Mengemas Pesan Politik di Pilkada 2020

Dari lima unsur proses komunikasi yang diformulasikan pakar komunikasi Harold  Lasswell, satu diantaranya terkait dengan says what, message  atau pesan. Khusus terkait pesan politik, memiliki pengaruh penting guna mempengaruhi pemilih dan meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat dalam suatu Pemilihan. Namun demikian, karena Pilkada Serentak 2020 digelar di  tengah pageblug Covid-19, pesan politik harus dikemas secara cerdas, kreatif, menarik namun juga bijak (wise).

Pesan sendiri, meminjam definisi pakar komunikasi Onong Effendy sebagai suatu komponen dalam proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan menggunakan lambang, bahasa/lambang-lambang lainnya yang disampaikan kepada orang lain. Menurut Elvinaro Ardianto dan kawan-kawan, pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opini.

Sementara yang dimaksud dengan pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun nonverbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak disadari yang isinya mengandung politik. Misalnya pidato politik, pernyataan politik, buku, brosur dan berita surat kabar mengenai politik, dan lain-lain. (ttps://id.wikipedia.org/wik)

Untuk dapat memahami pesan dengan tepat, menurut Daryanto dalam buku “Ilmu Komunikasi” perlu diketahui motiv komunikator mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan. Penekanan terhadap motif komunikasi dianggap penting karena objek kajian ilmu komunikasi adalah penyampaian pesan secara sengaja. Walau derajat kesejangan itu sulit dotentukan.  Selain bentuk pesan, pemahaman atas makna pesan dan penyajian pesan juga penting dikaji.

Lingkup Pesan Politik

Pesan politik atau materi pembicaraan politik diekspressikan oleh para komunikator politik. Seperti politisi, juru kampanye, kandidat yang berkontestasi dalamn pemilihan, profesional, pejabat, akademisi, komentator, dan pengamat politik. Hingga  warga negara yang aktif dalam wacana, isu atau obrolan. Pembicaraan politik tidak hanya terjadi gedung atau kantor, melainkan juga dilakukan di warung-warung kopi.

Pesan atau pembicaraan politik menurut Zaenal Mukarom dalam buku “Komunikasi Politik” dapat dikaji dari beberapa aspek. Pertama, ragam pembicaraan politik yang meliputi atau terkait dengan kekuasaan yang memengaruhi orang lain dengan ancaman atau janji. Kemudian bisa juga terkait dengan pembicaraan yang mempengarhi orang lain dengan nasihat, dorongan, permintaan dan peringatan. Bisa juga terkait dengan pembicaraan otoritas terkait pemberian perintah.

Kedua, dari sifat pembicaraan politik, masih menurut Zaenal Mukaram terkait dengan hal-hal sebagai berikut: (a) kegiatan simbolik yakni: kata-kata dalam pembicaraan politik. Kegiatan simbolis terdiri atas orang-orang yang menyusun makna dan tanggapan bersama terhadap perwujudan lambang-lambang referensial dan kondensasi dalam bentuk kata, gambar dan prilaku,  (b) terkait bahasa, yakni: permainan kata dalam pembicaraan politik, (c) terkait dengan simiotika yakni: makna dan aturan permainan kata politik, dan (d) terkait dengan prgamtika yakni: penggunaan pembicaraan politik.

Baca Juga :  Tokoh Golkar Dipastikan Solid Dukung Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan

Dalam hal terakhir perlu memperhatikan hal sebagai berikut: (1) meyakinkan dan membangkitkan massa: pembicaraan politik untuk pencapaian material, (2) otoritas sosial: pembicaraan politik untuk meningkatkan status: (3) ungkapan personal; pembicaraan politik untuk identitas, dan (4) diskusi publik: pembicaraan politik untuk pemberian informasi.

Mirip Kampanye

Pada jagat kepemiluan, pesan bisa disinonimkan dengan materi kampanye. Menurut UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, materi kampanye harus diarahkan dengan tujuan  a. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b. Memajukan daerah; c. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; d. Menyelesaikan persoalan daerah; e. Menyerasikan pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan f. Memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kebangsaan.

Sementara larangan kampanye di Pilkada sebagai berikut: mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik, melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat, menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik.

