Toxic Positivity, Bahaya Selalu Berpikir Positif

Apakah Kamu merasa sudah menjadi orang yang baik ketika memberikan nasihat, “Ayo, semangat! Jangan sedih, be happy!” kepada teman yang sedang bergumul dengan masalah? Jangan dulu! Kalimat penyemangatmu bisa menjadi toxic positivity yang justru menyengat orang lain.

Toxic Positivity, Apa sih Itu?

Frase toxic positivity merujuk pada konsep untuk terus merasa dan berpikir positif, sebagai cara hidup yang baik. Artinya, hanya memfokuskan diri pada hal-hal yang baik dan menolak atau membuang apa pun yang bisa memicu perasaan negatif.

Untuk lebih mudah dipahami, begini contoh toxic positivity. Ketika Kamu sedang merasa sedih, berkabung, atau marah, dan berusaha menceritakan perasaan ini kepada orang lain – justru mendapatkan jawaban, “Jangan sedih dong. Yuk, cheer up. Enggak perlu khawatir. Pasti semua membaik!”

Sebenarnya, orang yang memberi jawaban seperti ini tidak bermaksud buruk atau jahat. Kebanyakan mereka justru berusaha membuatmu merasa lebih baik. Hanya saja, terkadang berhasil, terkadang tidak. Bahkan bisa saja membuat orang semakin sedih atau kesal. “Disuruh sabar mulu! Kurang sabar apa saya?” contohnya, ketika seseorang menganjurkan kita untuk bersabar di saat susah.

Toxic positivity ini tidak hanya bisa dilakukan orang lain terhadapmu ya, Gengs. Namun, bisa juga Kamu lakukan kepada diri sendiri. Contohnya, ketika sedang stres berat, Kamu malah berkata, “Yaelah, cengeng banget gue begini saja nangis.” Coba diingat-ingat lagi, seberapa sering ini terjadi?

Selain itu, toxic positivity juga mencakup hal-hal berikut.

  1. Menyembunyikan perasaan Kamu yang sesungguhnya.
  2. Berusaha untuk bersikap “Ya sudahlah!” dan “Lupakanlah!” dengan tidak memedulikan perasaan Kamu sendiri.
  3. Merasa bersalah dengan apa yang Kamu rasakan.
  4. Mengecilkan pengalaman orang lain dengan memberikan nasihat dan kalimat berbau positif (Be happy!)
  5. Berusaha memberikan seseorang perspektif yang berbeda (“Kamu harusnya bersyukur. Kan bisa saja lebih buruk yang terjadi”) dan tidak membiarkan seseorang tersebut memvalidasi perasaannya.
  6. Mengejek atau mencemooh orang lain karena menunjukkan rasa frustrasi atau stres yang dihadapi.

Jika menjadi positif adalah hal yang baik, lalu, salahnya toxic positivity di mana? Bukankah ini memang konsep yang tepat?

Baca Juga: Cara Menjaga Kesehatan Mental

Tidak Baik untuk Kesehatan

Olahraga yang berlebihan bisa meningkatkan risiko kerusakan otot dan jantung. Begitu pula dengan tidur yang terlalu lama. Menurut studi, kebanyakan tidur bisa meningkatkan risiko terkena serangan jantung hingga 34%. Intinya sih, apa pun yang berlebihan tidak baik, termasuk menjadi positif terus-menerus. Ini beberapa risiko toxic positivity bagi kesehatan, baik fisik, maupun mental.

Baca Juga :  Berkunjung ke RSUD Soedarso, Sekda Kalbar bersama Istri Persembahkan Kado Ceria untuk Anak-anak Penderita Kanker

1. Meningkatkan Risiko Stres, Gangguan Kecemasan, dan Depresi

Dalam sebuah jurnal berjudul Hiding Feelings: The Acute Effects of Inhibiting Negative and Positive Emotion yang ditulis oleh James J. Gross, dari Stanford University, dan Robert VV. Levenson, dari University of California, Berkeley, dipaparkan sebuah penelitian yang hasilnya sangat menarik.

Mereka mengadakan sebuah studi dengan 2 kelompok partisipan. Keduanya diberikan tontonan berupa film yang memperlihatkan prosedur medis yang tidak elok, alias menyeramkan. Selama proses menonton ini, respons stres, berupa detak jantung, pelebaran pupil mata, dan produksi keringat, akan diukur.

Kelompok pertama diminta untuk menonton film tersebut sambil memperlihatkan emosinya. Mereka bebas berteriak, ketakutan, atau menunjukkan reaksi lain. Sedangkan kelompok lainnya, sama sekali dilarang untuk bereaksi. Mereka diminta bersikap seolah-olah tidak terganggu atau tidak terpengaruh dengan film tersebut. Hasilnya? Kelompok yang tidak diperbolehkan menunjukkan reaksi, justru mengalami stres yang jauh lebih tinggi.

