Ratusan Karyawan Anak Perusahaan PLN ‘Geruduk’ Kantor Dewan Kalbar

Tuntut pesangon pasca peralihan perusahaan

KalbarOnline, Pontianak – Ratusan karyawan anak perusahaan PLN yakni PT Haleyora Powerindo (HPI) se-Kalimantan Barat yang tergabung dalam Serikat Pekerja Khatulistiwa Outsourcing menggeruduk Kantor DPRD Kalbar. Kedatangan mereka dalam rangka meminta fasilitasi dewan dalam hal ini para anggota Komisi V DPRD Kalbar untuk dimediasikan dengan pihak PT Haleyora Powerindo dengan PT PLN Kalbar dan Disnakertrans Kalbar guna menuntut hak atas pesangon mereka, di ruang serbaguna DPRD Kalbar, Kamis (30/1/2020).

Dari Komisi V DPRD Provinsi Kalbar hadir langsung Ketua Komisi V, Edi R Yacoub, Wakil Ketua Komisi V DPRD Kalbar, Tony Kurniadi dan anggota Komisi V lainnya. Hadir pula, Kepala Disnakertrans, Ignasius dan Mediator Disnakertrans, Umar. Sementara PT HPI mengirimkan utusannya yakni Tejo, perwakilan PLN Kalbar, Marta dan rekannya.

Perselisihan antara para pekerja dan pihak perusahaan ini bermula pada Oktober 2019, di mana para pekerja dialihkan statusnya yang semula merupakan karyawan PT Haleyora Powerindo ke PT Paguntaka Cahaya Nusantara tanpa disertai hak-hak normatif dan dinilai sepihak lantaran tanpa ada sosialisasi sebelumnya sekaligus kesepakatan antara kedua belah pihak.

Pihak Disnakertrans dalam mediasi yang mempertemukan pihak PT Haleyora Powerindo dan PLN Kalbar
Pihak Disnakertrans dalam mediasi yang mempertemukan pihak PT Haleyora Powerindo dan PLN Kalbar (Foto: Fai)

Mediasi yang berlangsung hingga sore itu sempat alot dan sempat di-skors oleh Dewan, lantaran dari pihak perusahaan (HPI) termasuk pihak PLN Kalbar yang semula sudah sepakat akan menindaklanjuti tuntutan karyawan berdasarkan mediasi sebelumnya terkesan ingkar. Pihak pekerja bahkan mengancam untuk menahan para perwakilan perusahaan agar tak bisa pulang, sebagai bentuk kekesalan mereka terhadap perusahaan lantaran pihak perusahaan berulang kali mengirimkan utusan yang tak dapat mengambil keputusan, sehingga para pekerja merasa seperti dipermainkan.

Hingga sore hari, akhirnya mediasi itu menghasilkan rekomendasi DPRD bersama pekerja yang intinya meminta PT Haleyora Powerindo untuk memenuhi hak para pekerja yaitu membayar pesangon 100 persen dalam jangka waktu 10 hari ini. Jika tidak dipenuhi, DPRD Kalbar akan memanggil pihak PLN dan PT Haleyora Powerindo pada 18 Februari 2020 mendatang.

Kesepakatan rekomendasi itu ditandatangani oleh pimpinan Komisi V DPRD Provinsi Kalbar dan seluruh perwakilan Pekerja. Meski kecewa atas putusan ini, para pekerja mengaku menerima keputusan tersebut lantaran ada tenggat waktu yang jelas yang diberikan oleh DPRD terhadap pihak perusahaan.

Perwakilan serikat pekerja yang berselisih dengan PT Haleyora Powerindo dalam mediasi yang difasilitasi oleh DPRD Kalbar dan Disnakertrans Kalbar
Perwakilan serikat pekerja yang berselisih dengan PT Haleyora Powerindo dalam mediasi yang difasilitasi oleh DPRD Kalbar dan Disnakertrans Kalbar (Foto: Fai)

“Kita ini mencarikan solusi terbaik, walaupun tentu ada yang belum puas, kita jadwalkan tanggal 18 Februari, mengingat banyaknya jadwal DPRD yang sudah dijadwalkan Badan Musyawarah, jadi yang paling mungkin bisa tanggal 18 Februari ini,” ujar Edi Yacoub.