Larangan lainnya mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum,  mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah, merusak dan/atau menghilangkan Alat Peraga Kampanye, menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah, melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota, menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di alan raya

Metode Kampanye

Hal penting lain yang secara khusus diatur pada kampanye Pilkada 2020 di tengah Covid-19 adalah terkait metode kampanye. Sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) No.  6 Tahun 2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana non Alam Covid-19 yang terbit pada 7 Juli 2020, pada  Pasal 57 PKPU 6/2020 disebutkan, setidaknya ada tujuh metode kampanye yang diperbolehkan.

Ketujuh: pertemuan terbatas; pertemuan tatap muka dan dialog; debat publik antar pasangan calon; penyebaran bahan kampanye; pemasangan alat peraga kampanye (APK). Kemudian, penayangan iklan kampanye di media massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran publik atau lembaga penyiaran swasta; dan/atau kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 58 dari PKPU tersebut menyebutkan, pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka/dialog harus diselenggarakan di ruangan tertutup dengan membatasi jumlah peserta yang hadir. Pada kegiatan tersebut, diwajibkan untuk menerapkan jaga jarak antar peserta minimal 1 meter. Namun demikian, partai politik atau pasangan calon dan tim kampanye tetap diminta untuk mengupayakan kedua metode kampanye itu bisa dilakukan secara daring.

Baca Juga :  Wapres Minta Dai Tak Memakai Ayat Perang Dalam Berdakwah

Sementara itu, Pasal 59 dari PKPU No. 6 tahun 2020 mengatur, debat publik hanya dapat dihadiri pasangan calon, tim kampanye, dan penyelenggara. Debat publik tidak menghadirkan undangan, penonton dan/atau pendukung, serta dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Pada Pasal 63 disebutkan bahwa kampanye juga dapat dilakukan dengan sejumlah kegiatan lain sebagaimana dimaksud Pasal 57 huruf g. Ada tujuh kegiatan yang diperbolehkan, yakni rapat umum atau kampanye akbar; kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; perlombaan; kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; peringatan hari ulang tahun partai politik; dan/atau melalui media daring.

Cerdas, Kreatif dan Arif

Saat ini dunia termasuk Indonesia tengah begitu banyak problem sosial dan ekonomi akibat pageblug Covid-19. Oleh karenanya, dalam menyampaikan pesan politik diperlukan kecerdasan (smart), kreativitas  dan inovasi. Tujuannya agar tercapai dua hal penting yakni: tujuan politik dengan memenangkan Pilkada dan juga tujuan membantu pemerintah daerah guna mencegah penularan Covid-19.

Agar efektif, Alan H. Monroe menyarankan lima langkah dalam penyusunan pesan, yakni:  Attention  (perhatian), Need  (kebutuhan), Satisfaction  (pemuasan), Visualization (visualisasi) dan Action  (tindakan). Kelima langkah tersebut harus dilakukan secara simultan dan dilakukan dengan kualitas yang setara.

Yang tidak kalah pentingnya dalam menyampaikan pesan politik di tengah Covid-19 adalah harus dilakukan secara bijak (wise). Untuk dapat berlaku wise, komunikator politik harus dapat mengemasnya dengan apik dan menarik; memahami umpan balik (feed back) yang ditimbulkan, serta mampu mempertimbangkan dampak dan ekses yang bakal ditimbulkan.

Jika ekses negatif lebih banyak dari dampak positif, harus diminimalisir, dihindari dan dicarikan formula yang tepat. Pendek kata dalam situasi saat pageblug Covid-19, proses komunikasi politik harus dilakukan secara cermat, kalkulatif  dan benar-benar mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya secara komprehensif.

Sikap semacam itu bukan hanya harus dimiliki oleh komunikator politik, penerima pesan (receiver)  politik juga harus memiliki sikap yang sama. Dalam menerima pesan politik, apalagi pesan politik kontroversial, receiver jangan terlalu percaya (apostieri) namun juga jangan terlalu tidak percaya (apriori). Selain itu, reciever harus mau melakukan check and recheck (tabayun). Terutama pada pesan politik yang amat diragukan kebenarannya. [rif]

* Husin Yazid adalah Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indomatrik

Comment