LIPI Minta Pemerintah Tunda Pilkada Serentak 2020

KalbarOnline.com – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meminta DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu, untuk melakukan penundaan hajatan Pilkada serentak 2020 ini.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor mengatakan, tidak bijak bagi pemerintah DPR, dan penyelenggara pemilu tetap memaksakan penyelenggaran Pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 ini.

“Kami merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR agar menunda pelaksanaan Pilkada 2020. Sikap berkeras diri untuk tetap melangsungkan Pilkada 2020 bukanlah sebuah sikap bijak dari sebuah pemerintahan demokratis, yang terbentuk atas dasar kehendak rakyat,” ujar Firman Noor kepada wartawan, Kamis (1/10).

Menurut Firman, penyelenggaraan Pilkada 2020 berpotensi menimbulkan pelanggaran kemanusiaan, akibat terabaikan aspek-aspek keselamatan. Padahal keselamatan menjadi dasar utama tujuan berbangsa dan bernegara, sebagaimana termaktub pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

“Yang berbunyi kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia,” katanya.

Kemudian angka penyebaran kasus positif Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Angka tersebut pada dasarnya juga belum menggambarkan kondisi sesungguhnya, karena pelaksaaan rapid test ataupun swab test di Indonesia masih tergolong rendah.

Baca juga: PBNU Desak Pemerintah Tunda Pilkada Serentak 2020, Duitnya Buat Ini

“Sebagai perbandingan, beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti Korea Selatan (pada 15 April 2020) dan Singapura (pada 10 Juli 2020), telah relatif dapat mengendalikan pandemi Covid-19 dengan baik,” ungkapnya.

Baca Juga :  Kasus Covid-19 Melandai, Kalbar Menuju Herd Immunity?

Kemudian, fakta di lapangan terkait dengan pelaksanaan tahapan-tahapan Pilkada 2020 yang telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu, menunjukkan bahwa tingkat kedisiplinan masyarakat, peserta dan penyelenggara Pilkada 2020 tergolong masih rendah, untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19.

“Kerumunan massa dan arak-arakkan pendukung pasangan calon masih terus terjadi dan sulit untuk dikendalikan. Hal itu sebagai dampak dari tradisi politik di ‎Indonesia saat pagelaran pemilihan politik yang identik dengan kerumunan massa dan mobilisasi dukungan secara fisik secara besar-besaran (masal),” ungkapnya.

Dengan pelaksanaan Pilkada 2020 yang mulai memasuki tahapan krusial, yakni tahapan kampanye yang akan dilaksanakan dalam waktu 71 hari, dengan tiga fase yakni fase kampanye, pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog. Maka dapat dibayangkan dampak yang sangat berbahaya dari prosesi tersebut.

“Belum ada jaminan bahwa para calon kepala daerah akan melakukan perubahan cara kampanye, karena dalam praktiknya banyak hal yang dilanggar dan terjadi penyimpangan,” tuturnya.

Firman menuturkan, Perkembangan Indeks Kerawanan Pilkada 2020 yang dikeluarkan oleh Bawaslu juga mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah yang menyelenggarakan Pilkada 2020 terdapat 50 kabupaten dan kota dengan kategori rawan tinggi. Kemudian 126 kabupaten dan kota kategori rawan sedang. Selanjutnya 85 kabupaten dan kota kategori rawan rendah.

“Data di atas menunjukkan bahwa situasi pandemi Covid-19 menjadi faktor penentu tingkat keselamatan penyelenggaraan Pilkada 2020 dan menjadi tolok ukur pilkada yang sehat bagi pemilih, peserta dan penyelenggara,” tuturnya.

Baca Juga :  Update Cakupan Vaksinasi Covid-19 Kalbar 19 Juni 2022

Firman melajutnkan, eskpektasi pemerintah bahwa Pilkada 2020 tidak akan menjadi kluster baru Covid-19 akan mengalami sebuah tantangan serius. Kenyataannya peningkatan penyebaran Covid-19 hingga kini bahkan telah berdampak pula pada sejumlah komisioner dan staf penyelenggara pemilu serta 63 calon kepala daerah. Ini mengindikasikan bahwa potensi terciptanya kluster Pilkada 2020 cukup besar.

“Yang diperburuk dengan potensi inkonsistensi dalam menjalani protokol kesehatan Covid-19 oleh penyelenggara, calon kepala daerah dan pemilih,” ungkapnya.

Kebijakan tetap melaksanakan Pilkada 2020 menunjukan pula adanya ambivalensi yang berpotensi mereduksi upaya bangsa dalam berperang menghadapi Covid-19.

Kekhawatiran akan terjadinya kekosongan jabatan di 270 daerah apabila Pilkada 2020 diundur adalah sesuatu yang tidak mendasar. Terdapat mekanisme pejabat pelaksana tugas atau harian yang telah dipraktikan di banyak wilayah sejak Indonesia berdiri.

Adanya pemekaran wilayah kerap menempatkan seorang Plt atau Plh hingga terpilihnya seorang kepala daerah definitif. Sehubungan dengan itu, penundaan Pilkada juga bukan sesuatu yang baru.

Dalam sejarah kehidupan pemilu di Indonesia, pernah terjadi penundaan pelaksanaan pemilu termasuk Pemilu 1955. Demikian pula dengan pelaksanaan pilkada di masa reformasi beberapa kali dilakukan penundaan.

“Memajukan atau mengundurkan jadwal pelaksanaan pemilu atau pilkada secara administrasi pemerintahan bukanlah sebuah pelanggaran konstitusional, tetapi telah diatur dan tetapkan dalam sistem administrasi pemerintahan di Indonesia,” pungkasnya.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment