Perubahan Lanskap Kompetisi Media

75 TAHUN Indonesia merdeka, 71 tahun sudah koran Jawa Pos hadir menemani perjalanan republik kita tercinta. Sungguh perjalanan dan kebersamaan yang tidak singkat.

Java Post, nama saat kali pertama terbit di tahun 1949, senantiasa hadir seiring pendewasaan masyarakat dalam menyikapi semua dinamika zaman: hiruk-pikuk, sukacita, aneka tantangan, dan –bahkan huru-hara.

Sekarang, tantangan itu adalah sama-sama harus menghadapi kerasnya pandemi. Pertumbuhan ekonomi kita jatuh minus 5,31 persen hanya dalam gerilya virus sejak Maret lalu. Kinerja keuangan pemerintah dan dunia usaha babak belur di triwulan kedua tahun ini.

Triwulan ketiga? Separonya sudah kita lewati. Juli sudah berlalu dengan suasana yang tak kalah abot. Agustus, bulan dengan semangat merdeka berkibar-kibar, belum kentara isyaratnya bahwa roda ekonomi bakal segera menggelinding di era new normal, meski berbagai ”pelumas” telah diluncurkan pemerintah. Dunia usaha masih blukuthuk… blukuthuk…

September? Help, please… Pertumbuhan angka positif Covid-19 terus meninggi. Kabar penemuan obat Covid-19 yang diklaim Unair sangat mujarab, hasil kerja sama dengan Badan Intelijen Negara dan TNI-AD itu, masih harus ditetapkan dulu sebagai produk farmasi yang bisa dipakai untuk menyembuhkan masyarakat luas. Dengan demikian, bisa menjadi rem persebaran virus dan pemicu semangat dalam memutar roda ekonomi guna melawan kesulitan.

Update Covid-19 akhir Juli lalu mencatat jumlah positif tembus 100 ribu. Hingga 17 Agustus hari ini, sudah tambah 40 ribuan. Fenomena angkanya berlipat tiap kali ganti bulan. Hingga akhir Desember nanti, sungguh kita semua tidak berharap, angka positif bisa terus melonjak hingga tembus satu juta.

Tempaan selama 71 tahun sejak awal kemerdekaan jualah yang membuat Jawa Pos punya jam terbang cukup dalam menyikapi berbagai keadaan. Kesulitan sekarang tak lebih dari sebuah rangkaian panjang perjalanan Jawa Pos bersama Republik Indonesia dengan segala kelak-keloknya. Tak kita temukan dalam kurun perjalanan waktu selama 71 tahun itu sebuah episode lurus, mulus, lempang, bebas hambatan seperti tol Surabaya–Solo.

Inilah Indonesia kita. Seperti filosofi yang dipegang arsitek asal Jogja Eko Prawoto, yang sering mengonsep rancangan bangunannya tidak dalam keadaan rampung 100 persen, tapi selalu ada ruang yang harus dikerjakan sambil jalan. Agar tidak kehilangan refleks merespons, berpikir, berkreasi, setiap kali menghadapi kenyataan dan bentuk baru yang hadir. Penting untuk selalu menaruh konsen dan respek pada semua ketidakterdugaan. Seperti wabah yang terjadi sekarang ini –meski sulit diterima– tetaplah ini sebuah kenyataan yang harus diselesaikan dengan entah caranya.

Kenyataan pula yang sekarang membuat siapa pun perlu bersentuhan dengan matahari pagi dengan tujuan menyerap vitamin. Banyak gerak badan, sendi diputar, sadar ketahanan organ, sadar makna sehat, dan badan ramping. Sebab, sebagai pelaku utama industri surat kabar, Jawa Pos juga terus-menerus dituntut menemukan nilai-nilai baru dan kemampuan adaptif agar bermanfaat untuk kepentingan masyarakat luas.

Langkah Jawa Pos sejak dua dekade terakhir, yaitu giat membangun kehidupan demokrasi dan mendorong kemajuan daerah di berbagai bidang, akan terus dilakukan di kota-kota kabupaten hingga masa-masa mendatang. Kota-kota kabupaten yang kita miliki dalam pengertian kekinian tentu sudah berbeda dengan era 20 tahun lalu yang kurang modern dan sepi.

Baca Juga :  Momen Prabowo Rapikan Dasi Sandiaga Uno

Banyuwangi, misalnya, kini bahkan sudah menjadi bagian dari gaya hidup weekend warga Jakarta dan Surabaya yang modern. Kabupaten paling ujung timur Pulau Jawa itu dalam sepuluh tahun terakhir bahkan berubah menjadi sangat cantik, smart, dan setrendi bupatinya, Abdullah Azwar Anas.

Samsudin Adlawi, direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, juga memimpin media dengan spirit searah dengan pemerintah daerah dan masyarakat Osing yang sama-sama ingin Bumi Blambangan maju. Pun Jember di bawah kepemimpinan Bupati Faida yang begitu tangguh, tak mau kalah dalam memajukan daerahnya. Di Malang, Situbondo, Probolinggo, Madura, Tulungagung, Kediri, Madiun, Solo, Jogja, Depok, Bekasi, dan lainnya, Jawa Pos harus hadir dengan kearifan dan kekuatan lokalnya.

Pembangunan berbagai infrastruktur, baik tol, bandara-bandara baru, maupun pelabuhan, juga pemikiran baru para kepala daerah, telah mempertemukan kemajuan lokal dengan visi pengembangan Jawa Pos yang konsisten dengan kekuatan lokalitas. Malah, ke depan, jejaringnya dikembangkan makin luas dengan semakin mempertajam kontennya menjadi hyperlocal.

Dengan begitu, Jawa Pos akan berubah dari sebuah single brand menjadi big brand dengan penopang banyak tiang. Yakni, jaringan Radar-Radar di berbagai kota yang terus ditambah jumlahnya. Ini sangat berbeda dengan lanskap kompetisi koran era 1990-an yang cenderung sentralistis, dengan Jakarta sebagai pusat perebutan, saat koran belum tersentuh media online serta media sosial.

Perubahan Lanskap Kompetisi Media 2

Perubahan Lanskap Kompetisi Media 3
TERTULAR VIRUS ARTISTIK BUPATI ANAS: Kantor Jawa Pos Radar Banyuwangi dibangun berbarengan dengan Bandara Banyuwangi. Kantor Jawa Pos Radar Banyuwangi juga didesain arsitek kenamaan Andra Matin. (Dok. Radar Banyuwangi)

Kabar baik terbaru dari strategi pengembangan Jawa Pos selangkah demi selangkah seperti ini adalah segera dibangunnya gedung untuk kantor Jawa Pos Radar Jombang sebagai ”hadiah” buat tim di bawah kepemimpinan Nur Kholis, putra Jombang yang mulai awal 2020 diangkat menjadi direktur, sebagai apresiasi atas kerja serius yang telah berhasil membuat Biro Jombang menjadi sebuah perusahaan media grup Jawa Pos yang mandiri. Ini setelah Biro Jombang diasuh beberapa waktu oleh induknya, yaitu Jawa Pos Radar Mojokerto, yang sekarang juga dipimpinnya.

Seperti tipikal Radar lainnya, Jawa Pos Radar Jombang dihadirkan khusus untuk masyarakat Jombang dan hanya beredar di satu Kabupaten Jombang. Kotanya Gus Dur, tempat tinggal Asmuni, kota santri, juga kota yang segera maju sebagai kawasan industri.

Sebelumnya keseruan pergulatan menghidupkan perusahaan media lokal di bawah brand Jawa Pos juga terjadi di Kudus, Jawa Tengah. Begitu kuatnya koran lokal yang lebih dulu eksis di provinsinya Ganjar Pranowo itu membuat Jawa Pos harus ekstrasabar untuk mengambil hati pembaca masyarakat Kudus dan eks Karesidenan Pati. Sampai akhirnya Jawa Pos menemukan Baehaqi, putra Kudus yang selain punya komitmen kuat terhadap etik jurnalistik, juga menguasai warna-warni masyarakat Kudus.

Menghadapi tantangan yang harus berlangsung lama, kuncinya adalah tekun, konsisten, dan tidak mudah frustrasi. Kudus akhirnya sukses dengan Jawa Pos Radar Kudus sebagai bacaan utamanya. Karena itu, harus dibangun pula kantor baru.

