi turbulensi dan menghasilkan ombak besar setinggi 4-5 meter mirip gelombang tsunami disertai dentuman keras. Bono akan terus menerjang sepanjang DAS selama sekitar dua jam dan makin melemah ketika jalur sungainya membelok.

Gelombang bono memiliki kecenderungan destruktif karena menyebabkan erosi di wilayah sempadan Sungai Kampar serta air yang melimpah ke daratan tak jarang merendam permukiman warga hingga setinggi satu meter. Bukan itu saja, gelombang besar bono bisa menyebabkan perahu nelayan terbalik.

Fenomena bono tidak terjadi setiap hari di Sungai Kampar. Bono hanya muncul ketika terjadi bulan purnama (full moon) di penanggalan 12-16 hijriyah atau tahun sistem kalender arab. Kita dapat menyaksikan ombak besar bono pada Oktober hingga Desember ketika puncak musim hujan saat debit air Sungai Kampar sedang tinggi. Ombak bono juga dapat kita saksikan pada Februari hingga Maret.

Favorit Peselancar

Ombak bono tak sekadar memberi efek destruktif semata tetapi juga telah menjadi salah satu ikon pariwisata Provinsi Riau. Sejak 2013, Pemerintah Kabupaten Pelalawan melirik bono sebagai potensi pariwisata, khususnya bagi turis dengan minat khusus seperti para peselancar. Bahkan pemerintah setempat secara rutin menggelar event tahunan, International Bono Surfing Festival serta Bekudo Bono.

Bono Sungai Kampar mulai mendunia saat dikunjungi Antony Colas, penulis buku panduan berselancar terkemuka, World Stormrider Guide, pada September 2010. Colas dibuat tercengang dengan gulungan besar ombak bono di sungai yang mirip dengan ombak di laut. Bedanya, ombak tinggi ini mampu bertahan hingga sejauh 50 km, begitu tulis Colas dalam ulasannya di salah satu edisi World Stormrider Guide.

Tulisan Colas ini mengundang rasa penasaran juara dunia tiga kali asal Amerika Serikat, Tom Curren. Peselancar senior berusia 60 tahun ini mengajak dua rekannya sesama juara dunia, Bruno Santos dan Dean Brady untuk mencoba menaklukkan bono Sungai Kampar. Ia pun sukses berselancar nyaris selama satu jam pada Maret 2011.

Baca Juga :  Prestasi di Penghujung Tahun 2020, Kemendikbud Raih Empat Rekor MURI  

“Saya akhirnya bisa merasakan berselancar begitu lama di atas bono di aliran Sungai Kampar. Setelah lebih dari 30 tahun berselancar baru kali ini saya merasakan selancar sangat lama di atas gulungan ombak dan itu terjadi di sungai,” kata Curren seperti dikutip dari situs Surfer Today.

Sebuah upaya pemecahan rekor dunia berselancar terlama juga pernah terpecahkan sebanyak dua kali di bono Sungai Kampar. Upaya pertama dilakukan oleh peselancar dunia asal Inggris, Steve King pada 15 Februari 2013. Saat itu ia bersama dua rekannya Steve Holmes dan Nathan Maurice berlomba adu ketangkasan “menunggangi” bono setinggi empat meter sejauh 12,3 km selama 1 jam 13 menit. Rekor King kemudian dapat dipatahkan oleh juara dunia asal Australia, James Cotton ketika mampu mengikuti ombak bono setinggi 3,5 meter hingga sejauh 17,2 km selama 1 jam 20 menit. Rekor dunia itu tercatat dalam Guiness Book of The World Record.

Tak mau kalah, peselancar perempuan Indonesia Gemala Hanafiah pun pernah mencetak rekor unik ketika ia dan 30 peselancar nasional dan mancanegara mencoba menaklukkan Si Gelombang Tujuh Hantu secara bersama-sama.

Menurut Gemala, peristiwa ini tidak akan bisa mereka lakukan di laut. Alasannya, ombak di laut hanya bisa dipakai berselancar tak lebih dari tiga orang dan durasi gelombangnya pun hanya sebentar, tak sampai tiga menit. Di bono Sungai Kampar, Gemala dan rekan-rekannya mampu berselancar selama 30 menit.

Bagi kita yang tak memiliki hobi berselancar, bukan berarti tak bisa menikmati deru ombak bono. Seperti juga masyarakat setempat, kita juga bisa menyaksikan fenomena alam ini di Desa Teluk Meranti dekat muara Sungai Serkap (anak Sungai Kampar) atau di Desa Pulau Muda. Di kedua desa ini biasanya masyarakat akan mendaki beberapa bukit kecil agar bisa melihat ombak bono yang datang bergulung-gulung menuju daratan di sekitar.

Untuk menuju ke lokasi bono Sungai Kampar kita bisa melakukan perjalanan darat selama empat jam dari Pekanbaru. Kemudian perjalanan dilanjutkan menggunakan kapal cepat (speedboat) menuju Desa Teluk Meranti atau Desa Pulau Muda.

Sumber: Indonesia.go.id

Comment