Anggaran Pemerintah Pusat untuk Tes PCR Belum Diungkap

KalbarOnline.com – Persebaran virus korona jenis baru (Covid-19) di Indonesia masih tinggi. Selama September beberapa kali rekor penambahan kasus harian baru terus terjadi. Bahkan, pada Rabu (16/9), kasus baru itu hampir menyentuh 4.000 kasus. Tepatnya, 3.963 orang yang diketahui memiliki virus korona di tubuhnya.

DKI Jakarta merespons tingginya persebaran virus yang kali pertama ditemukan di Wuhan, Tiongkok, pada Desember 2019 dengan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak 14 September. Hingga Kamis (17/9), total kasus Covid-19 di Jakarta menyentuh 58.582 orang. Lebih tinggi dari Singapura yang totalnya mencapai 57.532 orang versi Worldometers.

Indonesia memang tidak memiliki kebijakan lockdown. PSBB bisa menjadi solusi, asalkan protokol kesehatan yang sudah disusun bisa dijalankan dengan ketat. Selain itu, pemerintah harus bisa melakukan testing dan tracing dengan baik. Presiden Joko Widodo memang sudah meningkatkan targetnya agar uji tes pasien Covid-19 per hari bisa digenjot hingga 30 ribu tes.

Memang, uji tes Covid-19 dengan metode PCR (Polymerase chain reaction) sudah mencapai target. Namun, itu belum memenuhi target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan pemeriksaan tes PCR untuk 1 orang per 1.000 penduduk per minggu. Saat ini, baru DKI Jakarta yang mencatat jumlah tes PCR terbanyak secara masif di Indonesia. Bahkan DKI Jakarta sudah 4 kali melampaui target WHO.

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta jiwa, maka yang harus dites adalah sebanyak 267.700 tes per minggu. Juru Bicara Pemerintah Prof Wiku Adisasmito mengakui di Indonesia keseluruhan baru mencapai 35,6 persen dari standar WHO. Artinya masih sepertiganya dari target WHO.

KalbarOnline.com mencatat, pada Juli ada 89.712 tes per minggu. Kemudian, 27 Juli-2 Agustus sebanyak 85.402 tes. Pada 3-9 Agustus meningkat menjadi 90.063 tes. Lalu, pada 10-16 Agustus sebanyak 89.123 tes. Pada 16-23 Agustus, menjadi 95.463 tes.

Pemerintah daerah mencoba mendorong peningkatan tes dengan berbagai cara. Di Surabaya misalnya, menggratiskan tes PCR untuk warganya dengan hanya menunjukkan KTP. Sedangkan untuk warga luar Surabaya, cukup membayar Rp 120 ribu. Jauh lebih murah dari pemeriksaan di RS swasta yang mencapai jutaan rupiah. Dari Labkesda, diharapkan Surabaya bisa menguji sampai 4.000 sampel per hari.

Namun, bagaimana dengan daerah yang tidak memiliki cukup uang untuk memberikan tes PCR? Pemerintah pusat ada anggarannya. Untuk menanggulangi Covid-19 dan memenuhi target WHO tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 695,2 triliun melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dari angka tersebut, porsi untuk bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliiun.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengakui bahwa metode PCR tetap menjadi prioritas pengujian spesimen covid-19. Sementara rapid test hanya untuk pengujian sementara. “Kami akan berupaya, arahnya ke depan untuk PCR test, karena memang ini tingkat akuratnya paling bagus. Paling tinggi,” katanya beberapa waktu lalu di gedung DPR Jakarta.

Untuk memenuhi target WHO, butuh lebih banyak lagi yang perlu dites. Itu jelas butuh anggaran yang besar. Namun, ketika KalbarOnline.com mencari tahu lebih detail mengenai pos anggaran untuk PCR, belum ada yang bisa memberikan gambaran rinci.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, anggaran tes PCR berasal dari anggaran pemerintah pusat yang disalurkan melalui BNPB. “Anggaran test PCR dari pemerintah. BNPB,” ujarnya kepada KalbarOnline.com, Rabu (16/9).

Namun, saat ditanyakan ke Doni Monardo, dia tidak bisa memberikan rincian. Malah, Doni menyebut kalau anggaran tersebut saat ini masih dalam pembahasan. “Bisa hubungi Pak Dody (Deputi II BNPB). Karena masih dibahas,’’ ujarnya saat dihubungi.

Deputi II Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dody Ruswandi ternyata juga belum bisa menjawab besaran anggaran PCR. Yang pasti, dari anggaran itu sudah digunakan untuk membantu pengadaan mesin PCR ke daerah-daerah. Termasuk, untuk PCR kit sekali pakai.

“Kami ada untuk sewa, ada 439 mesin PCR. Ada dua skema ditempatkan di daerah dan dikontrakan perusahaan,” jelasnya.

Kemudian, dirinya memberi arahan untuk menghubungi Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB, Prasinta Dewi. Namun, hingga berita ini ditayangkan, Jumat (18/9) belum juga mendapatkan jawaban terkait hal tersebut. Dia juga menyarankan untuk menghubungi Direktur Pengelolaan Logistik dan Peralatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Rustian.

Baca Juga :  Disiplin Protokol 3M, Doni Beri Contoh Saat Dunia Hadapi Flu Spanyol

“Pembelian PCR ya. Test kit atau mesin? Nanti sama ppk (pejabat pembuat komitmen) saya saja ya,” kata Rustian. Dia menambahkan, kalau mau lebih detil dengan anggaran, perlu bersurat pada BNPB.

Rincian Anggaran Kesehatan

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan anggaran penanganan pandemi Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 triliun. Porsi untuk bidang kesehatan adalah Rp 87,55 triliun. Anggaran stimulus kesehatan untuk penanganan Covid-19 dibagi ke dalam beberapa pos.

Pertama, sebesar Rp 3,5 triliun untuk BNPB seperti pengadaan APD, alat kesehatan, test kit, klaim biaya perawatan, mobilisasi dan logistik, karantina dan pemulangan WNI di luar negeri.

Kedua, yakni tambahan belanja stimulus Rp 75 triliun untuk insentif tenaga kesehatan (nakes), santunan kematian nakes, bantuan iuran BPJS, dan belanja penanganan kesehatan lainnya. Sedangkan Rp 9,05 triliun sisanya untuk insentif pajak PPh jasa dan honor tenaga kesehatan, pembebasan PPN dan bea masuk impor alat kesehatan.

Doni Monardo merinci, dari besaran dana sebesar Rp 3,5 triliun tersebut, dana yang dikelola khusus Covid-19 sekitar Rp 3,25 triliun. Namun, dari Rp 3,25 triliun tersebut, sebesar Rp 2,9 triliun merupakan dana siap pakai (DSP). Dana itu di luar anggaran DSP BNPB yang ditujukan bagi penanganan bencana alam.

Dia menambahkan, penggunaan anggaran tersebut, di antaranya, untuk Markas Besar TNI sebesar Rp 80,3 miliar. Anggaran itu digunakan untuk operasional bencana non-alam Covid-19 di Kabupaten Natuna, Wisma Atlet, Pulau Sebaru, dan Pulau Galang.

Kemudian, lanjutnya, ada anggaran sebesar Rp 459 miliar untuk BNPB yang digunakan untuk pembelian reagen PCR, bantuan logistik dan peralatan, serta operasional RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran. Ada pula Rp 1,25 triliun yang dikelola Pusat Krisis Kementerian Kesehatan untuk membeli APD. Selanjutnya sekitar Rp 189,1 miliar yang dikelola Direktorat Fasilitas Pelayanan Keseahatan Kemenkes untuk karantina di Pulau Galang. Sementara Direktorat Surveillance dan Karantina Kemenkes mengelila Rp 15 miliar.

Selain itu, Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes mengelola Rp 975,6 miliar untuk operasional pelayanan kesehatan di Pulau Sebaru. Lalu Rp 4,093 miliar yang diberikan ke Lembaga Biologi Molekiler Eijkman guna pemeriksaan Covid-19. Sisa anggaran lainnya disalurkan untuk penanganan corona di Jawa Timur. Sebanyak Rp 41,3 miliar diberikan ke Gugus Tugas Provinsi Jatim dan Rp 5 miliar untuk Universitas Airlangga.

Testing dan Tracing Rendah

Co-Founder KawalCovid-19 Elina Ciptadi menyoroti angka testing dan tracing yang masih minim di tanah air. Sebab, yang paling tinggi baru terjadi di DKI Jakarta. “Testingtracing kurang. Plus isolasi bagian dari tracing sih. Baru DKI Jakarta yang mencapai target 1 orang per 1.000 penduduk tiap minggu. Itu minimumnya yang kalau dikonversi yakni 40 ribu tes per hari,” tegas Elina.

Menurut Elina yang mengutip WHO dalam menetapkan syarat re-opening kegiatan masyarakat adalah positivity rate-nya harus di bawah lima persen. Sedangkan pulau Jawa saja, angka positivity rate masih belum memenuhi syarat, di atas lima persen semua.

’’1 tes per 1.000 penduduk per minggu baru DKI Jakarta. Tapi, masalahnya DKI belum melewati angka ideal positivity rate. Masih di atas lima persen. Walaupun tesnya tinggi, ini jadi gambaran skala wabah belum menyusut,’’ kata Elina.

Dia sendiri kesulitan untuk mendapat data rinci. Sebab, tidak semua provinsi membuka data dengan detail. ’’Kita enggak tahu, berapa rate penyebaran wabahnya, kecepatannya berapa. Kita enggak tahu juga testing rate di tiap provinsi. Orang itu diisolasi mulai kapan dan gejala kapan. Tracing juga masih rendah,’’ tambahnya.

Menurutnya, tes massal adalah keniscayaan. Apalagi, untuk ekonomi yang lebih baik. Katanya, ada vaksin atau tanpa vaksin, skala wabahnya harus diselesaikan. Supaya, masalah bisa tuntas. Elina memahami, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Akan tetapi, dia juga membandingkan dengan negara Filipina yang juga negara kepulauan tetapi bisa mengetes jauh lebih banyak daripada Indonesia. “Kira-kira testing kita enam kali lebih rendah daripada Filipina. Tak ada jalan pintas ke akhir pandemi. Testing dan tracing masif plus treatment yang tepat sedini mungkin. Bukan pilihan ganda. Harus simultan” katanya.

Menurutnya, jika harus mencari pembanding negara kepulauan seperti Indonesia, sulit didapat. Namun, kata Elina, bukan itu poinnya. ’’Poinnya adalah kenapa Indonesia tak mau belajar dari data dan pengalaman negara lain,’’ tegas Elina.

Baca Juga :  Kukuh Berlaga di Denmark Terbuka 2020, Ini Alasan Chou Tien Chen

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto membantah hal itu. Menurutnya, wawasan negara Indonesia begitu luas jangkauannya. Sehingga, tak bisa membandingkan satu provinsi dengan provinsi lainnya. Begitupun antara DKI Jakarta yang sudah banyak melakukan tes, sementara daerah lainnya masih terbatas.

“Kemarin saja testing 42 ribu. Tesnya pakai PCR. PCR-nya ada di mana? Mau ambil daerah mana? Banten? Kalimantan Barat? Apakah Kalimantan Barat penduduknya ngumpul jadi satu kayak Jakarta?,’’ kata Yuri.

Dia lantas memberikan gambaran, jika sampelnya Atambua Nusa Tenggara Timur (NTT), lalu laboratoriumnya ada di Kupang tentu tidak bisa diperiksa dengan cepat. Berbeda dengan Jakarta yang semua fasilitasnya berada dalam datu lokasi berdekatan. ’’Apa bnisa secepat kalau swabnya diambil ke Pasar Minggu lalu spesimennya dibawa ke Labkesda?,’’ jelas Yuri.