Baca Juga :  Soal Inpres Sanksi Protokol Kesehatan, Ini Perintah Kapolri
Perubahan Lanskap Kompetisi Media 4
KUDUS MODERN: Kantor Jawa Pos Radar Kudus dibangun setelah Jawa Pos menjadi bacaan utama masyarakat Kudus dan eks Keresidenan Pati. Kantor Jawa Pos Radar Jombang segera menyusul berdiri. (dok. Radar Kudus)

Demikian juga Semarang, Jogja, bahkan Bali dengan Bali Express setelah Jawa Pos Radar Bali lebih dulu kuat. Yang kami lihat adalah betapa besarnya peluang pasar koran di Indonesia saat ini dan ke depan. Dengan 514 kabupaten dan kota yang tersebar di seluruh Nusantara.

Ini bukan soal gaya ekspansi desa mengepung kota atau rebut-merebut wilayah. Ini sekadar kewajiban pers yang harus terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan model kemajuan dan pola masyarakatnya. Kelumrahan sebuah kompetisi dalam industri.

Semua pelaku koran harus rendah hati menyikapi kebutuhan masyarakat akan diversity media. Radio tak akan dibunuh TV. Media online tak punya maksud membunuh koran. Koran tak akan dikubur media sosial. Sepanjang masing-masing jenis media itu sanggup menggali nilai-nilai baru yang relevan dengan zaman baru.

Kompas bisa terus hebat. Suara Merdeka senantiasa dibanggakan masyarakat Jawa Tengah. Kedaulatan Rakyat bisa langgeng selamanya sebagai bagian dari hidup Jogja yang istimewa. Atta Halilintar dan Deddy Corbuzier bisa terus ngetop dengan channel YouTube mereka. Sekali lagi, media-media itu bukan sejenis kawanan binatang buas yang saling terkam. Namun jenis makhluk-makhluk yang terus lahir yang punya keunggulan masing-masing dan bisa terus dijaga kelangsungannya.

Jangan terjebak dengan pemikiran-pemikiran dangkal yang semuanya seolah mudah jaya dan mudah mati. Tapi sebaliknya, sejatinya, selalu berliku dan penuh tantangan. Jawa Pos sudah 71 tahun menjalaninya dan tak tertarik dengan cara berpikir dangkal dan sembrono: koran hilang diganti online dan seterusnya.

Bagaimana dengan Jawa Pos online?

Setelah dilakukan perbaikan konstruksi kanal dan perapian konten pada 1 Juli 2019 lalu, KalbarOnline.com mengalami kenaikan jumlah traffic secara menggembirakan dalam setahun terakhir. Setelah target 1 juta pageviews per hari pada akhir 2020 tercapai pada semester pertama, inovasi yang rencananya dilakukan pada awal 2021 terpaksa dimajukan. Lorong-lorong kanal yang mengalirkan semua konten diperbaiki lagi. Kekayaan konten ditambah. Kepraktisan alur dibenahi.

Prinsipnya: KalbarOnline.com harus berperilaku Jawa Pos print versi online yang tidak boleh tergiur dengan perburuan klik yang mengabaikan kaidah dan etika jurnalistik. Kami percaya, media online yang betul-betul kuat dan sustain kelak adalah yang dibangun di atas fundamen jurnalisme yang benar.

Di antara 43 ribu media online yang terdaftar di Dewan Pers saat ini, JawaPos.Com masih di peringkat ke-20. Kami akan terus berinovasi agar merangkak naik ke peringkat utama. Dengan kesabaran dan cara Jawa Pos, seperti saat bergerilya menjadi koran nomor satu di Indonesia dari Surabaya, doeloe.

Oh iya, untuk edisi Minggu 23 Agustus mendatang, Jawa Pos akan tampil dengan style baru.

Bukan hanya koran dan online, jawapostv hari ini menandai dimulainya babak baru televisi digital dengan bersiaran di area Jabodetabek.

Dirgahayu Republik Indonesia. Jawa Pos, Selalu Ada Yang Baru! (*)

Comment