Menurut ilmu psikologi, ketika Kamu menolak untuk merasakan emosi yang tidak mengenakkan, justru hanya akan membuatnya bertambah besar. Parahnya lagi, jika terbiasa seperti ini, emosi negatif bisa saja meledak karena tidak pernah diproses dengan tepat.

Manusia diciptakan secara naluriah untuk merasakan emosi negatif dan positif. Sama seperti baterai yang bisa berfungsi jika memiliki 2 kutub, negatif dan positif, begitu pula dengan manusia. Tidak ada satu pun dari kita yang bisa baik-baik saja dengan selalu menjadi positif.

Kenyataannya, hidup tidak selalu menyenangkan. Dan, ini adalah hal yang normal. Ketika hal yang tidak menyenangkan terjadi, rasakanlah. Proses dengan baik. Jangan diabaikan, karena justru akan membuatmu berisiko meledak suatu hari. Ini juga bisa memicu depresi, gangguan kecemasan, atau bahkan gangguan atau penyakit pada tubuh.

2. Memunculkan Masalah Hubungan dengan Diri Sendiri dan Orang Lain

Dengan mengabaikan apa yang dirasakan, kita hanya akan mengisolasi diri sendiri. Membuat kita sulit untuk terkoneksi dengan perasaan dan pikiran sendiri. Hal ini akan memicu permasalahan hubungan dengan orang lain. Ketika kita tidak bisa terkoneksi dengan baik dengan diri sendiri, orang lain pun akan kesulitan untuk terkoneksi dengan kita.

Hubungan kita dengan diri sendiri, akan terpancar pada hubungan kita dengan orang lain. Jika kita tidak bisa jujur kepada diri sendiri mengenai apa yang dirasakan, bagaimana kita bisa memberikan ruang bagi orang lain untuk mengeskpresikan perasaannya kepada kita? Ini hanya akan memunculkan pertemanan atau hubungan yang palsu dan tidak bertahan lama.

Baca Juga :  Ternyata, Membaca Buku Bermanfaat untuk Kesehatan Fisik dan Mental
Baca Juga: Zebra Bisa Membantu Kesehatan Mental Kita, Kok Bisa?

Yang Sebaiknya Dilakukan

Yuk, ganti beberapa contoh toxic positivity yang sering Kamu ucapkan di kehidupan sehari-hari!

  1. “Sudah, enggak usah dipikirkan. Tetap positif saja!” ganti dengan “Coba utarakan apa yang Kamu rasakan. Aku siap mendengar!”
  2. Don’t worry, be happy!” ganti dengan “Sepertinya Kamu sedang stres, apa yang bisa kubantu?”
  3. “Kalah/Gagal bukanlah pilihan!” ganti dengan “Kegagalan dan kekalahan adalah bagian dari proses pendewasaan diri. Juga bagian dari kesuksesan.”
  4. “Bersabar. Akan ada waktunya semua akan berhasil.” ganti dengan “Kondisi ini memang sulit. Aku ada di sini ya untukmu bercerita.”
  5. Positive vibes only!” ganti dengan “Aku ada untukmu di saat senang ataupun susah.”
  6. “Kalau aku bisa, Kamu pun bisa!” ganti dengan, “Tidak apa-apa. Setiap orang memiliki cerita, kemampuan, dan kekurangan yang berbeda.”
  7. “Jangan berpikir negatif.” ganti dengan “Hidup memang tidak selamanya indah dan senang-senang. Kamu jangan merasa sendirian, ya.”
  8. “Coba cari hikmahnya.” ganti dengan “Aku ada di sini untukmu.”
  9. “Semua yang terjadi, pasti ada alasannya.” ganti dengan “Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu di masa masa sulit ini?”
  10. “Untung hanya seperti ini. Kan bisa saja terjadi yang lebih buruk.” ganti dengan “Pasti tidak enak rasanya. Aku sedih Kamu harus menghadapi hal seperti ini.”

Emosi bukan sekadar baik, buruk, negatif atau positif. Coba pandang emosi sebagai sebuah petunjuk, yang membantumu merasakan sesuatu. Jika Kamu merasa sedih saat mengundurkan diri dari sebuah perusahaan, mungkin saja ini berarti pengalaman selama bekerja di sana sangat berarti bagimu. Jika Kamu merasa sangat gugup, khawatir, dan takut akan sebuah presentasi, berarti Kamu sangat peduli dengan pekerjaanmu.

Melihat hal positif yang terjadi di hidup memang hal yang baik. Namun, penting juga untuk mengakui dan mendengarkan emosi yang tidak mengenakkan. Hal ini akan membantumu lebih mengenal diri sendiri.

Referensi:

Psychologytoday.com. Toxic Positivity dont always loook the bright side.

Thepsychologygroup.com. Toxic positivity

Medium.com. Memanusiakan rasa tidak nyaman dan toxic positivity

Health.com. What is toxic positivity

Comment