Kata Yuri, tidak pas kalau menyamakan semua provinsi dengan apa yang dilakukan oleh DKI Jakarta. Sebab, ada perbedaan fasilitas, demografi, hingga kepadatan aktivitas warganya yang bisa jadi tidak sepadat Jakarta.

“Enggak boleh disamakan lalu menganggap pemerintah enggak kerja. Apakah yang bilang testing dan tracing masih kurang tahu (kondisi) Indonesia? Apakah Jakarta Kepulauan Seribu sama dengan Jakarta Pusat? Kenapa harus disamakan,” kata dia.

Jakarta Masih Pakai Anggaran Sendiri

Dari semua provinsi di Indonesia, baru DKI Jakarta yang melampaui target WHO. Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan anggaran besar untuk penanggulangan pandemi Covid-19 di DKI Jakarta. Total Rp 5,03 triliun telah disiapkan sebagai anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) dan Rp 180 miliar di antaranya merupakan hasil refocusing dari kegiatan di luar BTT.

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta S. Andyka mengatakan, anggaran tersebut belum digunakan habis oleh Pemprov DKI. Masih ada 50 persen lebih anggaran tersisa yang berada dalam kantong. Soal berapa pastinya untuk tes PCR, Andyka menyebut itu tidak ada anggaran khususnya. Hanya disesuaikan dengan kebutuhan secara periodic.

“Sampai dengan Selasa (15/9) yang sudah digunakan kurang lebih sebesar Rp 2,3 triliun. Artinya masih ada Rp 2,7-2,8 triliun,” kata Andyka kepada KalbarOnline.com.

Kendati masih tersisa banyak, Pemprov DKI telah merencanakan penambahan dana sekitar Rp 275 miliar. Dengan penambahan ini, diperkirakan bisa digunakan untuk penanggulangan Covid-19 hingga akhir Desember 2020.

“Kekurangan inilah yang akan kita ambil dari pendapatan asli daerah. Kita berharap agar pendapatan dari pajak, kemudian dari dana bagi hasil dari (pemerintah) pusat,” ucap Andyka.

Lebih lanjut, politikus partai Gerindra itu memastikan Pemprov DKI Jakarta tidak pernah meminta bantuan tunai kepada pemerintah pusat. Semua dana penanggulangan Covid-19 bersumber dari APBD Pemprov DKI.

Kendati demikian, tidak dipungkiri Pemprov DKI memang mengajukan pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ke pemerintah pusat sebesar Rp 12,5 triliun. Untuk tahun ini dialokasikan penggunaan dana sekitar Rp 3,2 triliun. Namun, uang ini bersifat pinjaman bukan permintaan, dan akan dilunasi dalam periode 10 tahun melalui sistem bagi hasil pajak daerah dengan pemerintah.

“Kami Insya Allah masih bisa menangani ini (dengan dana sendiri), hanya saja memang ada bantuan dari pemerintah langsung tanpa melalui proses pengajuan permintaan dari kita,” jelas Andyka.

Bantuan langsung dari pemerintah pusat yang dimaksud berupa alat rapid test, alat-alat kesehatan, hingga penggunaan Wisma Atlet untuk perawatan pasien Covid-19. Sedangkan untuk bantuan tunai atau permintaan bantuan tunai dipastikan tidak ada.

Meski DKI Jakarta sudah melakukan tes yang sangat banyak, tetap harus waspada. Sebab, Kawal Covid-19 menyebut pelacakan memburuk. Dikutip dari web KawalCovid-19, menunjukkan adanya penurunan Rasio Lacak Isolasi (RLI). Menurut mereka, idealnya ada pelacakan setidaknya 25 orang untuk diisolasi tiap penegakan satu kasus suspek, probable, atau terkonfirmasi. WHO sendiri menganjurkan pelacakan antara 10–30 orang per satu kasus positif terkonfirmasi.

KawalCovid-19 mencatat, RLI di DKI Jakarta terus menurun. Untuk tiap satu kasus positif Covid-19, jumlah orang yang diisolasi melalui proses pelacakan kontak kurang dari 2 orang. Jumlah itu sangat kecil karena mobilitas orang Jakarta pada umumnya sangat tinggi.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment