Mengurai Akar Masalah Remaja Bunuh Balita

KalbarOnline.com – Kasus remaja berusia 15 tahun yang membunuh balita 5 tahun di di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat membuat publik terkejut. Tidak hanya pelaku yang masih di bawah umur, namun motif pembunuhan yang tidak biasa membuat banyak pihak tercengang.

Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pelaku merasa tak menyesal setelah melakukan pembunuhan. Pada polisi remaja itu mengaku melakukan pembunuhan karena terinspirasi dari film horor yang sering ditontonnya.

Polisi menemukan catatan dan sketsa gambar dari anak yang berhadapan dengan Hukum (ABH) yang dapat digunakan sebagai bukti petunjuk. Pada catatan di kertas dapat ditemukan ungkapan kemarahan dan kesedihan dari pelaku terhadap ayahnya.

Sketsa gambar juga menunjukan ungkapan kesedihan dan kemarahan pelaku. Kasus ini membuat masyarakat yang mempertanyakan di mana keberadaan kedua orangtua pelaku di kala sang anak tengah terjerat kasus mengerikan tersebut.

Diketahui bahwa keluarga pelaku mengalami broken home, dirinya saat ini tinggal bersama ayah kandung dan ibu tirinya. Catatan-catatan yang ditemukan polisi menunjukkan ada indikasi bahwa pelaku mengalami permasalahan dengan keluarganya.

Baca Juga :  Saat Virus Corona Mewabah, UMKM Jadi Penyangga Ekonomi

Menelisik hal ini, Reza Indragiri, seorang psikologi forensik membeberkan bahwa ada efek samping perceraian pada tumbuh kembang anak.

Seperti yang terjadi pada N (pelaku) bahwa dirinya terinspirasi dari film horor yang pernah ditonton. Harusnya orangtua melakukan pengawasan sampai level apa yang anak-anak tonton, sehingga benar-benar memastikan bahwa tayangan tersebut baik untuk anak.

“Masuk akal, keluarga yang morat-marit, keluarga yang tidak harmonis, keluarga yang bercerai akan memunculkan pola pengasuhan yang tidak sesuai. Sehingga anak harus menjalani proses tumbuh kembang yang tidak sehat atau tidak wajar,” ucapnya.

Terlepas dari itu, perceraian memang membawa efek samping buruk bagi anak-anak, termasuk kesehatan mentalnya.

Sebuah penelitian yang diunggah dalam The World Psychiatric Association, anak-anak dari keluarga yang bercerai dapat dihadapkan dengan masalah yang lebih eksternal, seperti perilaku impulsif, kenakalan, dan melakukan gangguan.

Perceraian atau perpisahan menciptakan kekacauan emosional bagi seluruh keluarga, tetapi bagi anak-anak, situasinya dapat membingungkan, membuat frustrasi, dan menakutkan.

Baca Juga :  Cakada Positif Covid-19 Bertambah, Kali Ini Menimpa Calon Bupati Agam Sumbar

Remaja mungkin mulai menyalahkan satu orangtua untuk perceraian atau bahkan membenci kedua orangtua karena pergolakan dan perubahan mendadak dalam keluarga.

Terlepas dari budaya, jenis kelamin, dan usia, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua yang bercerai mengalami peningkatan masalah kesehatan fisik.

Bahkan, perceraian juga dapat menyebabkan anak-anak bisa melakukan tindakan agresif di saat dewasa.

Meski begitu, Reza menjelaskan bahwa kasus yang menimpa remaja 15 tahun ini tidak bisa ditangani dengan hukuman pidana maupun rehabilitasi.

“Dipenjara jelas tidak akan menimbulkan efek jera, maka kemungkinan yang tersisa adalah rehabilitasi.

“Tapi persoalannya, sampai detik ini tidak ditemukan program rehabilitasi yang mujarab yang bisa mengubah tabiat kepribadian anak-anak dengan perilaku yang amat sangat sadis semacam ini. Jadi kita serba salah,” tegasnya.

Meski begitu, hingga kini polisi masih terus mendalami kasus remaja 15 tahun yang membunuh balita tersebut [rif]

Comment