Jakob Oetama Membentuk Fondasi Jurnalisme Presisi

KalbarOnline.com – Suatu hari pada periode 1990-an. Begitu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakob Oetama yang baru tiba dari Jepang langsung bermobil ke Bandung. Bukan karena ada pertemuan penting dengan pejabat. Bukan juga karena undangan peresmian sebuah proyek.

Pendiri harian Kompas itu bergegas ke ibu kota Jawa Barat tersebut karena ingin nonton wayang. ’’Waktu itu saya yang mendalang di ITB dengan pengrawit para karyawan Kompas,’’ kenang Sujiwo Tejo yang pada 1991–1998 menjadi wartawan Kompas.

Jakob, menurut Sujiwo, tokoh pers yang sangat peduli kesenian. Dia membebaskan anak buahnya, termasuk yang di jajaran redaksi tentu saja, untuk berekspresi dalam kesenian.

’’Pak Jakob juga yang langsung mengizinkan sutradara Slamet Rahardjo ketika meminta izin menggunakan saya membintangi film Telegram dari novel Putu Wijaya. Itu film pertama saya dan saya dikasih cuti tiga bulan serta tetap digaji,’’ kenang Sujiwo.

Baca juga: Perginya Jakob Oetama, Orang Bijak dari Palmerah

Selain menjunjung tinggi humanisme, kesantunan dalam menyampaikan pandangan menjadi ciri khas Jakob yang juga tercirikan dalam produk media yang dia pimpin.

Itu, kata Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, bagian dari komitmen Jakob untuk mencegah kegersangan sosial. ’’Kalau bangsa ini sosialnya gersang, nilai-nilai kebaikan susah tumbuh,’’ katanya.

Baca Juga :  Bamsoet Pimpin Serah Terima Jenazah Jakob Oetama

Lazimnya sebuah tanah, kalau kondisinya gersang, tanaman susah tumbuh di tanah itu. Salah satu cara mencegahnya adalah santun dalam berkomunikasi.

’’Pak Jakob berprinsip, dengan bahasa yang santun, nilai-nilai kebaikan mudah tumbuh. Sebaliknya, jika bahasa yang digunakan sangar atau misuh-misuh, bangsa ini menjadi gersang,’’ tuturnya.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga menyebut Jakob sebagai salah seorang jurnalis sekaligus tokoh pers terbaik yang dimiliki Indonesia. ’’Almarhum juga tokoh yang menginspirasi masyarakat. Utamanya jurnalis-jurnalis muda di Indonesia,’’ katanya.

Bagi mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli, Jakob, sebagaimana tokoh-tokoh senior pers lain, memiliki karakter khas. Baik dalam pemikiran maupun dalam membangun media.

Salah satunya tergambar dengan baik dalam disertasi karya Director Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto. Yakni, tentang tidak mudahnya membesarkan media massa di tengah kebebasan pers yang usianya masih sangat muda.

Salah satu tipe yang dikenal publik dari Jakob dan Kompas, lanjut Arif yang kini menjabat redaktur khusus Tempo, adalah jurnalisme kepiting. Maju selangkah, bila tidak ada kepiting yang mencapit, maka maju lagi. Kalau dicapit, mundur sejenak sebagai strategi bertahan. Dari sudut pandang yang lebih luas, tipe jurnalisme tersebut punya kontribusi besar dalam dunia pers Indonesia.

Baca Juga :  Kemenag Jadikan Ende Inspirasi Moderasi Beragama Bagi Guru dan Siswa

Baca juga: Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama Meninggal Dunia

Bagi Arif, legasi terbesar Jakob, juga P.K. Ojong, partner Jakob dalam mendirikan Kompas yang berpulang lebih dahulu, adalah institusi Kompas itu sendiri. Jakob membuat fondasi yang salah satunya menghasilkan jurnalisme presisi. Yakni, kerja sama antara tim litbang dan redaksi.

Juga kehati-hatian yang berarti positif. ’’Dengan tidak bersikap reaktif, tidak sekadar mengejar kecepatan. Itulah yang saat ini menjadi tantangan besar bagi jurnalisme digital,’’ kata Arif yang kini juga menjadi anggota Dewan Pers.

Pengamat media Agus Sudibyo menyejajarkan Jakob dengan tokoh sekaliber Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Menurut dia, Jakob mewujud Rosihan dan Mochtar dalam pribadi yang lembut. ’’Dengan tutur kata yang halus. Lewat pribadi itu, dia bisa dekat dengan banyak kalangan,’’ katanya.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment