Tiga Poin Utama Midji Evaluasi Penanganan Karhutla di Kalbar

KalbarOnline, Pontianak – Sebagai wujud keseriusan dalam menangani dan mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan di tahun-tahun mendatang, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menggelar Rapat Evaluasi Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2019 yang dilangsungkan di Balai Petitih, Kantor Gubernur Kalbar, Senin (2/12/2019).

Rapat yang dipimpin Gubernur Kalbar, Sutarmidji itu turut dihadiri Kepala Badan Nasional Penanganan Bencana RI, Letnan Jenderal (Letjen) TNI Doni Monardo, Pangdam XII/Tanjungpura, Kapolda Kalbar serta jajaran forkopimda Kalbar lainnya. Hadir pula Sekda Provinsi Kalbar, para Bupati/Wali Kota se-Kalbar, sejumlah pengusaha perkebunan serta para tamu undangan lainnya.

Dalam sambutannya, Gubernur Sutarmidji menegaskan bahwa rapat yang digelar itu merupakan upaya melakukan evaluasi sedini mungkin sebagai bentuk keseriusan menangani karhutla yang kerap kali terjadi di Kalbar.

“Ini rangkaian keseriusan kita bersama BNPB untuk menangani dan antisipasi karhutla ke depan, dengan melakukan evaluasi sejak dini. Di sini juga hadir para pelaku usaha yang sudah diberikan sanksi teguran, administrasi dan sebagainya. Saya minta dicatat, kalau ada yang diundang tapi tak datang, berarti dia tak serius bersama-sama menangani karhutla,” ujar Midji mengawali sambutannya.

Di kesempatan itu, Midji juga mengapresiasi Kepala BNPB RI yang telah seringkali hadir di Kalbar. Menurut Midji, kehadiran Letjen TNI Doni Monardo di Kalbar sebagai wujud perhatiannya yang sangat luar biasa terhadap Kalbar.

“Ini yang kesekian kali beliau hadir di Kalbar, ini patut diapresiasi dan kita patut berbangga hati, artinya perhatian beliau terhadap Kalbar sangat luar biasa. Ini juga harus dibarengi dengan kerja kita menanggulangi karhutla, jangan sampai tidak seimbang dengan seringnya beliau ke sini. Harus betul-betul serius kita tangani karhutla ini,” tegasnya.

Dalam paparannya, Midji menyampaikan sedikitnya tiga poin utama menangani karhuta di antaranya soal kelembaban atau persedian air di permuakaan tanah dan jarak antara lahan perkebunan dan pertanian, desa mandiri serta penertiban atau evaluasi lahan-lahan yang sengaja dikuasai namun dibiarkan.

Minta pakar lakukan pengkajian

“Pertama, yang harus dikaji oleh pakar, antara perkebunan dengan pertanian. Pertanian terutama padi itu ketinggian air harus 10 centimeter sampai 20 centimeter dari padi yang ada di permukaan. Sedangkan sawit, kalau 20 centimeter ketinggian airnya, bisa-bisa busuk kalau terendam air terus. Sehingga perlu 75 centimeter. Ketika ini semua 75 centimeter, maka kebakaran lahan di pertanian rawan, karena tingkat kekeringannya sangat tinggi, nah ini harus diselesaikan oleh pakar. Bagaimana solusinya, makanya tak boleh dekat jarak antara lahan pertanian dengan perkebunan,” tukasnya.

“Kalau lahan pertanian betul-betul airnya bisa diatur seperti itu, maka tak akan ada kebakaran di situ. Kenapa sekarang lahan petani banyak terbakar, karena keringnya luar biasa. Karena sawit tidak mau 20 centimeter, maunya 75 centimeter,” timpalnya.

Desa mandiri

Poin kedua yang disampaikan Midji yakni desa mandiri yang diyakininya mampu mengatasi persoalan karhutla.