Seperti diketahui, perselisihan antara para pekerja dan pihak perusahaan ini bermula pada Oktober 2019, di mana para pekerja dialihkan statusnya yang semula merupakan karyawan PT Haleyora Powerindo ke PT Paguntaka Cahaya Nusantara tanpa disertai hak-hak normatif dan dinilai sepihak lantaran tanpa ada sosialisasi sebelumnya sekaligus kesepakatan antara kedua belah pihak.

Baca Juga :  Pria yang Mengamuk Minta FRKP Bersuara Soal Dugaan Skandal Seks Oknum Pastor Dihukum Adat

Atas peralihan tersebut, para pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja ini meminta agar PT Haleyora Powerindo memberikan hak-hak para pekerja dalam hal ini berupa pesangon sesuai dengan masa kerja yang mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan. Dalam perjalanannya, para pekerja dan pihak perusahaan telah melakukan berbagai perundingan baik bipartit maupun tripartit yang dihadiri oleh PT PLN Unit Induk Wilayah Kalbar dan Disnakertrans Kalbar.

Perwakilan PT Haleyora Powerindo dan PLN Kalbar dalam mediasi yang difasilitasi oleh DPRD Kalbar dan Disnakertrans Kalbar
Perwakilan PT Haleyora Powerindo dan PLN Kalbar dalam mediasi yang difasilitasi oleh DPRD Kalbar dan Disnakertrans Kalbar (Foto: Fai)

Setelah menjalani beberapa kali mediasi, akhirnya ditemui kesepakatan antara pihak yang terlibat. Di mana tuntutan para pekerja salah satunya yaitu membayar 50 persen pesangon karyawan kabarnya akan dipenuhi atau ditindaklanjuti oleh pihak perusahaan berdasarkan mediasi pada tanggal 6 November 2019. Namun pada 11 November 2019, pihak perusahaan (PT Haleyora Powerindo) melalui surat yang disampaikan ke Disnakertrans Kalbar terkesan membohongi para pekerja. Para pekerja menilai pihak perusahaan ingkar janji yang berdampak merugikan pelapor secara materil maupun imateril.

Di mana pihak perusahaan menyatakan bahwa tidak dapat memberikan pesangon kepada para pekerja dengan alasan tidak ada dasar hukum. Di mana keputusan itu diambil pihak perusahaan setelah berkomunikasi dengan Kasubdit Persyaratan Kerja di Kemenaker dan pihak PLN pusat. Keputusan itu juga diambil lantaran PT Haleyora Powerindo tidak menginginkan adanya pemutusan hubungan kerja terhadap para pekerja dan masa kerja akan berlanjut ke PT Paguntaka Cahaya Nusantara.

Ketua Serikat Pekerja Outsoucring Khatulistiwa, Agus Chanigia menegaskan bahwa kedatangan pihaknya ke Dewan Kalbar ini lantaran sudah resah terhadap kebohongan-kebohongan yang dilakukan PT Haleyora Powerindo (HPI) selaku perusahaan vendor alias anak perusahaan PT PLN.

“Awalnya kami itu sudah mau dibayar 50 persen pesangon ada surat kesepakatannya, tiba-tiba satu bulan kemudian ingkar janji, tidak ada pembayaran 50 persen, padahal itu kesepakatan antara Mediator Disnakertrans Kalbar, perusahaan dan karyawan. Sepakat sudah mau bayar 50 persen, tiba-tiba sampai sekarang tak dibayar. Kami ini seperti dipermainkan,” ujarnya kesal.

“Kami sudah capek, intinya kami minta dibayar pesangon kami sesuai dengan surat kesepakatan kemarin kemudian dititipkan ke vendor (PT Paguntaka Cahaya Nusantara) yang baru,” timpalnya.

Kata Agus, pada dasarnya pihaknya hanya mengacu pada kontrak kerja, di mana kontrak kerja mereka dengan PT Haleyora Powerindo sudah habis terhitung sejak 2014 – 2019. Tiba-tiba vendor ini beralih ke perusahaan lain.

“Kami tidak mau tahu itu, intinya bayar hak kami. Karena ada salah satu pekerja yang meninggal dunia, lambat dibayar pesangonnya, tidak sesuai, bahkan ada yang mencoba opsi untuk resign janjinya dibayar 100 persen tapi sampai sekarang belum dibayar,” tukasnya.

Di kesempatan itu, Agus juga menegaskan bahwa pihaknya dalam hal ini bukan berseteru atau menutun pihak PLN melainkan menuntut PT Haleyora Powerindo agar pesangon mereka dibayar sesuai kesepakatan mediasi sebelumnya. Namun, dalam perjalanan ini, pihaknya menilai bahwa pihak PLN Kalbar seperti melindungi atau menjadi tameng pihak PT Haleyora Powerindo.

