Tantangan MUI di Derasnya Informasi Era Revolusi Industri 4.0

KalbarOnline.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) merayakan milad atau ulang tahun ke-45 pada Jumat malam (7/8). Acara itu diantaranya dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga Ketua Umum non-aktif MUI. Kemudian Menag Fachrul Razi dan Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi.

Dalam kesempatan itu Wapres Ma’ruf Amin bersyukur karena MUI tetap kompak. Tidak seperti organisasi lain yang mengalami konflik internal. Dia berharap MUI konsisten menjalankan visinya. Diantaranya adalah memperbaiki umat. “Umat juga menunggu fatwa-fatwa MUI,” jelasnya.

Ma’ruf juga bersyukur sampai sekarang MUI masih dipercaya umat. Untuk itu dia berharap jajaran MUI terus mempertahankan kondisi itu.

Sementara itu Wamenag Zainut Tauhid Sa’adi yang juga Wakil Ketua Umum MUI mengatakan Tantangan MUI ke depan tidaklah ringan. “Kini kita hidup di era revolusi industri 4.0 dan era disrupsi,” jelasnya. Perkembangan teknologi informasi yang pesat dan dinamis merubah rupa kehidupan secara radikal.

Menurut Zainut, saat ini informasi mengalami pertukaran ruang yang cepat di dunia maya. Membuat manusia yang berinteraksi melalui media sosial lebih sering mengandalkan aspek yang bersifat emosional. Maka terjadilah fenomena post truth. Yakni ketika situasi obyektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan personal dalam pembentukan opini publik.

Baca Juga :  Dibuka Wapres, Forum Zakat Dunia Bahas Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi

“Post truth ini yang menyuburkan hoax dan maraknya konten kebencian, termasuk kebencian atas nama agama,” jelasnya. Apalagi masyarakat kita cenderung menyukai judul berita atau informasi yang bersifat provokatif dan adu domba, dan malas melakukan verifikasi atau tabayyun.

Pada skala global, umat menghadapi isu terkait dengan perang dagang, dan semakin menguatnya populisme atau identitas kelompok, termasuk identitas kelompok keagamaan. Penguatan identitas kelompok ini tidak hanya terjadi di kalangan Islam, namun juga terjadi pada agama lain di dunia.

Penguatan identitas dapat berpotensi menuju eksklusivisme. Jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, dan jika ekslusivisme tercampur dengan ideologi kebencian, maka dapat melahirkan penghalalan tindak kekerasan atas nama agama. Hoax dan ujaran kebencian inilah yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal internal umat beragama maupun antarumat beragama.

Baca Juga :  Cegah Penyebaran Covid-19 di Wilayah Bencana Alam

Bagaimanapun juga Zainut mengatakan MUI perlu bersyukur karena telah menyadari fenomena ini, dan Komisi Fatwa telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Dan pimpinan MUI penting sekali untuk memberikan teladan dalam mempraktikkan fatwa ini.

Pada bagian lain Zainut mengajak agar mengamalkan nilai-nilai Islam wasathiyah. Baginya Islam wasathiyah perlu terus dipraktikkan, dipelihara, dan dikembangkan. Sebab sebagai opsi terbaik yang dipilih untuk menjawab tantangan zaman baik dalam skala lokal, nasional, maupun global. Islam wasathiyah akan mengafirmasi sikap dan praktik keagamaan yang memiliki komitmen kebangsaan, penghormatan terhadap kearifan lokal, toleran, dan mengutamakan praktik beragama tanpa kekerasan.

“Dan saya meyakini, mempraktikkan Islam wasathiyah dapat mendukung kehidupan beragama yang sehat, harmonis dan rukun, sebagai modal sosial yang dibutuhkan dalam proses pembangunan bangsa,” paparnya.

Comment