Baca Juga :  Sutarmidji Lantik Tiga Pejabat, Mohammad Bari jadi Kepala Bapenda Kalbar

“Kedua, saya tawarkan konsep membangun desa, bagaimana desa itu harus mandiri. Ini juga berkaitan dengan perusahaan-perusahaan, jangan sampai ada di suatu desa banyak perusahaan sawit, tapi desa itu jadi desa sangat tertinggal. Ini masalah, banyak kerawanan dalam hal-hal lain selain karhutla,” tukasnya.

Midji mengungkapkan bahwa berdasarkan data, Indonesia terdapat sebanyak 74.954 desa. Kemeterian Desa, lanjutnya, mengklasifikasikan desa menjadi lima klasifikasi, yaitu desa mandiri, desa maju, desa berkembang, desa tertinggal dan desa sangat tertinggal. Dari jumlah tersebut, hanya ada 834 desa mandiri. Kemudian ada sebanyak 8.621 desa maju, 38 ribuan desa berkembang, 21 ribuan desa tertinggal dan sekitar enam ribuan desa sangat tertinggal.

“Kalbar waktu itu hanya punya satu desa mandiri, berkat sinergitas kita dengan TNI-Polri, dalam satu tahun ini bisa melahirkan 86 desa mandiri baru, jadi ada 87 sekarang, artinya sudah lebih 10 persen desa mandiri yang ada di Indonesia itu di Kalbar,” ungkapnya.

Desa mandiri, dijelaskan Midji, terdapat 52 indikator di dalamnya, termasuk masalah lingkungan seperti penanaman pohon, penanganan bencana dan sebagainya.

“Sehingga jika suatu desa menjadi mandiri, saya pastikan kerawanan bencana akan sangat kecil. Masalahnya, kalau desa sudah menjadi mandiri, alokasi dana desa atau dana desa menjadi kecil. Harusnya jika klasifikasi suatu desa semakin bagus, maka semakin besar. Harusnya dibalik, sehingga yang ada sekarang, banyak yang ingin tetap menjadi desa sangat tertinggal, karena alokasinya anggarannya banyak. Itu masalahnya,” jelasnya.

“Pemerintah juga ketika memberikan alokasi dana desa/dana desa tidak pernah menuntun untuk apa. Untuk mengubah satu desa sangat tertinggal menjadi desa mandiri, paling kurang investasinya Rp20-30 miliar, tapi kalau cuma Rp1,5 miliar dan tidak terarah, maka apa yang mau dibuat, perlu waktu 20 tahun baru selesai. Tak mungkin kita menunggu waktu 20 tahun, akhirnya kita lakukan sinergi bersama TNI-Polri, Pangdam dan Kapolda semangat sehingga bisa lahir 87 desa mandiri di Kalbar,” timpalnya.

Menurut Midji, menyelesaikan 52 indikator desa mandiri bukan merupakan hal sulit. Langkahnya menyelesaikan 52 indikator tersebut dengan cara membagi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan kewenangan masing-masing dalam menangani indikator-indikator desa mandiri.

“Kalau menyelesaikan 52 indikator desa mandiri berharap dari dana desa tidak akan mungkin selesai. Sehingga dana desa itu kita arahkan untuk menyelesaikan 17 indikator, pemerintah kabupaten menyelesaikan 15 indikator, sisanya yang berat-berat ditangani Pemerintah Provinsi. Sehingga bisa cepat menjadi desa mandiri. Ketika desa itu sudah mandiri, gampang semuanya,” tegasnya.

Evaluasi lahan yang dikuasai korporasi namun tak diurus

Poin ketiga yang disampaikan Midji, juga tak kalah pentingnya yakni banyak perusahaan yang terindikasi menguasai lahan lebih dari satu juta hektar namun yang ditanam hanya 30 persen dari luas lahan.

“Ini juga masalah, satu perusahaan bisa menguasai lahan lebih dari 1 juta hektar, tapi yang ditanam hanya 30 persen, sisanya alasan bermasalah dengan masyarakat, tapi sebenarnya mereka nunggu investor lain untuk dipindahtangankan. Saya mau usulkan ke Presiden, supaya tak dibolehkan lagi pindahtangankan itu lahan. Menguasai lahan tambang, nanti tunggu investor datang baru dialihkan, dijual. Menguasai lahan, baru dijual. Sehingga para Bupati saya harap ini dievaluasi yang sudah sekian tahun tak melaksanakan penanaman, usulkan cabut. Karena lahannya tidak diurus, ditinggal saja begitu, yang repot kan BPBD, kalau sudah kebakaran hutan dan lahan,” tegasnya.

Baca Juga :  Daerah yang Mampu Kendalikan Inflasi Bakal Dapat Dana Insentif Sebagai Reward

“Kalau yang jadi kewenangan saya, soal pengalihan atau pemindahan lahan, saya tak mau tanda tangan. Enak-enak aja. Percaya lah. Tak tahu Pak Bupati bagaimana, karena perkebunan itu kan izinnya dari Bupati. Tapi yang dimarah, Gubernur, Pangdam, Kapolda. Padahal kita tahu pun tidak,” timpalnya.

Ia memastikan, kalau tiga hal tersebut dikakukan secara benar, maka kecil kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Di kesempatan itu, Midji turut menyampaikan hal yang lebih bahaya mengenai sumber daya alam Kalbar.

“Sekarang ini bauksit mentah yang diekspor sebanyak 20 juta ton, lima perusahaan. Kalau dia gali satu meter, artinya ada 20 juta lahan yang turun satu meter. Dari 262 perusahaan tambang di Kalbar, hanya dua yang melakukan reklamasi. Sisanya, setor dana jaminan reklamasi. Ada perusahaan tambang yang jaminannya hanya Rp8 juta. Untuk apa. Berarti ada yang tak betul dari inspektur tambang atau di jajaran ESDM. Sama dengan perkebunan itu ada di KPH-nya (Kesatuan Pengelola Hutan). Jadi itu masalah kita,” tukasnya.

Menurutnya, cara-cara Indonesia menangani sumber daya alam hanya membuat negara lain kaya raya.

“Kita bikin kaya negara lain. Yang dijual bauksit, padahal ada kandungan yang lebih mahal dari bauksit. Karena ada tujuh mineral lain dari bauksit yang tak pernah kita hitung. Kalau di Indonesia disebut tanah jarang. Ini biasa digunakan untuk industri seperti batrai mobil listrik dan sebagainya. Ini salah satu penyebab perang dagang China dan Amerika. China tak mau jual, sementara industri Amerika perlu. Akhirnya ada gugatan di WTO, nah kita sebagai negara penyuplai tak tahu ada komponen mineral ini dan harganya lebih mahal dari bauksit. Tanah jarang kalau dirupiahkan perkilonya luar biasa harganya, kalau Kalbar dijaga betul, kaya kita,” imbuhnya.

Masalah lain soal tambang ini, kata Midji yakni ada di Kementerian.

“Pertama, yang menentukan kuota bukan kita, tapi Kementerian ESDM. Sayangnya lagi, ESDM tak pernah beri sanksi kepada perusahaan pertambangan ilegal maupun perusahaan yang tak penuhi aturan. Kita tinggal tunggu waktu saja. Sandai saja sudah terjadi, karena diekploitasi di sana, sekarang banjir, dulu tak banjir. Bapak/ibu yang hadir di sini kelolalah hutan dan lahan dengan hati, bukan seenak-enak bapak/ibu. Saya tetap sanksi, biar siapapun. Apapun resikonya,” tegasnya.

Dibeberkannya pula bahwa sudah ada 157 perusahaan yang diberi peringatan, 53 perusahaan sudah disegel lantaran terdapat titik api.

“Nanti hasil akhirnya lahan yang terbakar itu tak boleh digunakan selama lima tahun, itu nanti akan dituangkan dalam Perda. Nanti dalam Perda itu, pemadaman api di lahan perkebunan yang terbakar, biayanya ditanggung oleh pihak perusahaan perkebunan yang terdapat koordinat api, saya tidak mau tahu. Makanya saudara kalau sudah diberi 100 ribu hektar lahan, jaga betul-betul. Kita sudah buat Perda, ini bukan gertak, pasti saya terapkan. Supaya bapak/ibu hati-hati juga dan supaya peduli,” pungkasnya. (Fai)

Comment