Baca Juga :  Siap Kawal Pembangunan IKN Nusantara, Begini Strategi PLN...

“Kami ini bukan menuntut PLN tapi menuntut HPI agar pesangon kami dibayar sesuai kesepakatan kemarin. Berdasarkan pertemuan tadi, kami tidak akan pulang, karena permasalahan ini sudah lima bulan, capek. Kalau pulang lagi, capek. Kami ini melawan orang besar, capek. Makanya saya sampaikan ke Dewan Komisi V, kalau masalah ini dibawa lagi ke luar, kita khawatir ada indikasi lobi melobi, karena ini bicara duit besar,” cecarnya.

“Kami tak izinkan perwakilan HPI dan PLN untuk pulang, kenapa pihak perusahaan bersangkutan mengirimkan utusan yang tidak bisa mengambil keputusan, ini level Dewan yang memanggil, kalau level kami yang memanggil kemungkinan wajar perusahaan mengirimkan utusan yang tidak bisa mengambil keputusan. Tapi ini Dewan yang memanggil, artinya mereka juga melecehkan Dewan selaku lembaga negara,” timpalnya lagi.

“Utusan-utusan yang datang ini juga sudah beberapa kali pertemuan dengan serikat pekerja, itu-itu saja hasilnya, tak ada keputusan yang pasti. Harusnya kalau Dewan yang panggil ini yang datang harusnya Direksi, Dirut atau ownernya, ternyata yang datang ‘kaleng-kaleng’,” cecarnya lagi.

Menurut Agus, PT Haleyora Powerindo sendiri tidak ada masalah keuangan bahkan menurutnya, dengan keuntungan yang diraup di Kalbar selama ini, sangat keterlaluan jika pihak perusahaan tak mampu membayar pesangon karyawan. Pihaknya menduga kalau uang pesangon tersebut sudah dibayarkan oleh PLN kepada PT Haleyora Powerindo, namun tak disampaikan ke karyawan.

“Kalau dari pantauan kita selaku pekerja, PT Haleyora Powerindo ini tidak ada masalah keuangan. Kalau mereka tak mampu bayar, luar biasa artinya. Pasti dia (perusahaan) mampu bayar, karena dia berafiliasi ke PLN, PLN masih eksis, PLN masih jaya. Haleyora Powerindo ini juga bukan bangkrut, bukan failit, masih banyak tenaga kerjanya, masih eksis mereka. Kita curiga uang pesangon ini sudah dititipkan PLN ke vendor (HPI) tapi tak dibayarkan ke karyawan, mungkin sudah dimakan mereka (HPI) semua. Sehingga mau dibayarkan tak mampu,” tukasnya.

Agus juga mengungkapkan bahwa dirinya juga pernah mengalami kasus serupa di mana setiap ada peralihan karyawan dari vendor A ke vendor B, hak-hak karyawan tetap dibayarkan, baik pesangon hingga BPJS dan sebagainya oleh vendor A.

“Bingungnya kita 2019 sekarang ini bunyi aturan macam-macam, jadi seolah-olah hak-hak karyawan dialihkan ke vendor B. Dalam kasus kita ini, pihak vendor B dalam hal ini PT Paguntaka Cahaya Nusantara membuat surat pernyataan di mana salah satu poinnya menegaskan bahwa persoalan hak-hak para pekerja sebelumnya silahkan ditanyakan ke PT Haleyora Powerindo, kita jadi bingung. Padahal HPI dan Paguntaka Cahaya Nusantara ini kolaborasi termasuk PLN bilang ini akuisisi sehingga hak-hak karyawan dialihkan ke PT Paguntaka Cahaya Nusantara. Sementara sudah ada pernyataan dari PT PCN (Paguntaka Cahaya Nusantara) ‘tanyakan permasalahan kalian ke PT HPI’. Makanya kami bingung,” kesalnya.

“Padahal kita sepakat supaya pesangon ini hanya dibayarkan 50 persen saja, juga meringankan beban perusahaan mengingat pesangon karyawan itu beda-beda, ada yang perorang bisa mencapai Rp50 juta bahkan lebih kalau dikalkulasikan 400 karyawan saja, sudah berapa. Makanya kita minta 50 persen saja,” tandasnya. (Fai)

Comment