Mengaku Tak Kecewa Soal WDP oleh BPK, Ini Penjelasan Lengkap Gubernur Sutarmidji

KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengaku tidak kecewa terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Kalbar tahun anggaran 2018 yang mendapat predikat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI.

Pasalnya, ditegaskan Midji, dirinya tidak terlibat langsung ketika penyusunan APBD 2018 dan baru dilantik sebagai Gubernur terpilih hasil Pilkada 2018 pada 5 September 2018.

“Tidak WTP, ya sudah lah. Toh, saya tidak terlibat langsung ketika penyusunan APBD 2018 dan saya kan dilantik pada September 2018,” ujarnya.

Meski demikian, sebagai Gubernur Sutarmidji mengaku heran dengan keputusan BPK. Pasalnya, tegas Midji, seluruh hasil audit BPK telah ditindaklanjuti oleh pihaknya. Bahkan telah dilakukan penyusunan action plan (rencana aksi).

“Hasil audit itu ada 26 temuan. Semuanya sudah kita tindaklanjuti bahkan action plan-nya juga sudah waktu pembahasan sama BPK,” jelasnya.

Midji : Tidak WTP Karena Tidak Ada Perubahan Anggaran

Kemudian, empat hari sebelum tanggal 27 Mei, hari di mana penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPD, tiba-tiba BPK menyampaikan tidak bisa WTP karena tidak ada perubahan anggaran.

“Seakan-akan perubahan anggaran itu jadi suatu hal yang wajib. Kalau memang sudah begitu, kenapa dari awal kita disuruh buat action plan dan sebagainya begini-begitu. Kalau saye, saye bilang, kenapa tidak diberikan disclaimer karena itu menyalahi aturan,” tukasnya.

“Sedangkan materiilnya hampir tidak ada, kecuali GOR (Gelanggang Olahraga),” ucapnya.

Tantang BPK Serahkan Temuan Penyimpangan Pembangunan GOR ke Aparat Penegak Hukum

Karena itu, secara tegas Midji menantang keberanian BPK untuk menyerahkan temuan penyimpangan pembangunan GOR ke aparat penegak hukum lantaran jelas-jelas menyalahi aturan.

“Saye tunggu berani ndak BPK menyerahkan masalah temuan penyimpangan pembangunan GOR itu yang harusnya ditender tapi tidak ditender ke aparat penegak hukum. Karena itu jelas menyalahi aturan yang seharusnya ditender tapi tidak ditender. Saya tunggu keberanian BPK,” tegasnya.

APBD 2017 dan 2018 Defisit serta Amburadul

Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini menilai penyusunan APBD tahun 2018 betul-betul amburadul. Pasalnya, anggaran yang seharusnya dianggarkan justru tidak dianggarkan.

“Yang jadi pertanyaan saya, ketika penyusunan APBD 2018, gaji 13 dan 14 itu tidak dianggarkan. Satu rupiah pun tidak dianggarkan. Padahal pengesahannya November, kenapa tidak dianggarkan. Saya pertanyakan, kenapa Pak Sekda (M Zeet Hamdy Assovie) sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) waktu itu tidak memasukkan itu,” imbuhnya.

Baca Juga :  Sidak Pelayanan RSUD Soedarso, Dewas: Buat Pasien Seperti di Rumah Sendiri

Bahkan, kata mantan Wali Kota Pontianak ini, APBD tahun 2017 lalu juga mengalami banyak masalah. Hal ini lantaran Pemprov Kalbar saat itu, ungkap Midji, secara real mengalami defisit anggaran mencapai Rp165 miliar.

“Silpanya Rp207 miliar. Kewajiban kepada daerah tingkat II (Dana Bagi Hasil Pajak) itu sebesar Rp172 miliar. Artinya, minus Rp165 miliar. Harusnya itu digambarkan oleh BPK, tapi tidak digambarkan dan tetap saja WTP. Itu tahun 2017,” jelasnya.

2018 Defisit, Midji Ambil Langkah-langkah : Batalkan Proyek dan Segera Bayar Hak Daerah Tingkat II

Masalahnya, kata Midji, tahun 2018 terjadi defisit yang lebih besar. Bahkan, lanjut Midji, Pj Gubernur Kalbar, Dodi Riyadmadji waktu itu menyebutkan defisit anggaran mencapai Rp691 miliar. Tentu sebagai Gubernur, Midji harus mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Langkah-langkah yang dilakukan Midji di antaranya membatalkan sebanyak-banyaknya belanjar modal untuk pembangunan. Kemudian, mengurangi biaya perjalanan dinas dan melakukan berbagai penghematan. Selain itu, Pemprov juga melakukan berbagai upaya meningkatkan potensi-potensi pendapatan daerah. Sehingga APBD 2018 yang semula defisit, mengalami surplus Rp335 miliar dan dana bagi hasil pajak daerah tingkat II berhasil dibayarkan.

“Langkah pertama itu, membatalkan sebanyak-banyaknya belanja modal untuk pembangunan. Karena kita harus membayar daerah tingkat II (Dana Bagi Hasil Pajak),” tegasnya.

Sebab, kata Midji, hak daerah tingkat II dari dua triwulan tahun 2017 dan dua triwulan di tahun 2018 mencapai Rp600 miliar yang belum dibayarkan. Dirinya khawatir dengan tidak dibayarkannya Dana Bagi Hasil Pajak tersebut, 14 daerah tingkat II se-Kalbar kolaps alias gagal bayar.

“Kalau dua triwulan tahun 2017 sebesar Rp372 miliar kemudian dua triwulan tahun 2018 sebesar Rp260 miliar artinya lebih Rp600 miliar hak daerah tingkat II tidak dibayar, maka 14 daerah tingkat II di Kalbar saya pastikan kolaps atau gagal bayar,” jelasnya lagi.

“Itu masalah sebenarnya. Jadi betul-betul amburadul. Tapi dari sisi penggunaan, saya pastikan hampir tak ada temuan yang berarti. Kerugian negara tidak ada. Semuanya sudah dikembalikan, seperti temuan yang Akper dan BOS terkait administrasi di sekolah,” timpal Midji.

Baca Juga :  Mendag RI Apresiasi Strategi Pemkot Pontianak Kendalikan Harga Sembako

Temuan Akper dan BOS ini diketahui terjadi sebelum Midji menjabat sebagai Gubernur. Tapi, seperti yang diketahui yang dipersoalkan BPK yakni tidak adanya perubahan anggaran pada APBD tahun 2018 bukan karena tidak ada tindak lanjut atas dua temuan tersebut.

Hal itu lantas membuat Midji menjadi bingung. Namun, Midji tak mempersoalkan hal tersebut. Mengingat BPK memiliki kewenangan, namun, ditegaskan Midji, hal tersebut seharusnya memiliki standar.

“Itu yang saya bingung. Tapi apapun dilakukan BPK silahkan. Suka-suka dia jak, dia (BPK) punya kewenangan. Tapi harusnya punya standar,” ujarnya.

Minta Koordinasi

Agar hal membingungkan ini tak terjadi ke depannya, Midji meminta agar BPK melakukan koordinasi sebelum mengeluarkan predikat opini.

“Kalau mau koordinasi dengan saya, sesuaikanlah waktu saya. Masak saya sudah di Sambas harus kembali untuk menerima Kepala BPK, kan lucu juga, nanti balik lagi ke Sambas. Kemudian (kemarin) ada warga demo, masak saya harus terima dia (Kepala BPK) dulu, tidak terima orang demo. Itu bah masalahnye, lebay amat bah,” tukas Midji.

Midji juga menegaskan bahwa komunikasi pihaknya dengan BPK sejauh ini berjalan baik.

“Biasa saja sebenarnya. Dia (BPK) ngundang ke sana, saya pergi. Cuma, kadang beliau (Kepala BPK) tak mau, sekarang ini koordinasinya harus Gubernur atau Wakil Gubernur, kalau bukan, (Kepala BPK) tidak mau, kalau (Kepala BPK) yang lama-lama biasa saja,” tuturnya.

“Saya tidak ada kecewa. Karena saya sudah maksimal. APBD 2018 pun disusun kondisinya tidak ngerti juga saya nyusun APBD seperti itu. Kok gaji 13 dan 14 yang sudah pasti tahu sebesar Rp114 miliar, satu rupiah pun tidak dianggarkan. Kemudian ada beberapa yang tidak dianggarkan, kadang melakukan perubahan-perubahan tanpa memberi tahu dewan, itu salah juga, tapi sudah terbiasa selama ini. Kadang Gubernur pun tidak tahu BPKPD melakukan itu,” timpalnya.

Perbaiki Sistem Transparansi Anggaran Secara Total

Ke depan, semuanya, tegas Midji, akan dibuat betul-betul transparan melalui suatu sistem yang dapat diakses masyarakat.

“Semua akan kita buat transparan. Apapun yang kita buat pada APBD tahun berjalan, semua masyarakat harus bisa mengakses. Termasuk berapa keuangan Pemerintah Daerah. Saya akan buat sistem itu,” tegasnya.

Dirinya bahkan menargetkan, sistem transparansi anggaran tersebut selesai pada tahun 2020.

“Sistem IT kita harus diperbaiki secara total. Sehingga tidak ada lagi yang disembunyi-bunyikan dari masyarakat. Sehingga masyarakat dapat mengetahui apa saja yang akan dibangun di daerahnya. Termasuk apa-apa saja yang akan dibangun di desa-desa. Tidak ada lagi yang boleh diubah-ubah,” pungkasnya. (Fat)

Comment